Leonardo DiCaprio, Before The Flood dan Satwa Laut Indonesia

Leonardo DiCaprio, Before The Flood dan Satwa Laut Indonesia
info gambar utama

April yang lalu netizen Indonesia sempat dihebohkan dengan kedatangan seorang aktor Hollywood yang juga seorang aktifis lingkungan, seorang Leonardo DiCaprio. Media-media lokal di Tanah Air tak pelak memberitakan kedatangannya berbagai konten terkait Aceh dan sang aktor bermunculan. Netizen pun berbondong-bondong menyimak melalui akun Instagram sang aktor yang saat itu memposting sekitar tiga foto tentang kedatangannya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terletak di Aceh dan Sumatera Utara. Semua bertanya-tanya ada apa gerangan aktor tersebut datang ke Indonesia.

Tujuh bulan berselang, barulah kemudian netizen mengetahui tujuan apa sebenarnya kedatangan aktor tersebut ke Indonesia. Leonardo yang memang sejak muda dikenal dekat dengan tema-tema kepedulian lingkungan itu ternyata melakukan pengambilan gambar untuk film dokumenter terbaru yang diproduserinya, Before The Flood. Sebuah film yang mengangkat isu tentang perubahan iklim ekstrim yang sedang terjadi dihampir setiap belahan dunia.

Dalam film tersebut, Leonardo berkeliling dunia untuk mengetahui seberapa besar perubahan bumi akibat perubahan iklim. Serta sedikit banyak menyampaikan argumen tentang keniscayaan fenomena ini dan menyelipkan sedikit balasan pada mereka yang menganggap pemanasan global adalah sesuatu yang fiktif. Tentu saja, Indonesia sedikit banyak mau tidak mau harus terungkap dalam film tersebut.

Kedatangan Leonardo di KEL saat itu disambut oleh Yayasan HAkA: Forest, Nature and Environment of Aceh, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki misi untuk menjaga kelestarian eksosistem Leuser. Dan dia berbincang dengan Rudi Putra seorang peraih penghargaan Goldmans Environmental Prize 2014 dan Farwiza Farhan yang saya sempat wawancarai via surat elektronik terkait film Before The Flood beberapa hari lalu.

The lowland #rainforest of the Leuser Ecosystem are considered the world’s best remaining habitat for the critically endangered Sumatran #elephant. In these forests, ancient elephant migratory paths are still used by some of the last #wild herds of Sumatran elephants. But the expansion of Palm Oil plantations is fragmenting the #forest and cutting off key elephant migratory corridors, making it more difficult for elephant families to find adequate sources of food and water. The Leonardo DiCaprio Foundation is supporting local partners to establish a mega-fauna sanctuary in the Leuser Ecosystem, last place on Earth where Sumatran orangutans, tigers, rhinos and elephants coexist in the wild. Click the link in the bio to stand with @haka_sumatra as they fight to protect the Leuser Ecosystem. #SaveLeuserEcosystem #Indonesia

A photo posted by Leonardo DiCaprio (@leonardodicaprio) on

Menurut Farwiza, kedatangan Leonardo bulan April lalu tersebut sedikit banyak dipengaruhi penghargaan tersebut. Farwiza mengungkapkan bahwa kedatangan Leonardo banyak memperbincangkan upaya-upaya mitigasi perubahan iklim melalui pencegahan deforestasi. Deforestasi masif merupakan salah satu kontributor terbesar dalam perubahan iklim yang terjadi saat ini. Terlebih ketika prosesnya dilakukan dengan cara pembakaran menghasilkan gas rumah kaca seperti karbon dioksida.

Farwiza juga menjelaskan bahwa Kawasan Ekosistem Leuser merupakan satu-satunya wilayah di dunia di mana Gajah, Harimau, Badak dan Orang Utan liar dapat hidup dalam satu kawasan. Dan deforestasi mengancam spesies-spesies tersebut. Bisa jadi fakta ini juga menjadi alasan kuat mengapa Leonardo menaruh perhatian pada Leuser.

Isu terancamnya spesies khas, mungkin terdengar kurang dramatis bila dibandingkan dengan bencana yang akan menimpa masyarakat. Padahal tanpa disadari perubahan iklim juga mengancam keberlangsungan Indonesia sebagai negara maritim.

Seperti diketahui Indonesia merupakan negara dengan panjang pantai mencapai 81 km dengan kawasan lautnya seluas 5,8 juta km persegi. Dari luas tersebut setidaknya menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat 1.400 jenis ikan dan 450 jenis terumbu karang. Belum cukup, Indonesia dalam satu dekade terakhir dikenal sebagai merupakan salah satu negara penghasil tuna terbesar di dunia. Lalu apa kaitan antara laut dengan perubahan iklim? Before the Floods rupanya tidak ketinggalan mengungkap hal ini.

Dalam beberapa adegan, terlihat terumbu karang yang berada di laut rupanya mengalami kerusakan hebat ketika suhu air laut meningkat. Fenomena yang umum ditemukan adalah terjadinya bleaching atau pemutihan yang menandakan bahwa karang tersebut telah mati. Padahal terumbu karang adalah habitat bagi ikan-ikan ukuran kecil dan menengah. Secara sederhana ketika ikan-ikan kecil kehilangan habitat maka populasinya menurun dan akan berdampak pada jumlah ikan-ikan predator seperti tuna.

Bayi Manta Terumbu di Situs Wayag (Foto: Shawn Heinrichs / Bluespheremedia.com)
info gambar

Tentu saja perubahan iklim tidak hanya berdampak pada jumlah tangkapan tuna. Seperti kita ketahui, Indonesia timur merupakan destinasi wisata laut favorit di Nusantara. Raja Ampat misalnya, menjadi semacam lokasi yang magis yang dihuni berbagai macam hewan laut. Bahkan Conservation International mengungkapkan bahwa di sana terdapat lokasi nursery bagi Hiu Paus dan Pari Manta yang keduanya merupakan ikan laut terbesar di dunia.

Baca juga: Kejutan Hebat dari Bawah Laut Raja Ampat

Kekayaan laut seperti tuna maupun Raja Ampat yang dimiliki Indonesia tentu saja akan terancam bila tren perubahan iklim terus meningkat. Apalah artinya sebagai negara maritim namun lautnya kering akan sumber daya. Inilah yang kemudian membuat saya gelisah ketika menonton Before The Flood. Namun di beberapa bagian akhir film tersebut saya merasa adanya arus perubahan. Ketika melihat sosok Elon Musk dan kemudian Paris Climate Agreement yang ternyata Leonardo menjadi salah satu pembicara kunci.

Perubahan iklim memang bukan tanggung jawab satu negara atau bangsa saja. Persoalan ini dialami oleh seluruh dunia. Dan saat Indonesia menunjukkan inisiatifnya untuk menjadi bagian dari Paris Agreement, itu artinya setiap kebijakan negara utamanya ekonomi harus memerhatikan aspek ramah lingkungan.

Secara resmi memang kesepakatan internasional dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut dimulai sejak 4 November kemarin, namun rasanya ini adalah sebuah langkah awal dari sebuah harapan. Harapan bagi satwa tidak hanya yang di lautan tetapi juga yang di daratan Nusantara. Inilah hubungan antara sang peraih Piala Oscar dengan dokumenter terbarunya dengan satwa laut di Tanah Air.

Kemudian bagaimana dengan kita? apa yang dapat diperbuat? Saya menyarankan kawan untuk menonton film Before The Floods terlebih dahulu untuk sedikit memahami perubahan iklim. Saya setuju ketika Farwiza mengatakan bahwa film ini menjadi tontonan yang patut dipertimbangkan karena mampu menampilkan topik yang sulit: memahami sisi saintifik perubahan iklim.

Akhir kata, menjadi optimis bukan berarti abai dan bisa dengan permasalahan, namun menjadi optimis adalah sadar dengan permasalahan kemudian tergerak sekuat tenaga untuk mencari solusi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini