Di Vietnam, Dunia tak Lagi Terbelah Dua

Di Vietnam, Dunia tak Lagi Terbelah Dua
info gambar utama

Bagi banyak orang Indonesia, jika disebut nama Vietnam, yang terlintas pertama kali adalah sejarah Perang Vietnam yang brutal dan memakan banyak korban. Benar, saya pun punya fikiran yang sama. Meski begitu, di satu sisi, perang ini memang begitu brutalnya dengan memakan korban jutaan rakyat Vietnam, merusak segala infratuktur negara dan berbagai sendi-sendi kehidupan negeri yang baru saja mengusir penjajah Prancis tersebut, namun di sisi lain, perang ini juga menyatukan hati segenap rakyat Vietnam karena dipicu rasa senasib menjadi korban perang panjang yang berdarah itu, pun juga memunculkan tokoh pemersatu yang begitu dicintai dan dihormati, yakni Ho Chi Minh (namanya kini diabadikan menjadi nama kota terbesar, yakni Ho Chi Minh City, yang dulu adalah ibukota Vietnam Selatan yang bernama Saigon).

Salah satu sudut kota Hanoi | foto : Akhyari Hananto
info gambar

Perang yang berlangsung selama 19 tahun dari tahun 1954 hingga 1975 ini tak hanya melibatkan Vietnam Utara, melawan Vietnam Selatan yang didukung langsung oleh AS, namun juga membuat banyak sekali negara lain ikut memihak, baik utara maupun selatan. Dan di museum perang di Ho Chi Minh City, kota terbesar di Vietnam, keberpihakan tersebut disampaikan. Di sana terpampang negara-negara mana saja yang melawan berseberangan dengan Vietnam Utara (yang akhirnya memenangkan perang), dan yang mendukung mereka. Dunia 'terbelah dua' di masa perang Vietnam.

Kini, tentu Vietnam sudah begitu berbeda. Meski trauma perang masih tersisa, namun reruntuhannya hampir-hampir tak terlihat lagi. Anak-anak muda di sana mungkin tak mampu membayangkan bagaimana beban pendahulu mereka di masa perang, namun semangat dan kebanggaan mereka menjadi bangsa Vietnam, terlihat begitu kentara.

Ho Chi Minh Maoloseum, kecintaan bangsa kepada pendirinya | foto : Akhyari Hananto
info gambar

Saya bertemu dengan seorang anak muda di Hanoi bernama Phuong, yang kebetulan hari itu memakai kaos warna merah bergambar bintang kuning di depan (warna bendera Vietnam). Umurnya baru 24 tahun, dan dia sudah bekerja di 2 tempat setiap harinya (siang dan malam hari), untuk menghidupi orangtua dan 2 adiknya yang masih sekolah. Dengan bahasa Inggris yang cukup bagus, Phuong bercerita tentang banyak hal, diawali dengan kiprah Timnas Vietnam di Piala AFF 2016 dan prediksinya. Ceritanya begitu berapi-api, penuh kebanggaan, dan optimisme. Kemudian dia bercerita bagaimana dia berangkat pagi dan mulai bekerja di sebuah toko smartphone pukul 8 pagi hingga pukul 3 sore, kemudian dia bekerja menjadi resepsionis di sebuah hotel dari pukul 5 sore hingga pukul 9 malam. Di setiap akhir pekan, dia kuliah .

Saya tak bisa menahan diri untuk bertanya.."apakah tidak capek, atau lelah, atau patah semangat?" Jawabannya sangat menggetarkan. "Orang tua kakek nenek bangsa Vietnam berhasil mengusir penjajah Prancis, mengusir Amerika, dan menggagalkan invasi China (tahun 1979). Mereka semua berhasil, karena kuncinya pantang menyerah meski tantangannya berat. Dan tantangan saya jauh lebih ringan" .

Saya tertegun.

Terus terang saja, saya sangat terkesan ketika pertama kali mendarat di Hanoi beberapa hari lalu. Airport yang begitu besar dan rapi, dan jalan raya dari airport ke kota Hanoi yang begitu lebar, rapi, halus, dan iconic. Kota Hanoi sendiri masih mempertahankan ciri khasnya dengan bangunan-bangunan khas kolonial Prancis yang berderet, dengan toko-toko dan rumah yang berhias baik, PKL yang sangat tertata, mobil-mobil baru buatan Jepang, Korea, maupun Amerika berlalu lalang di antara ribuan kendaraan roda dua.

Pariwisata Vietnam yang kini begitu maju
info gambar

Kota yang sangat hidup, seru, friendly, tak infrastruktur pun juga baik. Hanoi tentu saja adalah representasi Vietnam yang tengah tumbuh dan berlari cepat. Negara ini seolah benar-benar mengoptimalkan potensi-potensi besarnya untuk menjadi negara di jajaran pertama di Asia, di antara negara-negara lain yang lebih dahulu maju. Semangat dan etos kerja rakyat Vietnam (terutama usia produktifnya) benar-benar menjadikannya sebagai masyarakat dengan produktifitas sangat tinggi. Kedekatan geografisnya dengan China, Jepang, dan Korea, juga garis pantai yang panjang membuatnya fleksible untuk memaksimalkan perdagangan dan investasinya. Sebuah keuntungan besar.

Vietnam yang kini mulai menjadi masyarakat yang industrialis dengan struktur biaya yang relatif rendah dan infratruktur yang makin baik, rasanya tak akan kesulitan dalam mengamankan posisinya menjadi salah satu kuda hitam Asia. Produk-produk made in Vietnam makin berkualitas baik, dan barang-barangnya mulai membanjiri negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia.

Tak hanya itu, salah satu fenomena significan yang sedang terjadi di dunia adalah makin tumbuhnya keinginan banyak orang, dari seluruh dunia, untuk 'mencicipi' kebudayaan Vietnam melalui makanan, seni, dan fashionnya. Nama Vietnam makin populer di dunia. Banyak orang dari luar Vietnam bahkan membuka warung makan bercitarasa Vietnam (Pho) atau setidaknya terinspirasi dari Vietnam

Soft Power Vietnam yang powerful. Identitas Budaya mereka | Fine Arts America
info gambar

Dan Vietnam juga menyadari soft power mereka ini, budaya mereka yang disukai dunia. Ada potensi pertumbuhan dari sini, karena keunikannya. Kualitas saja tak cukup, kini dunia perlu unique experiences. Dan ini sedang berlangsung. Hanoi kini mulai penuh sesak oleh wisatawan dari seluruh dunia. Kota yang memang sangat welcoming ini sepertinya sudah begitu bersiap diri menyambut tamu-tamu mancanegaranya. Toko-toko yang didesain dengan manis, warung makan dengan harga terjangkau, dan yang paling menarik adalah betapa friendly-nya orang Vietnam terhadap para tamu.

Thang Long highway, baru, besar, membanggakan | Vietnamnews.com
info gambar

In short, negara ini sedang dalam kondisi siap menjadi salah satu 'keajaiban Asia', mengikuti Korea Selatan yang sama sama tumbuh dari luka besar konflik perang saudara yang brutal. Seperti Korsel di awal kemajuannya, Vietnam juga diberkati dengan talent base yang besar, cultural dan national identity yang begitu kuat, juga social bond dan semangat bekerja keras yang begitu kuat. Selain itu, Vietnam juga memiliki jaringan diaspora yang luas dan berpengaruh, termasuk di Silicon Valley. Dan rasanya, orang-orang seperti Phuong yang pantang mengeluh, adalah aset utama negara ini untuk menjadi bangsa yang bekerja keras, berfikir maju, dan bervisi panjang.

Jalan Tol Menuju Bandara Hanoi
info gambar

Vietnam juga menyadari sepenuhnya, bahwa untuk menuju tujuan-tujuan jangka panjangnya, mereka membuka diri untuk semua pihak. Vietnam menjalin hubungan ekonomi yang dekat dengan China meski mereka tak sepaham terkait isu Laut China Selatan, juga dekat dengan Uni Eropa, Amerika, Jepang, Korea Selatan, dan tentu saja negara-negara Asean. Orang-orang militer yang dulunya berperang melawan Amerika di masa mudanya, sekarang justru yang membuat perjanjian dengan mantan musuh Perang Dingin mereka. Memang, Presiden AS Barrack Obama di awal tahun ini telah mengumumkan pencabutan embargo penjualan senjata ke Vietnam yang telah berpuluh-puluh tahun lamanya. Kemitraan mereka dengan Korea Selatan telah terbukti sangat bermanfaat. Contoh yang paling menonjol adalah investasi Samsung senilai 12 miliar dollar AS pada industri elektronik Vietnam.

Di Vietnam, kini dunia tak lagi terbelah dua.

Pagi tadi, saya meninggalkan Hanoi menuju Sapa, kota kecil di utara sejauh 380 km dari Hanoi yang berbatasan dengan China. Di perjalanan di sepanjang jalan raya yang lurus dan halus yang memakan waktu 5 jam tersebut, saya berkesempatan melihat banyak hal, bertemu dengan banyak orang, melihat infrastruktur di luar kota besar, dan lain-lain. Saya makin yakin, bahwa saat itu saya sedang berada di sebuah negeri yang sedang bersiap menjadi raksasa Asia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini