Menjadi Indonesia Adalah Tidak Menyerah Pada Keterbatasan

Menjadi Indonesia Adalah Tidak Menyerah Pada Keterbatasan
info gambar utama

Akhir tahun 2016 masyarakat internasional dihebohkan oleh perilaku netizen Indonesia yang memenuhi dunia maya dengan kalimat ‘om telolet om’. Di tengah kondisi negara yang sedang menghangat akibat serangkaian isu pelecehan terhadap suatu agama masyarakat Indonesia terbukti tidak terhalangi langkahnya untuk berkarya. Tak ayal virus ‘om telolet om’ bahkan diikuti oleh artis internasional seperti DJ Snake sampai pembalap Marc Marquez. Meski hanya berlangsung sebentar, kejadian ini boleh dikatakan merupakan buah dari kreativitas anak bangsa yang cukup fenomenal.

Mungkin tak akan pernah terbayangkan bahwa negara yang sungguh kaya raya ini tidak menjadi negara adi daya di dunia internasional. Kekayaan alam Indonesia adalah hal yang sangat biasa bagi warganya. Padahal bagi negara lain, bisa saja mereka selalu iri hati melihat betapa kayanya negara ini. Matahari yang senantiasa bersinar setiap hari sepanjang tahun. Hal yang akan sulit ditemukan di negara dengan empat musim yang mana akan mengalami hari-hari minim cahaya matahari saat musim dingin datang. Sumber daya alam lain seperti emas, nikel, timah, bijih besi dan lainnya seolah tidak pernah habis meski setiap hari dikeruk oleh tangan manusia. Belum lagi jika membicarakan keindahan alamnya. Dari Sabang sampai Mearuke tentu akan membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya jika hendak menikmati satu demi satu pemandangan yang tersaji. Memang benar sebuah frasa lama yang menyebut negeri ini dengan sebutan ‘gemah ripah loh jinawi’.

Dengan kekayaan seperti itu, Indonesia seharusnya telah menjadi sebuah negara yang sangat disegani di dunia. Setidaknya secara modal negara ini tidak boleh diremehkan. Namun apa daya kita jika menyaksikan kenyataan di lapangan yang sungguh berkebalikan dengan kekayaan bangsa ini. Orang miskin masih banyak dan bertebaran dimana-mana. Anak-anak yang tidak berekolah masih tinggi jumlahnya. Akses fasilitas umum dalam hal kesehatan dan pendidikan masih sulit ditemukan di beberapa daerah terutama yang masuk kategori terluar, tertinggal dan terpencil. Pembangunan yang tidak merata antara satu pulau dengan pulau lain. Saat masyarakat yang tinggal di pulau Jawa sedang protes terhadap kelangkaan sinyal 4G, di luar Jawa sana untuk sekadar SMS masih harus memanjat pohon demi meraih sinyal.

Di tengah segala keterbasan ini, saya sebagai warga negara Indonesia tetap merasa bangga telah lahir di negara ini. Indonesia mungkin tidak semaju Amerika Serikat, Jerman atau bahkan Singapura. Akan tetapi saya tetap bangga bahwa masyarakat negara ini masih dapat berkarya di tengah segala keterbatasan negara. Seakan-akan mereka tidak perduli dengan keterbatasan terebut. Mari kita sebut Pak Habibie. Beliau lahir dan besar bahkan di masa ketika Indonesia belum meraih kemerdekaan. Di saat negara maju sudah terbiasa menggunakan pesawat pada era 60an, warga Indonesia saat itu mungkin masih ada yang menganggap pesawat adalah buatan jin. Namun hal ini tidak menghalangi Habibie untuk belajar sampai ke Jerman. Meski negara masih memiliki keterbatasan dalam berbagai sektor, pada 1995 akhirnya Indonesia menerbangkan pesawat pertama buatannya. Contoh lain adalah televisi buatan Karanganyar, sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Bisa jadi untuk membuat telepon genggam negara ini belum sanggup. Namun secara tak dissangka-sangka dari sebuah rumah pribadi muncul televisi buatan dalam negeri. Siapa sangka Kusrin akan mampu membuat televisi? Tapi lihatlah kenyataan bahwa beliau mampu. Segala bentuk keterbatasan tidak menjadi penghalang baginya. Lalu kita memiliki contoh seorang juara olimpiade matematika internasional, animator kelas dunia, desainer internasional sampai artis yang diakui Hollywood. Apakah segala bentuk keterbatasan menghalangi mereka?

Saya menemukan sesuatu yang senantiasa membuat saya merasa bangga terhadap negara ini. Saya sangat bangga kepada kegigihan masyarakatnya. Boleh saja pemerintah tidak menyediakan sarana pendukung atau semacamnya. Boleh saja negara lain tidak mengetahui lokasi negara ini. Boleh saja belum semua jalan beraspal, belum semua daerah tersedia sinyal tv, belum semua masyarakat memperoleh air bersih, belum semua wilayah teraliri listrik, belum semua daerah menikmati 4G, dan segala hal yang dianggap membatasi. Tapi menjadi orang Indonesia adalah menjadi orang yang pantang menyerah. Menjadi orang Indonesia adalah menjadi orang yang tidak peduli pada keterbatasan. Menjadi Indonesia adalah tetap berkarya tanpa menyerah pada keterbatasan.

Negeri ini tidak kaya secara finansial. Hutang yang dimiliki menyentuh angka ribuan triliun. Negeri ini tidak kaya akan fasilitas umum. Yang membuat negara ini kaya adalah masyarakatnya. Kekayaan, keelokan, kesuburan alam tiada arti tanpa manusia yang mengolahnya. Keterbatasan bukan untuk dikeluhkan. Keterbatasan selayaknya harus dimanfaatkan. Masyarakat negara ini telah memberi bukti bagaimana mereka melakukannya dari generasi ke generasi. Borobudur dan N-250 menjadi saksi.

"Artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Menulis Kabar Baik GNFI #2"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini