Inclusive Development Index 2017, Seberapa Tinggi Peringkat Indonesia?

Inclusive Development Index 2017, Seberapa Tinggi Peringkat Indonesia?
info gambar utama

Statistik saat ini masih dianggap sebagai salah satu alat untuk mengukur pencapaian sesuatu, tidak terkecuali dengan seberapa tinggi perkembangan Indonesia dalam rentang waktu tertentu. Baru-baru ini World Economic Forum (WEF) meluncurkan laporan yang berisi tentang tingkat pertumbuhan dan perkembangan inklusif tahun 2017 yang mencakup 109 negara di dunia. Hasilnya adalah sebuah indeks perkembangan inklusif atau IDI (Inclusive Development Index) 2017 yang dirilis pada 16 Januari yang lalu.

Berbagai indikator digunakan oleh WEF untuk mengukur bagaimana performa setiap negara dengan dua golongan, yakni golongan negara berkembang dan negara maju dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan penting seperti bagaimana tetap mampu tumbuh di masa depan dengan kondisi ruang fiskal yang terbatas dan kondisi demografi yang tidak menentu? benarkah model distribusi pendapatan internal yang dibanggakan oleh para kapitalis modern masih bisa dibuktikan? Dan bagaimana masyarakat menghadapi potensi tenagar kerja dan distribusi yang akan berubah akibat akselerasi perubahan teknologi yang memasuki Revolusi industri keempat?

Seluruh pertanyaan tersebut berusaha dijawab oleh WEF lewat laporan yang menyajikan 7 pilar dan 15 sub-pilar yang berperan dan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi.

Anggota dari Dewan Manajemen WEF, Richard Samans mengungkapkan dalam sambutannya bahwa indeks ini berusaha untuk tidak lagi menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya penentu performa suatu negara.

"Namun pertumbuhan dan pengembangan (negara) secara inklusif masih sekadar sebuah aspirasi. Tanpa bingkai panduan kebijakan dan praktek yang jelas. Laporan ini menyajikan panduan praktis untuk pengambil kebijakan dan para pemangku kepentingan untuk membangun strategi yang sinergis antara pertumbuhan ekonomi dan progres standar hidup di masing-masing negara." ujar Richard.

Laporan yang disusun oleh WEF ini juga ditujukan untuk membantu negara-negara yang diteliti dan komunitas internasional menjalankan praktek pertumbuhan dan pengembangan yang inklusif dengan menawarkan bingkai, paket kebijakan, dan indikator performa yang baru.

WEF mengungkapkan bahwa negara yang berhasil membangun masyarakat kalangan menengah yang unggul, mampu mengurangi kemiskinan, dan menurunkan masyarakat marjinal akan lebih mampu membuat institusi ekonomi dan insentif kebijakayan yang efektif.

Negara-negara terbaik dalam IDI 2017 (Gambar: weforum.org)
info gambar

Menariknya pola yang ditemukan oleh WEF menunjukkan bahwa kebijakan dan institusi yang mendukung inklusi sosial tidak selalu merupakan negara dengan tingkat pendapatan yang tinggi. WEF pun menemukan bahwa strategi pertumbuhan inklusif yang kuat adalah kebijakan yang pro-pekerja dan pro-bisnis. Sehingga mampu mendorong inklusi sosial dan efisiensi ekonomi. Berdasarkan laporan ini pula WEF menempatkan Norwegia sebagai negara terbaik yang telah mampu menjalankan kebijakan negaranya untuk meraih kondisi sosial yang inklusif.

Lalu apa hubungannya dengan Indonesia? Indonesia rupanya termasuk dalam daftar indeks tersebut. Dan foto diatas menggambarkan indeks terbaik yang diraih oleh Indonesia. Performa pendidikan.

Posisi Indonesia (Gambar: weforum.org)
info gambar

WEF menempatkan Merah Putih di peringkat 22 dari 79 negara yang masuk dalam kategori negara dengan pendapatan menengah kebawah atau lower middle income dengan indeks IDI sebesar 4,29 (naik 0,8% dari tren 5 tahun). Posisi ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kelompok negara yang sama seperti India, (3,38), Brazil (4,13) Meksiko (4,13) maupun Vietnam (4,25). Di regional ASEAN, Indonesia hanya kalah dari Malaysia dan Thailand.

Angka tersebut didasarkan pada 7 pilar utama yakni Pendidikan (Education) yang mendapat nilai 4,79 menempati peringkat 9 dari 34 negara. Posisi yang cukup tinggi ini berkat indeks Kualitas (Quality) yang tinggi yang berada di tiga besar terbaik. Indonesia disebutkan dalam laporan versi Beta yang dirilis WEF pada tahun 2015 yang lalu menyebutkan bahwa memang negeri ini memiliki sistem edukasi yang kuat namun belum mencapai seluruh siswa.

Kemudian Fasilitas Umum (public services ) mendapatkan nilai 4,62 dengan peringkat 15 dari 37 negara. Posisi Indonesia terbilang cukup nanggung karena berada di pertengahan. Hal ini diakibatkan oleh tidak cukup baiknya performa dalam dua sub-pilar: infrastruktur dasar dan internet serta pelayanan dan infrastruktur kesehatan.

Inclusive Development Index Indonesia tahun 2017 (Gambar: weforum.org)
info gambar

Selanjutnya pilar Korupsi dan Sewa (corruption and rents) dengan nilai 4,18 dan menempati peringkat 2 dari 37 negara. Perlu dicatat bahwa indeks Korupsi dan Sewa yang dimaksud oleh WEF adalah seberapa baik kebijakan sebuah negara dalam mendukung praktik bisnis yang tidak mentolerir penyuapan dan korupsi, barrier to entry yang rendah dan persaingan yang sehat. Peniliaian performa pada pilar ini adalah yang tertinggi diraih Indonesia diantara golongan kategori negara lower middle income.

Pada pilar keempat yakni Intermediasi Finansial(financial intermediation) dengan nilai 3,46 menempati peringkat 9 dari 37 negara. WEF menyajikan indeks yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki akses permodalan yang mudah dengan pelayanan finansial yang baik.

Masih terkait dengan dunia usaha, pada pilar Pengembangan Aset dan Kewirausahaan (asset building and entrepreneurship) Indonesia berada di posisi 13 dari 37 negara. Indeks ini menarik karena menyimpulkan bahwa orang Indonesia terbilang cukup mentoleransi kegagalan dalam berwirausaha. Hal ini penting karena toleransi tersebut akan terus mendorong wirausahawan baru untuk bangkit dari kegagalan.

Jika sebelumnya terkait dengan bisnis, otomatis pilar keenam terkait dengan Kompensasi Pegawai dan Tenaga Kerja (employment and labor compensation) tidak dapat dipisahkan. Dalam indeks ini, Indonesia memiliki performa yang masih rendah. Berada pada peringkat 25 dari 37 negara dan hanya mampu mencatatkan nilai indeks sebesar 3,93. Problem utamanya bukan terletak pada tingkat produktifitas pekerja, melainkan karena upah yang terbilang masih rendah berdasarkan data ILO (International Labour Organization) yang digunakan WEF.

Pilar terakhir adalah Transaksi Fiskal (fiscal transfer) yang menunjukkan seberapa baik performa kebijakan fiskal atau pajak sebuah negara untuk menangkal ketimpangan pendapatan tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi. Termasuk bagaimana melindungi masyarakat marjinal dan miskin agar terproteksi secara sosial. Dalam indeks ini Indonesia menempati peringkat 17 dari 36 negara.

Hasil yang diraih oleh Indonesia menunjukkan bahwa sebagai negara lower middle income dengan pendapatan GDP (Gross Domestic Product) perkapita 1.320-5.999 dolar AS menempati posisi menengah atas dalam memberikan kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan inklusif.

Tentu saja ini adalah indikator positif bagi Merah Putih, mengingat Indonesia saat ini tengah memasuki tantangan demografi. Tantangan itu adalah apakah negeri ini mampu memanfaatkan demografi generasi muda mayoritas menjadi bonus ataukah akan menjadi bencana demografi.


Sumber : WEF

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini