Penjaga Alam dari Kampung Naga

Penjaga Alam dari Kampung Naga
info gambar utama

Tulisan ini didedikasikan untuk kita rakyat Indonesia yang mulai kehilangan harapan akan masa depan hutan. Begitu banyaknya berita tentang exploitasi alam salah satunya penggerusan hutan yang pada akhirnya sebutan Indonesia sebagai paru-paru dunia lama-lama menjadi legenda masa lalu saja. Datanglah ke Kampung Naga, Kampung dimana adat dan budaya leluhur masih dipegang teguh oleh masyarakatnya, salah satunya adalah kearifan terhadap alam.

Selamat Datang di Kampung Naga

Kampung NAGA, biasanya kemudian kita yang baru pertama kali mendengar akan segera meng-indikasikan, apakah ada legenda naga dengan kisah-kisah heroik dimasa lalunya. Namun ternyata setelah berkunjung kesana dan bertemu langsung dengan bapak kuncen selaku ketua adat, dijelaskanlah bahwa asal mula sebutan Kampung Naga berasal dari kata “Nagawir” yang artinya lembah yang kemudian disingkat sebagai “Naga”. Yaps, kampung naga memang terletak di lembah yang tidak jauh dari jalan besar penghubung Tasikmalaya dan Cianjur. Letak geografis ditepi jalan penghubung antar kabupaten, mengakibatkan kampung naga tidak bisa menafik-kan kemajuan jaman. Oleh karena itu mau tidak mau Kampung Naga menerima kemajuan jaman namun tetap berusaha untuk mempertahankan gaya hidup tradisional/budaya yang selama ini diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga muncul slogan bahwa warga kampung Naga “Berwawasan global, dan Melangkah lokal (wawancara, 9 Mei 2016)

Salah satu adat budaya yang masih dipertahankan adalah kearifan terhadap alam. Ada tiga macam hutan yang mengelilingi Kampung Naga, yaitu; hutan larangan, hutan keramat dan hutan garapan. Hutan larangan adalah hutan yang tidak boleh disentuh atau dimasuki sama sekali oleh siapapun, apabila ada yang melanggar dipercaya akan mengalami yang disebut kasarung yang artinya gelap-gulita. Gelap gulita disini maksudnya adalah; (1) Orang bisa masuk namun tidak dapat menemukan jalan keluar, (2)Orang bisa masuk namun pikirannya menjadi tidak jernih, dan (3) Gelap rejekinya. Kemudian hutan keramat adalah hutan yang didalamnya terdapat empat makam yang dikeramatkan, salah satunya adalah makam simbah dalem Singaparna (leluhur Kampung Naga). Berdasarkan karifan lokal yang diyakini kampung naga diatas, ternyata berdampak positif terhadap kelestarian dua hutan tersebut. Hutan larangan yang sama sekali tidak boleh diakses, dan hutan keramat yang hanya boleh diakses oleh orang tertentu diwaktu tertentu, mengakibatkan kedua hutan menjadi rimbun. Dan yang terakhir adalah hutan garapan yaitu hutan produktif milik perorangan dari warga Kampung Naga yang diwariskan secara turun-temurun, biasanya kayu dari pohonnya digunakan sekedar untuk membangun rumah adat Kampung Naga saja.

Alam bagi warga kampung naga bukan obyek yang hanya di eksploitasi kandungan nya, namun alam adalah subyek yang tidak akan membuat bencana kecuali karena keserakahan manusia itu sendiri. Oleh karenanya menjadi tidak heran, hingga saat ini kampung Naga sekalipun berada di lembah pinggir sungai tidak pernah terkena longsor dan banjir. Hutan di Kampung Naga tetap lestari sebab warga Kampung Naga menyadari jika hutan rusak, maka tidak lain yang akan merasakan akibatnya adalah warga disekitar hutan itu sendiri.

Kampung Naga dikelilingi Hutan dan Sawah

So.., teman-teman semua, jangan pesimis dulu akan kelestarian alam kita. Dengan bertahannya kearifan-kearifan lokal di masyarakat semacam kampung naga ini. Indonesia masih punya harapan kok, untuk menjadi paru-paru dunia .

Dan satu lagi pesan penting untuk kita yang ingin ke Kampung Naga. Bahwa sudah sejak lama Kampung naga menjadi salah satu destinasi yang dipromosikan oleh dinas pariwisata dan kebudayaan kabupaten Tasikmalaya. Namun mereka menolak jika disebut sebagai obyek wisata, sebab kehidupan sehari-hari yang masih mempertahankan gaya hidup leluhur bagi mereka bukan untuk dipertontonkan, namun menjadi kearifan untuk kehidupan. Oleh karena itu pada tahun 2012 saat pemkab ingin menetapkan kebijakan retribusi bagi para wisatawan yang ingin berkunjung ke kampung naga, kuncen dan segenap warganya menolak dengan keras hal tersebut. Dan menyatakan bahwa “Kampung Naga bukan obyek wisata, namun Saung Budaya”, yang ingin belajar budaya sunda khususnya, silahkan datang ke kampung naga.

Artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Menulis Kabar Baik GNFI #2

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MI
RG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini