Mengenal "Mop", Budaya Humor Ala Papua

Mengenal "Mop", Budaya Humor Ala Papua
info gambar utama

Siapa sangka Papua memiliki kebudayaan yang sangat menarik. Terlepas dari yang biasa kita lihat seperti Tari Yospan dan Tifa, ada satu budaya yang mendarah daging di tanah Jaya Wijaya yakni mop. Menurut Mokougouw (dalam Aritonang & Luhukay), mop atau mob merupakan wacana humor khas Papua yang menyindir sekaligus menertawakan kisah masyarakat Papua dari berbagai etnis, usia, status ekonomi, dan profesi. Jika orang Indonesia lebih akrab dengan istilah stand up comedy, mop terbilang mirip dengan format lawak tersebut tapi dilakukan dengan logat dan aksen Papua.

Mop merupakan budaya yang mendahului eksistensi stand up comedy di Indonesia. Belum ada kejelasan mengenai asal dan kapan ditemukannya pertama kali, tetapi ada beberapa sudut pandang sejarah. Sebagian masyarakat Papua meyakini bahwa mop diperkenalkan oleh orang Belanda saat zaman penjajahan. Istilah mop sendiri diambil dari April Mop (lelucon April) yang secara internasional dilaksanakan pada tanggal 1 April. Di sisi lain, ada pula kelompok masyarakat yang secara sederhana mengartikan mop sebagai singkatan "mati ketawa ala orang papua".

Mop dilakukan dalam kelompok kecil maupun besar, formal maupun nonformal. Sama halnya dengan stand up comedy, mop dimulai dengan seorang pencerita berdiri di tengah sekelompok orang yang duduk. Secara spontan, pencerita akan mengawalinya dengan berkata, “…ee, mari ko dengar dulu sa pu mob ni” yang artinya "hei, mari kalian dengar mob saya ini". Selama berlangsung, pendengar menanggapi dengan tertawa. Tak jarang jika penceritanya memang humoris, para pendengar dapat tertawa hanya dengan melihat mimik wajah dan gaya tubuhnya saja. Ketika pencerita pertama selesai, mop dapat terus berlanjut dengan pencerita berikutnya dan terus dilakukan hingga selesai.

Dolphin, seorang pembicara dalam forum
Aksi Dolphin, seorang pembicara dalam forum resmi "Bicara Papua" di UGM, dalam menceritakan mop (Sumber: Arif L. Hakim)

Pada dasarnya mop memiliki variasi sesuai suku dan daerah di Papua. Ada mop khas Jayapura, Wamena, Biak, Manokwari, Sorong, hingga Fakfak. Ada beberapa kata yang secara umum dipakai dalam mop yakni pace untuk penggambaran laki-laki, mace untuk penggambaran perempuan, yaktep untuk anak muda, tete untuk kakek, dan nene untuk nenek. Mop memungkinkan setiap orang dalam satu situasi dimana setiap orang sejajar tanpa memperhatikan strata sosial dan status. Oleh karena itu, mop dapat diterima oleh siapa saja karena bersifat sebagai ringan dan santai.

Mop dapat dilakukan dimana saja. Kegiatan ini sering ditemukan di warung-warung kopi, tepi jalan, terminal, acara-acara formal, bahkan sebagai pembuka khotbah di gereja. Tema yang diusung pun beragam, mulai dari gaya hidup, kejadian sehari-hari hingga keagamaan. Semakin lama, mop tidak hanya sebatas menghibur tapi juga sebagai sarana opini dan politik. Mop kerap dipakai untuk menyindir pemerintah atau suku lain secara halus, tanpa tekanan atau intimidasi. Hal ini memberikan ruang bagi masyarakat Papua untuk mengekspresikan pendapat dan kritik secara bebas tanpa takut menghakimi pihak lain. Sisi positif lainnya, mop juga dipakai untuk media kampanye program pemerintah seperti hidup sehat, pemberatasan buta huruf, ekonomi mikro, dan sebagainya.

Penetrasi mop tidak lagi sebatas satu suku, melainkan telah mencangkup seluruh suku di segala penjuru Papua. Seiring berjalannya waktu, mop mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan informasi. Awalnya penyeberan mop hanya dari mulut ke mulut, tetapi dengan kemajuan teknologi dan adanya internet, mop dapat terjangkau oleh masyarakat bahkan hingga luar Papua. Salah satu format mop adalah video yang dipopulerkan oleh Epen Cupen di Youtube. Selain itu mop juga dibagikan dalam bentuk pesan singkat (SMS), melalui sosial media seperti Facebook, Twitter, Instagram, menuliskannya dalam blog, atau mengemasnya dalam bentuk e-book, CD, dan DVD.

Berikut salah satu video mop berjudul "Kendaraan Buat Kuliah".


Sumber :

Academia.edu | Kompasiana.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini