Bahasa Kowal-Kawil, Sejak Penjajahan Hingga Kini.

Bahasa Kowal-Kawil, Sejak Penjajahan Hingga Kini.
info gambar utama

Hampir setiap wilayah memiliki ciri khas dalam berkomunikasi. Beragamnya jenis bahasa merupakan salah satu hal yang unik untuk digali asal-usulnya. Tak terkecuali di Indonesia, terdapat 742 macam bahasa sehingga menduduki peringkat ke-2 dalam keragaman bahasa di dunia. Namun ada juga bahasa yang “nyeleneh” karena tidak lazim dalam penggunaanya, ialah Kelompok Gerilya Rakyat Kota (GRK) dalam masa perang kemerdekaan yang mulai memunculkan bahasa ini.

Pada bulan Maret 1949, banyaknya penyusup oleh Belanda yang menggunakan rakyat pribumi utamanya orang jawa sebagai mata-mata untuk menyerap informasi dan memburu Mayor Hamid Rusdi dari para pejuang nasional, membuat Suyudi Raharno seorang pejuang dari Malang mencari cara agar komunikasi yang dibangun sesama pejuang mampu dipahami oleh kelompoknya saja dan tidak diketahui oleh penyusup dan para penjajah. Sehingga muncul bahasa Walikan (dalam bahasa Indonesia artinya dibalik) atau saat ini juga populer dinamai Kowal-Kawil (wolak-walik dalam bahasa jawa, bolak-balik dalam bahasa Indonesia). Penggunaan bahasa ini cukup mudah, yaitu dengan mengucapkan suatu kata dari belakang ke depan.

Beliau lahir pada Senin pon 1911 di Desa Sumbermanjing Kulon, Pagak, Kabupaten Malang. Pada masa kolonial Belanda, sosok Hamid Roesdi sangat aktif di bidang kepanduan dan tergabung dalam ‘Pandoe Ansor’, karena dia juga seorang guru agama sekaligus staf organisasi Nahdlatul Oelama.
info gambar

Boso Walikan (bahasa terbalik) berkembang secara dinamis, saat itu para pejuang terus melatih pembendaharaan kata baru saat sedang berkumpul bersama. Sehingga para penyusup ataupun penjajah yang tidak pernah ikut perkumpulan jelas akan kebingungan karena ketidaktahuan mereka. Dari situlah para pejuang tahu mana lawan dan mana kawan. Istilah yang sering digunakan ketika itu adalah ‘saya’ menjadi ‘ayas’, ‘kamu’ menjadi ‘umak’, ‘tidak’ menjadi ‘kadit’ dan masih banyak lagi. Tidak hanya dari Bahasa Indonesia, kata dari Bahasa Arab juga tak luput dari isitilah walikan ini, misalnya ‘ayah’ dalam Arab disebut ‘abah’ atau ‘sebeh’ sehingga dijadikan ‘ebes’. Meskipun terkadang ada istilah yang kurang dimengerti asal-usulnya seperti ‘memes’ artinya ‘ibu’ maupun ‘idrek’ artinya ‘kerja’.

Tidak semua kata bisa dibalik untuk dijadikan Boso Walikan, namun saat ini banyak kata yang dibalik oleh Arek Malang dalam penggunaannya asalkan tidak rumit dalam pengucapan. Seperti ‘umak kadit uklam ewed, ker!’ artinya ‘kamu tidak mlaku (jalan) dewe (sendirian), Rek!’ kalimat itu tentu tidak asing bagi penggemar sepak bola Inggris. Sempat meredup dalam penggunaannya, kini Bahasa Kowal-Kawil kembali tenar bahkan telah digunakan hingga Ibu Kota tidak hanya di Malang Raya dan telah menjadi salah satu bahasa gaul dalam komunikasi para pemuda-pemudi dalam kehidupan sehari-hari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini