Akulturasi Budaya di Balik Makanan Nusantara

Akulturasi Budaya di Balik Makanan Nusantara
info gambar utama

Selain memiliki berbagai upacara adat dan tradisi, Indonesia juga kaya akan ragam kuliner yang tak ada habisnya. Makanan yang dimiliki Indonesia pun juga dapat dijadikan sebagai identitas bangsa. Tak sedikit pula makanan khas Indonesia yang tercipta akibat pengaruh dan percampuran dari budaya lain, misalnya seperti Arab, India, dan China.

Apa saja itu?

Sekoteng

di Yogyakarta, minuman sekoteng ini disebut dengan wedang ronde (foto: jendelakuliner.com)
info gambar

Nama sekoteng berasal dari bahasa Hokkian, su ko thung atau si guo tang, yang artinya sup empat buah-buahan. Kemudian, bagi masyarakat tanah air nama yang terdengar berbeda tersebut dilafalkan menjadi sekoteng. Minuman yang terbuat dari rebusan gula merah dan jahe ini sejatinya merupakan hidangan tradisi dari China.

Di negeri asalnya, minuman yang bercita rasa hangat ini isinya terdiri dari empat macam buah yang dikeringkan, yaitu kacang amandel, buah jail, biji teratai, dan kelengkeng. Namun adaptasinya di tanah air menjadi sangat berbeda, lantaran disesuaikan dengan buah atau biji-bijian yang tumbuh di nusantara.

Konon, menurut legenda, sekoteng mulai dikonsumsi sejak masa Kaisar Qin Shi Huang, yaitu pada masa Dinasti Qin 221 SM – 206 SM. Ia merasa minuman tersebut membuat kesehatannya meningkat dan menghangatkan tubuh. Mirip dengan yang disajikan di tanah air, di negara asalnya, sekoteng disajikan hangat, namun pada musim dingin. Akan tetapi bisa pula dinikmati di musim panas, dengan menambahkan es batu.

Nasi Goreng

di Indonesia, saat ini nasi goreng dibuat dengan berbagai varian rasa (foto: sejutafakta.com)
info gambar

Nasi goreng identik dengan hidangan asal Indonesia yang sangat digemari. Padahal, nasi bukanlah makanan pokok milik Indonesia saja, China pun juga. Konon, nasi goreng merupakan adopsi masakan dari China. Meskipun belum ada kepastian sejak kapan Indonesia mulai mengadopsi dan membuatnya dengan versinya sendiri.

Makanan yang mudah ditemukan di nusantara ini ternyata sudah ada sejak tahun 4000 sebelum masehi, dan merupakan makanan tradisional milik masyarakat Tionghoa. Saat itu, masyarakat Tionghoa melakukan perjalanan dan tersebar di seluruh belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Kemudian penyebaran nasi goreng ini terjadi karena mereka memilih untuk menetap dan mencoba menciptakan masakan nasi goreng lokal miliknya.

Awalnya, hadirnya nasi goreng ini adalah karena kebiasaan masyarakat Tionghoa yang tidak suka dengan makanan yang dingin. Oleh karenanya, mereka mencoba memasak kembali nasi yang sudah dingin, dengan menambahi bumbu-bumbu yang disukai.

Hasilnya pun sangat disenangi oleh masyarakat. Kemudian, dari mulut ke mulut, tersebarlah cara mengolah nasi putih yang sudah dingin, daripada harus membuangnya.

Soto

setiap daerah di Indonesia memiliki jenis sotonya masing-masing (foto: cookpad.com)
info gambar

Setiap daerah di Indonesia memiliki sotonya masing-masing. Misalnya seperti Soto Padang, Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Makasar, dan masih banyak lagi. Namun ternyata, soto adalah makanan hasil perpaduan budaya antara Indonesia, Tiongkok, dan India.

Tak sedikit pula yang menganggap jika kata soto merupakan kata asli dari Bahasa Indonesia. Namun ternyata, nama tersebut berasal dari Bahasa Hokkian, caudo, atau “sauto”. Penyebutan tersebut lambat laun berubah menjadi soto.

Dilansir dari CNN Indonesia, Dr. Lono Simatupang, seroang antropolog dari Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan jika soto adalah racikan dari berbagai tradisi. Di dalamnya terdapat pengaruh lokal dan pengaruh dari budaya lainnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya kunyit yang digunakan dalam beberapa jenis soto di nusantara.


Sumber :

beritagar.id

nationalgeographic.co.id

cnnindonesia.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini