Bincang Keindonesiaan dalam Sastra Bersama Dewi Lestari

Bincang Keindonesiaan dalam Sastra Bersama Dewi Lestari
info gambar utama

Menyulap Bahasa-bahasa ilmiah menjadi Bahasa populer merupakan satu dari sekian banyak kemampuan seorang Dewi Lestari dalam menulis. Karya besarnya, Supernova, yang sudah dilahirkan sampai seri keenam terus menerus mendapatkan banyak penggemar meski semakin baru serinya, semakin banyak konten ilmiah yang dibahas dalam Supernova.

Novel Supernova sejatinya merupakan novel tentang pencarian jati diri yang pembahasannya disandingkan dengan pembahasan-pembahasan saintifik. Namun, menelisik lebih dalam, karya Dee satu ini juga menyimpan banyak sekali potret-potret Indonesia yang dikisahkan dari berbagai sisi.

Sebagai salah seorang penulis dan penggiat sastra, menurut Dee setiap penulis selalu menyimpan jati diri kebangsaan dalam setiap karya mereka.

Di sela-sela waktu senggangnya di acara Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2016, GNFI berkesempatan sedikit bincang-bincang dengan Dee mengenai representasi Indonesia dalam sebuah karya sastra dan berbagi sedikit tentang bocoran kejutan dari karya selanjutnya.

Bagaimana Dee merepresentasikan Indonesia dalam karya-karya Dee?

Kalau dalam pengamatan saya, seseorang tidak bisa memisahkan identitas kebangsaannya dalam hal apapu, bagaiman sebuah kultur, dimana kita tinggal, itu pasti akan masuk dalam karya kita. Jadi, saya sendiri tidak pernah mengkhususkan untuk menulis tentang Indonesia secara kultural. Tapi ketika saya bicara tentang kehidupan dan kehidupan itu adalah potret dari sesuatu yang terjadi di Indonesia, otomatis itu akan merepresentasikan sebagian dari potret- ya, kita tidak bisa memotret keseluruhan Indonesia. Tetapi apa yang saya berikan adalah sekeping atau dua dari kehidupan yang saya amati.

Kadang-kadang saya ada niat untuk membuat cerita kultur Batak. Atau tentang suatu tempat Tanjung Putting di Kalimantan. Tetapi, bagi saya itu kembali lagi kepada cerita itu harus diolah sebaik dan semenarik mungkin. Sementara identitas kebangsaan itu adalah satu hal yang tanpa harus kita sadari sepenuhnya, itu akan otomatis tertulis dalam karya.

Bagaimana menurut Dee para penulis Indonesia sekarang dalam merepresentasikan keIndonesiaan pada karyanya?

Saya merasa kalau setiap penulis itu akan menulis dari realitas mereka masing-masing. Jadi, ini bukan soal bagus nggak bagus, benar nggak benar. Tapi dalam hal ini, saya melihat bahwa variasi adalah menjadi hal yang sangat penting. Jangan sampai semua orang ngomongin hal yang sama. Kembalilah ke minat ataupun fokus masing-masing. Ada yang bicara tentang anak SMA, ada yang bicara tentang anak kuliah, ada yang bicara tentang politik, agama, budaya, dan sebagainya itu dikembalikan kepada penulisnya masing-masing.

Kalau menurut saya saat ini genre tulisan penulis Indonesia sudah semakin kaya, semakin banyak. Mungkin itu juga datang dari influence buku-buku yang masuk ke Indonesia dan pengaruh globalisasi, dan saya rasa itu merupakan snap shot dari berbagai macam kehidupan yang terjadi secara real.

Seperti dalam karyanya
Seperti dalam karyanya "Filosofi Kopi", Dewi Lestari menggambarkan Indonesia melalui kopi yang juga menjadi salah satu hal favoritnya (source image: sophiamega.com)

Untuk karya selanjutnya, hal menantang apa yang ingin dituliskan?

Mm.. saya tertarik.. ada beberapa ide yang sedang saya olah saat ini. Ada satu kisah yang bagi saya sangat menarik karena indera penciuman itu, kan salah satu indera yang paling kuat. Tapi, menurut saya belum banyak cerita yang mendedikasikan topiknya ke indera penciuman. Jadi, saya ingin sekali membuat cerita yang bernuansa indera penciuman.

Yang ke dua adalah saya punya kisah yang pernah saya garap bertahun-tahun lalu, sama seperti Perahu Kertas yang itu sudah saya tulis lebih dari 11 tahun lalu, kan. Kalau ini sudah lebih lama dari Perahu Kertas, jadi saya ingin membangitkannya lagi, pengen menulis ulang lagi. Cuman karena ini ceritanya tentang anak SMA saya harus berjalan mundur jauh banget gitu. Mungkin harus riset lagi dan sebagainya.

Nah, dari ide dan tantangan baru yang akan menjadi next project itu, nantinya nilai-nilai Indonesia akan ada di bagian mana?

Barangkali soal tempat. Saya ingin mengangkat beberapa tempat yang belum banyak diketahui orang dan juga untuk yang indera penciuman itu saya ingin mengangkat dari legenda. Saya nggak bisa cerita banyak karena nanti takut spoiler, tapi kira-kira seperti itu. Jadi, saya ingin mengangkat tempat-tempat yang belum pernah terekspos dan cerita legenda yang belum banyak orang tahu.

Dari semua karya yang sudah dipublikasikan, Dee sendiri membuat karya tersebut untuk siapa?

Saya nggak pernah berpikir siapa pembaca saya. Jadi menulis buku yang ingin saya baca sebetulnya. Tapi, kalau misalnya ada orang yang suka atau merasa relate atau merasa terwakilkan bagi saya itu adalah bonus. Tapi saya tidak pernah menargetkan pembaca saya. Data-data tentang usia itu memang ada itu lebih kepada sebuah evaluasi ketimbang tujuan yang dirancang dari awal. Misalnya, saya tahu pembaca saya banyak di usia kuliah, tapi itu tidak pernah menjadi tujuan saya. Itu lebih menjadi seperti review tentang profil pembaca saya.

Kalau bagi saya menulis itu lebih baik saya nggak fokus ke eksternal tapi lebih fokus ke internal.

Dee pernah bilang kalau tulisan yang dibuat harus mencerdaskan. Itu konteksnya seperti apa dan apa urgensinya?

Karena gini, setiap orang kan punya filter pemahaman masing-masing. Seorang penulis bisa punya sebuah tujuan tertentu, tapi dia tidak akan punya kendali untuk tujuannya itu harus sampai. Karena bagaimana pun pembaca akan punya hubungan dengan buku itu secara personal dan hubungan tersebut tidak bisa diganggu gugat oleh siapa pun termasuk oleh penulisnya sendiri.

Maksud saya adalah begini, saya ingin tulisan yang memberikan rasa ingin tahu, memancing rasa ingin tahu. Artinya, kalau misalnya ada yang bilang “wah, kalau habis baca buku Mbak Dewi saya harus googling..”, bagi saya itu pertanda baik. Artinya mereka jadi punya rasa penasaran, ingin tahu lebih banyak hal tentang yang saya tulis dalam buku saya, dan akhirnya meeka jadi banyak dapat informasi. Jadi, saya selalu memosisikan buku saya itu sebagai pemancing. Memancing supaya orang jadi makin tertarik pada topik tertentu.

Atau, saya juga memang sengaja menuliskan hal-hal yang menurut saya menarik tapi tidak banyak diulas.

Bagaimana keberlangsungan literasi Indonesia dalam memasukkan nilai-nilai keIndonesiaan pada karya sastra dengan gaya hidup yang serba digital dan era informasi yang serba bebas sekarang ini?

Segala hal menurut saya pasti ada dua sisi. Kalau saya terus terang sangat menikmati arus informasi yang sangat deras ini. Saya jadi mudah untuk melakukan riset. Jadi menurut saya dampak globalisasi yang paling menyenangkan adalah informasi. Tapi tentu saja itu akan selalu ada konsekuensi yang tidak kecil.

Aku tidak tahu masa depan literasi akan seperti apa karena aku juga tidak punya keahlian untuk memprediksi untuk meramalkan ke arah sana. Tapi saya merasa bahwa kita pasti akan beradaptasi, kok. Buktinya, saat ini sudah mulai ada transisi dari buku cetak ke buku digital. Tapia da juga orang-orang yang merasa pengennya itu tetap ada. Menurut saya setiap orang akan mencari tempatnya masing-masing dan yang jelas kita kan punya referensi yang lebih kaya. Ini akan bisa menjadi pemicu untuk meningkatkan kualitas literasi kita.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini