Kisah Menarik Saat Berbincang Dengan Mahasiswa Bahasa Indonesia di Osaka

Kisah Menarik Saat Berbincang Dengan Mahasiswa Bahasa Indonesia di Osaka
info gambar utama

“If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his own language, that goes to his heart.” - Nelson Mandela

Tulisan kali ini dibuka dengan sebuah kata-kata dari seorang Nelson Mandela tentang bagaimana maksud seseorang bisa sampai ke hati orang lain. Bahasa adalah salah satu bentuk budaya manusia yang dengannya manusia bisa saling memahami atau malah saling salah paham. Saat mempelajari sebuah bahasa baru, manusia tidak hanya mempelajari kata-kata ataupun tata bahasa semata. Tetapi, dengan mempelajaribahasa, manusia dapat memahami kebiasaan, adat istiadat bahkan mungkin jalan pikir lawan bicaranya.

Bulan ini, di tengah musim dingin yang cukup menggigil, PPI Osaka-Nara bersama Jurusan Bahasa Indonesia Osaka University mengadakan acara 交流会 (Kouryu-kai) atau Bincang Bersama dengan mahasiswa Jurusan Bahasa Indonesia di Osaka University, Toyonaka Campus. Acara kali ini mengangkat tema ‘Perayaan Tahun Baru di Jepang’ dan karena itulah makanan khas Jepang ‘mochi’ pun menjadi primadona. Saat tim liputan PPI Osaka-Nara tiba di lokasi, teman-teman Jepang sudah mulai menghidangkan zouni, yaitu sup miso dengan isi mochi dan sayuran yang biasa disajikan saat perayaan tahun baru. Hangat sekali disantap di tengah menggigilnya musim dingin kali ini.

Sambil makan sup mochi yang hangat, kami mulai masuk ke lingkaran teman-teman yang sedang mengobrol dan mendengarkan obrolan mereka. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa tingkat dua dan tingkat tiga. Bahasa Indonesia mereka sangat bagus, walaupun logat Jepang masih sangat kental terdengar. Kata-kata “Eeto,” atau “Anoo,” masih terucap sesekali. Bahasa Indonesia yang mereka gunakan pun sangat formal. Kalau kita biasa berkata, “Aku gak ngerti,” maka mereka akan bilang, “Saya tidak mengerti.” Terdengar kaku memang, tetapi sangat menarik untuk didengar.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Selain obrolan dalam bahasa Indonesia, obrolan dalam bahasa Jepang pun juga dapat terdengar. Teman-teman Indonesia yang antusias untuk melatih bahasa Jepangnya, terdengar bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jepang. Tentunya dibalas dengan bahasa Jepang pula oleh teman-teman Jepang. Dan kali ini, tim liputan tidak mendengar bahasa Inggris sedikit pun walaupun kami adalah orang asing di tanah yang asing. Menarik, bukan?

Satu hal yang kami sadari kali ini adalah, teman-teman jurusan bahasa Indonesia ini masih awam dengan bahasa sehari-hari, atau sebut saja bahasa gaul. Mereka belum tahu yang namanya “nongkrong” atau “banget”. Jadilah kami ajari mereka bahasa-bahasa “aneh” ini sambil berharap semoga kami tidak ditegur oleh profesor mereka yang tengah sibuk menyajikan makanan ??

Saat beberapa orang sedang nikmat menyantap zouni, beberapa mahasiswa Jepang mengeluarkan sebuah palu dan mortar besar yang terbuat dari kayu. Mereka memasukkan nasi yang sudah masak dan lengket (seperti sejenis ketan) ke dalam mortar, lalu mengajak teman-teman Indonesia bergantian untuk memukuli ketan tersebut. Ya, inilah yang disebut dengan mochitsuki. Teman-teman Indonesia sangat antusias melakukan aksi pukul-memukul ini. Suara “Yossha! Yossha!” dari teman-teman Jepang mengiringi setiap pukulan yang dilayangkan ke adonan ketan tersebut.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Keceriaan teman-teman Indonesia dan Jepang saat melakukan aksi Mochitsuki Mochi yang sudah jadi diambil sedikit dan dibentuk bundar, lalu disajikan dengan kinako (tepung yang terbuat dari kedelai dan rasanya manis), atau dicelup ke dalam shoyu (kecap Jepang) dan dilapisi dengan nori (lembaran rumput laut). Rasanya? Gurih dan enak!

Sebelum acara berakhir, salah seorang mahasiswa Jepang memberikan sedikit presentasi tentang perbedaan bentuk mochi di beberapa kawasan di Jepang. Daerah Kansai (termasuk Osaka tempat saya berada sekarang) memiliki bentuk mochi yang bundar. Namun, di daerah Kanto, kebanyakan mochi berbentuk persegi. Mereka bercerita, bahwa di zaman Edo, saat populasi tumbuh pesat, membuat mochi berbentuk bulat lebih sulit dan merepotkan. Karena itu, mereka mulai membuat adonan yang lebih panjang dan memotong adonan tersebut sehingga menjadi persegi. Itulah mengapa di Kanto mochi persegi lebih populer.

Namun yang paling mengagumkan adalah, mahasiswa ini menjelaskannya dalam bahasa Indonesia! Niatan untuk melaksanakan acara ini sebulan sekali pun disampaikan oleh pihak Jurusan Bahasa Indonesia Osaka University, dengan tujuan melatih teman-teman jurusan bahasa Indonesia bicara langsung dengan penutur asli. Lalu sebagaimana acara-acara lainnya yang diadakan di Tanah Sakura ini, acara ditutup dengan bersih-bersih!

Mempelajari bahasa baru tentunya bukan hal yang mudah. Kami yakin banyak sekali teman-teman Indonesia yang kesulitan dalam mempelajari bahasa Jepang agar bisa survive di tanah orang. Tetapi, melihat bagaimana teman-teman Jepang yang juga sama-sama belajar mempelajari bahasa Indonesia, kami sadar bahwa mempelajari bahasa dengan situasi yang menyenangkan akan sangat membantu.

Bertukar cerita, membicarakan hal-hal yang menyenangkan, berusaha mengenal kultur dan adat bangsa lain sambil mempelajari bahasanya tentu akan menjadi pengalaman yang berharga untuk siapapun yang ingin menulis catatan baru dalam buku hidupnya. Semoga acara-acara seperti ini terus dapat dilaksanakan oleh PPI Osaka-Nara dan semua PPI di seluruh penjuru dunia. Semoga bahasa tidak lagi menjadi benteng dalam mewujudkan dunia ini menjadi tempat yang lebih nyaman untuk ditinggali.


Sumber : PPI Dunia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini