Waktu menunjukkan pukul 16 sore. Pada jam ini, para abdi dalem Keraton Yogyakarta punya kesibukan khusus di dapur Keraton. Beberapa abdi dalem wanita telah mengenakan busana jarik dan salah satunya membawa sebuah payung kuning. Mereka berjalan berbaris menuju ke gedhong Patehan, sebuah pendopo di Keraton yang biasa digunakan untuk melaksanakan upacara minum teh oleh Sri Sultan Hamengkubuwono.
Ya, di gedhong Patehan ini para abdi dalem khusus selalu punya tugas untuk membuat hidangan teh bagi Sri Sultan Hamengkubuwono dan keluarga setiap pukul 6 pagi, 11 siang, dan 16 sore. Keluarga Sri Sultan sejak dulu memang punya tradisi minum teh di gedhong Patehan ini dan akhirnya menjadi sebuah upacara minum teh yang disebut dengan Patehan.

Proses tradisi minum teh ini hanya boleh dilakukan oleh abdi dalem yang dipercaya khusus. Mulai dari pembuatan tehnya hingga menyajikan kepada Sri Sultan. Abdi dalem harus membuat teh di dapur yang ada di dalam lingkungan Keraton atau lebih tepatnya berada di bagian Keputren. Selain itu, tempat penyajian teh untuk Sultan, anak-anak, cucu, pejabat, hingga para abdi dalem sendiri dibedakan yakni dari penggunaan cangkirnya. Khusus untuk Ngarso Dalem, cangkir yang digunakan adalah cangkir yang sudah dipakai sejah Hamengkubuwono VII.
Pembuatan teh untuk disajikan kepada Sri Sultan tidak boleh dilakukan sembarangan. Cita rasa teh harus pas dan komposisinya harus seimbang antara air, teh, dan gulanya. Pun usai teh dibuat tidak boleh langsung diantarkan kepada Sri Sultan melainkan harus diuji dulu oleh seorang penguji rasa teh. Hal ini untuk menjaga cita rasa hidangan teh ala Keraton yang sudah turun temurun sejak dahulu.
Teh kemudian diantarkan oleh lima orang abdi dalem wanita yang disebut dengan keparak menuju ke tempat Sri Sultan berada. Menurut keterangan GKR Bendara, tradisi Patehan itu tidak hanya satu versi saja. Ia mengatakan, tradisi Patehan yang dilaksanakan ketika pada acara Lebaran, Ngapem, dan Sungkeman itu berbeda dengan Patehan yang dilaksanakan pada hari-hari biasanya. “Pada acara-acara tertentu, tradisi Patehan dilakukan dengan ritual-ritual dan aturan khusus,” ujar GKR Bendara.

Cangkir yang digunakan oleh Sultan memiliki ukuran yang kecil. Jadi ketika memakainya, sekali minum saja sudah habis. Selain ukuran yang tidak biasa, cangkir tesebut juga memiliki warna merah muda. Cangkir-cangkir itu sendiri juga memiliki corak warna bermacam-macam. Ada yang berwarna merah muda bercorak emas, perak, atau warna yang lainnya. Corak warna-warna tersebut merupakan penanda tingkat jabatan orang-orang di dalam Kraton Yogyakarta.
Secara khusus, tradisi Patehan sebenarnya tidak hanya satu versi melainkan tradisi ini juga dilaksanakan pada hari-hari besar seperti lebaran, ngapem, dan sungkeman. Namun, semuanya memiliki prosesi yang berbeda dengan Patehan yang dilaksanakan pada hari-hari biasa.
Kekhasan dari teh yang disajikan pada tradisi Patehan adalah teh nasgitel alias panas, legi, kentehl. Komposisi teh semacam ini sangat awam bagi kalangan masyarakat Jawa karena di dalam teh nasgitel terdapat nilai-nilai kehidupan yang baik. Teh nasgitel itu ibarat kehidupan, selalu ada yang pahit, wangi, panas, dan kental. Teh nasgitel yang disajikan dengan gula batu itu diibaratkan sebagai bentuk dari kenikmatan hidup. Namun sebenarnya, tidak dari rasanya saja, tapi filosofi kebahagiaan selalu diperoleh melalui kerja keras dan tempaan waktu. Bila teh yang panas bertemu dengan gula batu yang mencair bersama sehingga menghasilkan rasa yang pas, itulah keseimbangan hidup.
*
GNFI
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News