Semilir Angin Surgawi, Bakti Boscha, Dan Semangat Belajar Yang Menyenangkan

Semilir Angin Surgawi, Bakti Boscha, Dan Semangat Belajar Yang Menyenangkan
info gambar utama

Pagi hari di pelataran Museum Geologi Bandung, Fikar (10 Tahun) tampak antusias mengikuti acara yang sudah lama ia nantikan. Demikian juga dengan sang adik, Farhan yang senang sekali disebut jenderal Farhan. Mereka berdua akan mengikuti geotrek bersama Matabumi. Geotrek pagi itu akan dilaksanakan ke kawasan Bandung Selatan tepatnya di Pangalengan.

Sudah bukan rahasia lagi jika Bandung Selatan memiliki keindahan yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan Bandung Utara. Jenuhnya pembangunan di Kawasan Bandung Utara, macet, dan segala masalah yang timbul membuat Bandung Selatan dilirik banyak pegiat jalan-jalan. Di kawasan Bandung Selatan, terbentang jalur pegunungan yang masih alami. Hamparan kebun teh masih alami membentang luas sejauh mata memandang. Perkebunan teh Malabar, Kertasari, Cukul, dan Talun serta di lokasi lainnya yang ada di Pangalengan. Perkebunan teh Malabar yang terkenal karena di sana ada tempat bersejarah yang terus menerus dikenang sebagai peletak dasar pendidikan tinggi di Kota Bandung.

Gunung Wayang
Perjalanan pertama geotrek Matabumi, 10 Desember 2016 dimulai dengan perjalanan menuju Kawah Gunung Wayang. Selepas melewati jalanan kota menuju kelokan-kelokan khas jalur pegunungan, bus tiga perempat yang mengangkut peserta geotrek menanjak menuju titik awal pendakian. Kepulan asap dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap Wayang Windu terlihat jelas dari kejauhan. Cuaca sangat bersahabat siang itu, matahari bersinar terang, hijaunya hamparan teh begitu memukau.

Di tempat akhir berhenti, dua bus parkir, peserta bergegas turun dan berkumpul membentuk sebuah lingkaran. Udara segar langsung terasa ketika turun dari bus. Udara di perkebunan teh yang segar ditambah sedikit aroma daun teh yang khas serta pemandangan yang indah membuat beberapa peserta tak sabar mengabadikan kesempatan yang jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Mengambil tempat di lokasi yang luas, Roni Noviansyah mengondisikan peserta. T Bachtiar kemudian memberikan beberapa pengantar sebelum melakukan pendakian. Dengan gaya khas, T Bachtiar menyampaikan hal yang boleh dilakukan serta hal yang tidak boleh dilakukan. Diselingi guyonan untuk mencairkan suasana, T Bachtiar menjelaskan unsur-unsur kehati-hatian selama mendaki. Misalnya dari start awal keberangkatan, jaringan pipa panas bumi sudah menjadi pemandangan awal yang melingkar-lingkar seperti ular. Ada yang berwarna hitam dan ada yang berwarna putih, T Bachtiar mengingatkan agar tidak menyentuh pipa yang berwarna hitam karena panasnya bisa melelehkan plastik. Dengan contoh yang ditunjukan langsung, sebuah plastik langsung meleleh ketika ditempelkan ke pipa yang berwarna hitam. Warna yang muncul karena terbakar oleh panas yang dialirkannya di jaringan dalam pipa.

Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit, kawah di gunung Wayang sudah terlihat. Kepulan asap dari balik bebatuan terlihat membubung ke atas. Peserta geotrek girang melihat kawah putih yang kemudian disusul dengan foto-foto merekam keindahan. Sebagian mengeluarkan tongkat narsis yang sudah disediakan jauh-jauh hari. Tongsis berjaya! Yah, bantuan alat ini sangat besar untuk siapapun agar tidak merepotkan orang lain. Cukup dengan memanjangkannya kemudian set kamera handphone dan nikmati hasil fotonya.

Selesai menikmati keindahan kawah Gunung Wayang, kegiatan interpretasipun dilakukan. T Bachtiar kemudian menceritakan perihal energi panas bumi, Kawah Gunung Wayang, interpretasi nama Wayang yang disematkan pada gunung tersebut, dan hal-hal menarik lainnya seputar ilmu kebumian. Dalam cerita yang disampaikan wayang diambil dari dua kata sanskerta yaitu wa dan yang/hyang. Wa berarti angin dan hyang berarti surga. Wayang berarti angin dari surga atau semilir angin yang berhembus dari surgawi. Keindahan gunung Wayang akan terlihat jelas dari arah perkebunan teh Malabar terutama dari tempat pemakaman Boscha.

Bakti Bosshca
Karrel Albert Rudolf Bosscha atau yang dikenal dengan sebutan Bosscha adalah salah satu tokoh penting dalam pendidikan di Indonesia. Boscha sebagai akademisi, pengusaha, dan peneliti, membangun pondasi yang kuat dalam pembangunan Hindia Belanda pada masa lalu. Tercatat dalam sejarah kepeduliannya terhadap pendidikan, Bosscha mendirikan Technicshe Hugeschool yang kemudian dikenal dengan ITB (Institut Teknologi Bandung).

Dalam catatan prasasti yang ada di lokasi pemakamannya tertulis sebagai penghargaan atas dirinya sebagai berikut: “Seorang brillian yang memiliki dedikasi, integritas serta kepribadian yang kuat. Datang ke Indonesia pada tahun 1887. Berhasil mengelola dan mengembangkan Perkebunan Teh Malabar – Pangalengan pada tahun 1896 – 1929. Dikenal juga melalui sumbangsih serta peranan atas karya-karyanya antara lain: - Technische Hogeshcool saat ini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung. – Societiet Concordia, saat ini dikenal sebagai gedung Merdeka, Bandung tempat diselenggarakannya Konperensi Asia Afrika. – Observatorium Bosscha, gedung peneropongan bintang yang memiliki lensa terbesar di dunia saat itu. Serta karya-karya lainnya.

Pak Upir, seorang penjaga makam Bosscha bercerita banyak dengan menekankan bahwa Pak Bosscha ini bukan penjajah. Beberapa kali ia menyampaikan dengan penegasan agar semua peserta mengetahui dengan jelas, Pak Bosscha bukan penjajah! Pak Upir bercerita tentang sisi-sisi lain Bosscha. Kebiasaan setiap pagi dan sore yang dilakukan Bosscha selama berada di sana. Tentang pos yang dibangun di tiap puncak bukit untuk istirahat serta kisah yang mengawalinya. Kisah Mak Emur dan kisah-kisah kearifan tradisional yang ada di wilayah sekitar tak lupa diceritakan oleh Pak Upir.

Pesan turun temurun dari Bosscha tak lupa disampaikan juga oleh Pak Upir. Larangan yang tidak boleh dilakukan selama berada di lokasi seperti mengganggu hewan, merusak tanaman, dan niat-niat jelek lainnya. Bahkan dalam niatpun, hendaknya tidak boleh dibawa selama berada di kawasan pemakaman Bosscha.

Puas dengan penjelasan Pak Upir, semua peserta Geotrek kemudian dimanjakan dengan keceriaan lainnya. Pembagian bingkisan dengan terlebih dahulu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menarik untuk mereview kembali perjalanan yang sudah dilakukan. Fikar, Farhan, dan teman-temannya begitu antusias menjawab pertanyaan. Fikar senang sekali mengikuti perjalanan Geotrek seharian itu. Tak terlihat kelelahan dalam matanya, antusiasme khas anak-anak yang menyenangi pengalaman bergiat di alam terbuka. Antuasiasme yang semestinya mampu dihadirkan oleh para guru untuk membawa pengalaman menyenangkan kepada anak didiknya. Geotrek bersama Matabumi bisa menjadi alternatif pendidikan yang menyenangkan untuk anak-anak dan juga orang dewasa. Sejatinya belajar adalah menghadirkan antusiasme serta kejutan-kejuatan yang akan dikenang sampai kapanpun. Pengalaman belajar yang tidak dirasa sebagai pembelajaran, mengalir begitu saja lewat kesenangan-kesenangan bermain dan berinteraksi dengan alam. Inilah sejatinya belajar!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini