Pemuda Aceh Cari Solusi Lindungi Kelestarian Hutan, Begini Caranya

Pemuda Aceh Cari Solusi Lindungi Kelestarian Hutan, Begini Caranya
info gambar utama

Aceh merupakan salah satu wilayah di Sumatra yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Kawasan Ekosistem Leuser atau Taman Nasional Gunung Leuser misalnya yang saat ini merupakan habitat dari Gajah Sumatra. Namun habitat-habitat alami di wilayah tersebut terancam akibat pengerusakan hutan yang terus menerus terjadi. Menyadari hal tersebut, beberapa pemuda asal Aceh yang tergabung dalam Komunitas Hutan Wakaf berusaha untuk melindungi kekayaan alam di sana.

Komunitas yang dibidani oleh Afrizal Akmal, Azhar, Yoesman Nurzaman Tanjung dan Alit Ferdian tersebut melakukan upaya perlindungan dengan cara yang terbilang tidak populer, yakni menggalang donasi sukarela dari masyarakat kemudian menggunakan uangnya untuk membeli lahan kritis. Tujuannya adalah untuk mengubah lahan tersebut menjadi hutan.

Seperti diberitakan Mongabay Indonesia, aksi komunitas tersebut dilakukan secara spontanitas sejak tiga tahun yang lalu. Berangkat dari kegelisahan keempat pemuda tersebut mereka berusaha untuk menyelamatkan lingkungan dari rusaknya hutan di Aceh akibat alih fungsi lahan dan perambahan hutan.

“Kami menamainya Hutan Wakaf. Setelah lahan kritis itu kembali hijau dan memiliki nilai ekologis, pastinya akan diwakafkan untuk masyarakat desa. Syaratnya adalah, hutan tersebut harus tetap dijaga dan tidak boleh dirusak,” ungkap Afrizal Akmal, di Banda Aceh, Rabu (04/1/16).

Afrizal juga menjelaskan bahwa kegiatan Hutan Wakaf ini menitik beratkan pada updaya pembelian lahan kritis milik masyarakat yang nantinya akan direstorasi menjadi hutan. Sebagian lahan tersebut juga ditanami aneka pohon bernilai ekonomi, sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan masyarakat.

“Jika lahan kritis hanya dibiarkan, keadaan itu tidak bermanfaat secara ekologi, hidrologi maupun ekonomi,” jelas pria yang juga penulis buku Aceh Dalam Kekacauan Ekologi itu.

Metode wakaf yang diadopsi oleh Afrizal dan kawan-kawan dianggap mampu menjaga lahan yang telah dibeli agar tetap utuh dan terhindar dari degradasi. Sebab secara hukum, lahan yang telah menjadi aset wakaf harus diam dan tetap tidak boleh diperjual belikan. Sehingga menurut Afrizal, Hutan Wakah akan tetap utuh dan terhindar dari degradasi.

“Dengan instrumen wakaf, kita bisa membangun hutan yang lestari. Urgensi wakaf berupa hutan berdasarkan pertimbangan ancaman krisis lingkungan yang terus meningkat. Terutama, deforestasi yang tak terkendali.”

Sementara itu Azhar, yang juga inisiator Hutan Wakaf mengatakan bahwa mereka telah melakukan penggalangan dana dan terkumpul uang sebanyak Rp15 juta. Uang tersebut kemudian dibelikan satu hektare lahan kritis di Desa Data Cut, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh.

Lahan tersebut saat ini dijadikan lahan percontohan namun tetap dipagari agar tanaman produktif yang ditanam di sana dapat bermanfaat bagi masyarakat dan satwa lokal.

“Ketika telah menjadi hutan, diharapkan akan menghasilkan iklim mikro dan menjadi daerah tangkapan air (catchment area) yang mata airnya bisa dimanfaatkan masyarakat setempat,” ujar Azhar.

Sebagaimana fungsi hutan secara normal, Hutan Wakaf ini diharapkan akan mampu memberikan manfaat bagi setiap entitas di dalam dan di sekitarnya. Seperti menjadi hutan pengatur tata air, penyerap karbon, penjaga kestabilan iklim, dan penyedia sumber daya bagi satwa. Pun masyarakat juga dapat memanfaatkan secara ekonomi lewat tanaman-tanaman yang ada serta yang paling penting adalah ketersediaan sumber mata air.

“Dengan cara seperti itu, kita tunjukkan ke masyarakat luas, menyelamatkan ekosistem tidaklah sulit. Tidak butuh banyak biaya, karena tidak membutuhkan proposal proyek konservasi hutan,” jelas Azhar.


Sumber : Mongabay Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini