Satelit Radar Teringan di Dunia, Karya Anak Bangsa, Mengorbit 2019

Satelit Radar Teringan di Dunia, Karya Anak Bangsa, Mengorbit 2019
info gambar utama

Satelit merupakan teknologi luar angkasa yang kini telah menjadi keharusan bagi kedaulatan sebuah negara. Utamanya Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang akses antara pulau yang satu dengan yang lain cukup sulit untuk dijangkau secara fisik. Oleh karena itu, teknologi gelombang radio seperti satelit merupakan salah satu solusi untuk menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Teknologi satelit di Indonesia pun rupanya tidak kalah dengan negara-negara lain. Satelit karya Professor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo misalnya yang seperti diberitakan Tempo telah rampung membuat satelit radar mikro pertama di dunia.

Mengapa menjadi yang pertama? karena satelit ini merupakan satelit teringan yang ada di dunia. Prof Josh, begitu ia kerap disapa mengungkapkan bahwa satelit yang akan diluncurkan pada tahun 2019 tersebut telah berhasil mengurangi berat satelit konvensional yang mencapai berat lebih dari 1 ton, menjadi sekadar 150 kilogram. Tidak hanya itu, satelit ini juga menjadi satelit pertama kali yang akan mengorbit membawa sensor radar CP-SAR atau circurlarly polarized synthetic aperture radar. Satelit bersensor radar tersebut dikerjakan olehnya di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL), Center for Environmental Remote Sensing, yang ada di Universitas Chiba, Jepang.

Berkat angka keringanan yang dicapai oleh Prof. Josh tersebut, satelit ini disebut sebagai satelit mikro.

"Bertahun-tahun saya kembangkan teknologi mutakhir lain untuk memperkecil dan mengurangi beratnya hingga sepersepuluh lebih," ungkap Prof. Josh seperti dikutip dari Tempo, Jumat, 16 Desember 2016 yang lalu.

Lalu apa keunggulan dari satelit buatan Prof. Josh ini selain bobotnya yang ringan? Keunggalan satelit ini terletak pada teknologi polarisasi melingkar yang digunakan. Teknologi tersebut dikatakan mampu mengurangi getaran wahana pembawa radar dan pengaruh rotasi Faraday di ionosfer. Sehingga hasil gambar dan citra pembacaan radar lebih akurat dibandingkan dengan radar konvensional. Hebatnya lagi ternyata teknologi itu adalah temuan Josaphat sendiri yang telah dipatenkan.

Baca juga: Josaphat Tetuko Sang Professor Radar dan Drone dari Bandung

Keistimewaan lainnya adalah, sensor CP-SAR yang digunakan merupakan radar yang mampu menembus awan, kabut, asap, hutan dan bahkan mampu melakukan penetrasi hingga ke dalam tanah. Hal itu dapat terjadi karena sensor buatannya itu bekerja di gelombang L band atau 1,270 gigahertz (GHz), C band di 5,3 GHz, X Band di 9,4GHz dan Ku Band di 13,2 GHz. Semakin tinggi frekuensi yang digunakan akan semakin detail pencitraan yang diperoleh. Dan yang paling penting, teknologi ini dapat digunakan pada siang dan malam hari. Tidak seperti teknologi citra kamera yang umumnya digunakan.

Ketepatan ini tentu saja membuat Prof. Josh menjelaskan bahwa satelit dan sensor ini sangat tepat untuk aktifitas pengamanan lalu lintas laut atau sea surveillance yang sifatnya sangat dinamis. Sebab di perairan laut akan terjadi hilir mudik kapal nelayan maupun kapal angkut yang melewati lintas batas negara. Namun menurut Professor yang pada tahun 2015 yang lalu mendapatkan penghargaan Leprid (Lembaga Prestasi Indonesia Dunia) Award tersebut, penggunaannya tidak terbatas untuk laut tetapi juga bisa untuk pemantauan kebakaran hutan, gunung meletus dan pemeliharaan infrastruktur. "Bahkan sampai prediksi pergeseran tanah akibat gempa dan tanah longsor," jelas Prof. Josh.

Satelit dan sensor yang dibuat oleh Prof. Josh tersebut telah dikembangkan sejak tahun 2007 untuk berbagai keperluan pengamatan, baik di Bumi maupun di luar angkasa. Sensornya pun dapat diimplementasikan ke berbagai modul seperti pesawat nirawak atau drone, pesawat baik militer maupun komersil dan satelit besar. Sehingga sampai saat ini ia telah bekerja sama dengan berbagai badan antariksa di dunia seperti ESA dari Eropa, LAPAN dari Indonesia, JAXA dari Jepang dan NASA dari Amerika Serikat.

"Harapannya satelit ini dapat bermanfaat bagi Indonesia, khususnya dalam mengamati sumber daya alam dan melindungi warganya dari bencana alam," ujarnya.

"Satelit ini pun mewujudkan mimpi saya waktu umur lima tahun. Saat itu, saya berjanji kepada Ayah yang juga anggota Angkatan Udara dan pelatih di Komando Pasukan Khas, untuk membuatkan satelit pengamatan."

Menariknya, Prof. Josh juga mengungkapkan bahwa akan memberi nama satelit ini dengan sebutan "Tanah Air".

Kita tunggu saja, bagaimana satelit Tanah Air ini akan mampu mengawasi Indonesia diatas sana pada tahun 2019 mendatang.


Sumber : Tempo

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini