Sumpah Pemuda dan Kepulangan Anak-anak Rantau

Sumpah Pemuda dan Kepulangan Anak-anak Rantau
info gambar utama

“Saat rantau menawarkan beribu goda dan harapan,
Kampung halaman terasa sungguh meragukan,
Di bawah naungan bujuk rayu materi,
Tanah air terasa hanya sekedar melankoli,
Wajar jika keraguan merajalela,
Indonesia tampak belum menjanjikan apa-apa,
Tapi Ibu Pertiwi tak pernah bosan memanggil,
Perantau kuyuh oleh perasaan sentimentil,
Dipanting oleh ingatan dan kenangan.


Rindu tanah kelahiran pasti tak tertahankan,
Namun kepulangan jangan semata memuaskan kerinduan,
Indonesia butuh sumbangsih kalian yang berpengetahuan,
Begitu banyak agenda bersama yang harus direalisasikan,
Mimpi dan harapan yang harus jadi kenyataan.

Kami amat risau menunggu kepulangan kalian yang sedang berguru,
Pulanglah kapanpun kalian mau,
Saudara-saudara mu juga sangat ingin maju,
Rawe rawe rantas malang malang putung,
Kita bikin Indonesia jadi bangsa yang agung.”

(Mata Najwa)

Sejarah telah mencatat kiprah pemuda-pemuda yang tak kenal waktu, yang selalu berjuang dengan penuh semangat, walaupun jiwa raga menjadi taruhannya, dan Sumpah Pemuda menjadi satu dari kesekian catatan sejarah atas kiprah dan perjuangan pemuda untuk bangsa.

Di masa itu, 88 tahun yang lalu sekumpulan pemuda hadir turut ikut mengisi negerinya, komitmen persatuan berdasar rasa sepenanggungan terhadap bangsa dikumandangkan di “Kongres Pemoeda” yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta). Komitmen itu kemudian diejawantahkan dalam tiga baris satu kesatuan; Bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia. Berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Tiga baris satu kesatuan itulah yang kemudian sukses mengantarkan negeri pada rasa persatuan yang menggelora, menggulung kolonialisme mewujudkan cita-cita bangsa yang merdeka.

Kini, beragam kemasan diolah dan disuguhkan untuk merefleksikan nilai-nilai historis dan semangat juang dari berbagai “Jong” nusantara itu. Ratusan bahkan ribuan posting dan tweet dilahirkan untuk me-reka ulang komitmen pemuda 88 tahun silam. Tidak sedikit juga satu klik tombol “share” diberikan kepada artikel-artikel yang bernuansa sumpah pemuda, dengan harapan itu akan mencitrakan diri sebagai seorang nasionalis sejati. Ya, ini tentu lebih mending dibanding dengan men-sharing artikel-artikel yang mengundang perpecahan, seperti yang banyak kita lihat bersama belakangan ini.

Mewadahi Kepulangan Anak-anak Rantau.

Setiap kita adalah pembelajar tanpa terkecuali, dan belajar adalah kegiatan sehari-hari yang kita lakukan semenjak kita lahir dari rahim dan ditiupkan oleh-Nya ruh kehidupan. Lewat menjadi pelajar membawa kita terbiasa dengan kegiatan produktif. Jika sebagian memilih cukup puas dengan mem-bully dan nyinyir akan masalah bangsa, maka pelajar bangsa ditantang untuk terbiasa memproduksi optimisme, mendirikan dengan gagah beragam karya, ide dan solusi untuk negeri.

Berdasar proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015, jumlah pemuda mencapai 62,4 juta orang atau mencapai hampir 25 persen dari seluruh penduduk Indonesia, dengan persebaran jumlah pemuda di Pulau Jawa menempati posisi pertama dengan persentase 57,94%. Jika itu dikaitkan dengan pendidikan, maka data itu mengisyaratkan bahwa banyak anak muda yang hijrah untuk berbondong-bondong mengenyam pendidikan di luar daerah asalnya.

Hal itu jika dilihat dari kacamata positif tentu mengidentitaskan sebuah kebaikan yaitu niatan akan “pembangunan daerah” dengan menghijrahkan banyak anak muda untuk belajar ke perantauan. Sebuah spirit yang sama dan juga diusung oleh pemerintahan kini melalui program Nawa Cita, dimana disebutkan dalam bagian ketiga Nawa Cita tertulis; ”Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”. Keinginan membangun dari pinggiran ini berarti merubah orientasi pembangunan di Indonesia yang selama ini masih urban oriented yang acap kali menyebabkan terjadinya kesenjangan antara daerah-daerah di Indonesia. Hal itu terlihat dari pendapatan domestik bruto (PDB) yang sekitar 58,29% berasal dari pulau Jawa. Selanjutnya, berturut-turut diikuti oleh Pulau Sumatera 22,21%, Pulau Kalimantan 8,15%, dan sisanya terbagi di kawasan Indonesia timur. Adanya kesenjangan tersebut memiliki relevansi pada kemiskinan yang mayoritas terjadi di Indonesia bagian timur. Hal tersebut juga didukung dengan data bahwa dari 183 kabupaten tertinggal di Indonesia, 70% di antaranya berada di Indonesia bagian timur.

Pada era desentralisasi ini, daerah memang seperti berlomba-lomba “menembakkan” putra-putrinya untuk belajar ke berbagai daerah dan negara. Tujuannya satu, pulang membawa sumbangsih untuk kemajuan daerah. Namun juga tak dipungkiri banyak pemuda yang kini enggan untuk kembali ke daerah untuk membangun daerahnya dikarenakan tidak ada wadah untuk pemuda dalam mengekspresikan bakat dan ide nya. Meski sudah bisa melanjutkan kuliah ke jenjang lebih tinggi, namun ketika ditanyakan akan kembali ke daerah mayoritas akan susah menjawab.

Oleh karena itu, sudah sepantasnya lah daerah memberikan ruang bagi kepulangan anak-anak rantau yang menjadi putra-putri daerahnya untuk berekspresi sesuai dengan bakat dan kompetensi yang dimiliki. Dengan membangun tempat dan ruang yang mampu menginkubasi ide, dan menjembatani para pemuda dengan pemerintah , pelaku usaha, pendidikan tinggi, dan investor , sehingga bisa menciptakan sebuah geliat ekonomi, inovasi dan konsepsi otonomi daerah dengan kemandirian yang sesungguhnya.


Sumber Gambar Sampul : fondecranhd.net

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini