Istirahatlah Kata-kata, Istirahatlah Tingkah Laku (Catatan Perjalanan Menelusuri Kawasan Adat Tana Toa Masyarakat Kajang Bulukumba)

Istirahatlah Kata-kata, Istirahatlah Tingkah Laku  (Catatan Perjalanan Menelusuri Kawasan Adat Tana Toa Masyarakat Kajang Bulukumba)
info gambar utama

Masih di daerah Lurayya, masyarakat mengandalkan pelita sebagai penerang. Beberapa penduduknya sudah menggunakan tenaga listrik, namun bagi mereka yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Amma Toa (pimpinan Kawasan Adat Tana Toa) tetap berpegang teguh untuk menggunakan pelita dan sejenisnya @Dokumen Pribadi

Masih pada nasehat lama yang selalu lekang oleh zaman, barangsiapa yang memanusiakan niscaya akan dimanusiakan. Entah, apakah nasehat ini belum pernah sampai di telinga atau hanya sekedar sampai namun membiarkannya tergantung disapu oleh debu. Buktinya, realita kemanusiaan di negara kita hari ini—juga di dunia, sepertinya—mengalami degradasi yang sampai pada titik kulminasi begitu memprihatinkan. Kita dihadapkan pada berbagai wacana : kubu A bertentangan dengan kubu B. Kubu C perang dingin dengan kubu A. Kubu B bersekutu dengan kubu C namun ada dendam tersembunyi. Juga umpatan saling serang membumbui diantara kegentingan itu. Semua media menjadi lahan pelampiasan kemarahan, tak ada lagi saling percaya, orang baik disangka pura-pura baik, bahkan orang yang terlihat tak melibatkan diri dalam kejadian disangka musuh dalam selimut. Istilah provokator merajelela, haters dan likers menjadi guyonan terhangat, ditambah berita hoax yang laju kecepatannya melebihi kecepatan cahaya. Kita seakan mengalami krisis tokoh—tempat untuk meminta nasehat—entah kepada siapa lagi wajah ini akan menghadap. Beginilah jelmaan abad yang kecanggihannya sudah diterawang beratus tahun silam. Abad sejuta kreatifitas. Abad semua kebutuhan manusia telah terpenuhi dengan sentuhan teknologi modern. Namun tetap saja sisi keunggulan selalu berdampingan dengan keterperukan. Dan keterpurukan yang paling menyedihkan adalah keterpurukan kemanusiaan.

Saya mulai berminat mengulas sisi-sisi kemanusiaan dari orang-orang yang telah kutemui—bahkan yang belum pernah kutemui—di sepanjang hidupku. Tentang bagaimana mereka menafsirkan kebahagiaan, juga seperti apa mereka bertingkah laku. Dan ternyata, saya tak perlu jauh-jauh belajar tentang nilai ini sampai harus merogoh kocek banyak dan melintasi ribuan mil perjalanan. Memang benar kata pepatah, lain ladang lain belalang. Namun saya memandang dari sudut pandang yang lain, bahwa kehidupan kemanusiaan oleh masyarakat ini terbilang unik dan langka.

Adalah masyarakat Kajang di Kawasan Adat Tana Toa, yang terletak di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan yang tidak begitu jauh dari daerah asalku, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan yang akan saya perkenalkan pada Indonesia, juga pada dunia. Bisa ditempuh ± 250 Km dari kota Makassar. Tana Toa, atau dalam bahasa Indonesia disebut Tanah Tertua merupakan tanah yang disebut-sebut sebagai tempat munculnya manusia pertama di dunia menurut kepercayaan masyarakatnya. Pun tradisi yang dianutnya masih dipegang kuat hingga kini meskipun rentangan abad yang telah terlewati. Dipegang dengan sebenar-benarnya pegangan. Bertahan hidup di hutan yang seluas ± 300 hektar, tanpa aliran listrik, jauh dari wara-wiri layar kaca, tak mengenal apa itu gadget, tidak dipusingkan dengan kebutuhan manusia yang setiap hari menginginkan hal berbeda : rumah menjulang tinggi, perabotan mewah, dsb. Mereka menyelami perihal kesederhanaan dalam sudut pandang yang menyederhanakan. Namun sejatinya membantai kesombongan dan perebutan kekuasaan yang merajalela di luar sana.

Pintu gerbang memasuki Kawasan Adat Tana Toa. Batas pengambilan gambar dan alat modern lainnya. Di belakang sanalah terhampar hutan seluas 313,99 Hektar. @Dokumen Pribadi

Pasang Tallasa Kamase-masea atau hidup sederhana, adalah prinsip leluhur yang dijaganya hingga kini. Amma toa, pemimpin kawasan, merupakan orang yang menurut masyarakatnya dipilih oleh Sang Pencipta dengan mengikuti berbagai prosesi adat. Sejak adanya bumi, baru tiga belas kali mengalami pergantian pemimpin. Dan Amma Toa yang pertama itulah disebut manusia pertama di dunia, menurut pemahaman masyarakatnya. Seorang Amma Toa tidak pernah menginjakkan kaki melewati batas kawasan, hidupnya dihabiskan di hutan. Juga, tidak boleh tertangkap lensa kamera. Demikian ihwal seorang pemimpin dalam menjaga kesuciannya. Secara kasat mata, rumah penduduknya yang letaknya saling berpisah satu sama lain, mempunyai bentuk serupa yakni rumah kayu yang menghadap sebelah barat dengan model yang relatif sama. Keunikannya, tidak seperti dapur yang pada umumnya terletak di belakang, dapur mereka terletak di ruangan paling depan dekat pintu masuk. Sehingga ketika masuk ke rumah salah satu penduduk, yang pertama kali terlihat adalah dapurnya yang tentu saja masih sangat tradisional. Menurut filosofi kehidupan yang mereka anut, dapur di bagian depan adalah simbol betapa menjamu tamu dengan sebaik-baiknya layanan adalah hal yang begitu penting. Mata pencaharian penduduknya adalah bertani dan berkebun, keseharian mereka yang lain adalah berjalan tanpa menggunakan alas kaki menyusuri jalanan setapak dengan pakaian berwarna hitam yang menjadi ciri khas. Hitam menurut mereka adalah wujud kesamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Menurut Pasang (firman yang mereka anut), tidak ada warna hitam yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam untuk pakaian menandakan adanya kesamaan derajat bagi setiap orang di depan Sang Pencipta.

Prinsip saling meringankan beban manusia yang lainnya benar-benar dipegang teguh oleh masyarakatnya. Sehingga dalam kondisi apapun, akan terlihat para masyarakat saling berkumpul

Kehidupan masyarakat Tana Toa perlu dijadikan bahan renungan ketika suguhan dunia mulai menyilaukan mata, ketika gempuran teknologi tak mampu lagi terbendung. Mereka, masyarakat Tana Toa, memilih untuk tetap hidup dengan cara seperti itu tanpa tergiur dengan fatamorgana dunia yang melenakan. Hidup dengan alam, melestarikan alam, mematuhi tetua, menjunjung kesederhanaan, mengedepankan sikap tolong-menolong, mengandalkan sumur tua yang dijadikan sebagai tempat pertemuan masyarakatnya setiap pagi adalah contoh gemah ripah kemanusiaan yang mulai hilang dari kehidupan kita. Sungguh, berkunjung ke kawasan itu sebulan yang lalu bersama komunitas Forum Lingkar Pena cabang Bone dan aliansi komunitas lain membuat saya seperti terlempar pada sebuah lorong waktu berabad-abad yang lalu kemudian reinkarnasi untuk menjalani kehidupan berbeda seperti sekarang ini.

Para perempuan orang Kajang di Kawasan Adat Tana Toa waktu pernah diberlakukan mengambil gambar di dalam kawasan tentunya dengan beberapa persyaratan. Namun sejak beberapa tahun ini, hal demikian sudah tabu untuk dilakukan

Maka berkunjunglah ke sana. Masyarakatnya menerima dengan terbuka. Tanggalkan gadget. Tanggalkan kamera. Tanggalkan teknologi. Karena ketika memasuki gerbang kawasan Tanah Toa, sudah tidak diperkenankan lagi untuk mengambil gambar, pun mengeluarkan barang elektronik. Juga, tanggalkan alas kaki dan berpakaian hitamlah. Bahkan sekelas presiden pun ketika memasuki kawasan ini harus menjalankan peraturan adat yang dipegang kuat oleh masyarakatnya. Tak ada perbedaan, semua sama. Dan itulah ajaran kemanusiaan yang seharusnya turut menjadi pegangan kita dalam menjalani kehidupan ini. Pun tidak serta merta saya menganjurkan agar kita hidup sebagaimana masyarakat Kajang dalam menjalani kehidupannya, tentu saja keadaan yang kita jalani saat ini punya ritme tersendiri dan terus-menerus mengalami perkembangan, akan tetapi marilah kita mengedepankan nilai kemanusiaan dalam tutur kata dan tingkah laku. Kebencian-kebencian berseliweran di sekeliling kita. Jika bukan diri sendiri yang menyadari untuk mengistirahatkan kebencian baik berupa kata-kata maupun tingkah laku, lantas siapa lagi. Karena Islam sendiri mengajarkan kepada umatnya untuk cinta kepada sesama manusia bahkan makhluk lain. Sebagaimana pesan yang sampai di telinga : sumber dari akal setelah percaya kepada Tuhan adalah menunjukkan kasih sayang terhadap manusia.

"Artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Menulis Kabar Baik GNFI #2"


Sumber :

  1. Kunjungan langsung penulis di lokasi Kawasan Adat Tana Toa dan berdialog langsung dengan pelaku budaya
  2. Buku "Sejarah Eksistensi Ada' Lima Karaeng Tallua" yang ditulis oleh Ramli Palammai dan Andhika Mappasomba

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini