Pasola, Adu Lempar Lembing dan Kisah Cinta Segitiga dari Sumba

Pasola, Adu Lempar Lembing dan Kisah Cinta Segitiga dari Sumba
info gambar utama

Indonesia memiliki banyak tradisi pergulatan yang mengandalkan adu ketangkasan. Selain silat yang masih eksis hingga saat ini, Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, rupanya juga memiliki ajang pertarungan para laki-laki yang digelar secara megah.

Pasola namanya, simbol kejantanan pemuda Sumba. Pasola diambil dari kata “sola” atau “hola” yang berarti lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar. Permainan saling lempar lembing kayu ini dilakukan oleh dua kelompok pemuda di atas kuda yang sedang dipacu kencang.

Pasola digelar di padang yang luas, ditonton secara bebas oleh masyarakat. Setiap kelompok terdiri lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Meskipun lembing kayu berujung tumpul, nyatanyan permainan ini dapat memakan korban jiwa. Menurut kepercayaan, jika terdapat korban jiwa dari permainan ini, maka dianggap sebagai hukuman dari para dewa karena mereka telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.

permainan pasola memerlukan koordinasi yang baik antara kuda dengan si penunggangnya (foto: kompas.com)
info gambar

Permainan yang rutin digelar setiap tahun ini memerlukan kekuatan otot dan strategi. Pasola tidak hanya dianggap sebagai sebuah permainan, namun merupakan bagian penting dari ritual adat kepercayaan marapu, keyakinan masyarakat Sumba.

Dalam pengadaannya, pasola ditentukan oleh perhitungan munculnya bulan purnama. Kemudian akan ditentukan oleh Rato Nyale, pendeta adat yang dianggap penting dalam penentuan tanggal pasola.

Pasola juga dianggap sebagai perayaan untuk menyambut masa panen dan memprediksi hasil panen. Semakin banyak darah keluar dalam medan permainan, masyarakat setempat percaya hal itu berarti hasil panen berlimpah.

Rangkaian pasola

Sebelum memulai pertandingan lempar lembing, masyarakat terlebih dahulu mengadakan adat bau nyale, atau menangkap cacing laut yang merupakan perwujudan rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, ditandai dengan datangnya musim panen dan munculnya cacing laut di pinggir pantai.

Dilakukan saat bulan purnama, di mana cacing-cacing melimpah untuk diburu. Perhitungan waktu dimulainya bau nyale juga merupakan hasil dari musyawarah dengan para petinggi adat setempat.

Bau Nyale merupakan tradisi mencari cacing laut di tepi pantai (foto: topindonesiaholidays.com)
info gambar

Semakin banyak nyale atau cacing laut yang keluar menandakan semakin subur dan melimpah pula hasil panen. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.

Asal-usul pasola

Pasola merupakan tradisi yang diperkenalkan oleh nenek moyang orang Sumba, diyakini sebagai penyelesaian adat kisah cinta segitiga yang terjadi.

Dikisahkan pada dahulu kaka, terdapat seorang perempuan cantik bernama Rabu Kaba, yang tinggal di Desa Waiwuang. Perempuan tersebut memiliki suami bernama Umbu Amah yang merupakan salah satu pemimpin di desanya.

Suatu ketika, Rabu Kaba ditinggal oleh suaminya pergi melaut. Rabu Kaba hanya bisa terus menanti kepulangan suaminya yang tak kunjung datang. Setelah sekian lama, Rabu Kaba pun berpikir jika suaminya telah meninggal. Warga pun kemudian mengadakan perkabungan belasungkawa atas kepergian pemimpin mereka.

Dalam masa berkabung tersebut, Rabu Kaba kemudian menjalin berkenalan dengan lelaki bernama Teda Gaiparona, hingga akhirnya mereka berdua menjalin asmara. Tidak setujui hubungannya oleh adat kampung, Rabu Kaba dan Teda Gaiparona akhirnya kabur.

permainan pasola memerlukan koordinasi yang baik antara kuda dengan si penunggangnya (foto: nationalgeographic.co.id)
info gambar

Setelah keduanya menikah, tak disangka Umbu Amah kembali. Namun, setelah ditinggalkan sekian lama, Rabu Kaba yang telah terjerat asmara tak mau kembali pada Umbu Amah dan meminta Teda untuk membayar belis, semacam mas kawin yang diberikan oleh pengantin lelaki, untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Amah.

Setelah belis dilunasi, upacara perkawinan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona pun diadakan. Teda kemudian berpesan pada warga untuk mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka atas kehilangan Rabu Kaba.


Sumber : diolah dari beberapa sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini