Anak Bangsa Kreatif! Jasper Ubah Kulit Ikan Nila Jadi Aksesoris Keren

Anak Bangsa Kreatif! Jasper Ubah Kulit Ikan Nila Jadi Aksesoris Keren
info gambar utama

Gelang kulit yang juga dikenal dengan sebutan leather goods, merupakan aksesoris tahan lama. Biasanya, leather goods ini terbuat dari bahan kulit hewan domestikasi seperti kulit sapi atau kulit domba melalui maupun kulit reptil seperti ular dan buaya. Namun karya yang satu ini mampu mengubah kulit ikan nila atau tilapia leather menjadi aksesoris keren, seperi yang dihadirkan oleh Jasper.

Berasal dari Jogja, Jasper adalah brand pengrajin yang menjual berbagai macam aksesoris dengan kulit ikan nila sebagai bahan utamanya. Desain aksesorisnya sendiri sederhana, namun tampil dengan warna yang bervariasi dan finishing yang rapi. Buat kamu yang mencari aksesoris yang unik dan cocok untuk pakaian santai, aksesoris dari Jasper ini bisa menjadi salah satu pilihanmu.

Tapi, di balik brand dan produknya yang menarik ini, ada banyak cerita dan pengalaman menarik yang dialami kedua founder-nya, yaitu Eirene Ganap dan Anjar Widyarosadi, sebelum akhirnya mendirikan Jasper seperti yang sekarang ini.

Aksesoris Kalung karya Jasper (Foto: Qlapa.com)
info gambar

Dari anak pantai ke ikan air tawar

Meskipun brand Jasper berasal dari Jogja, Eirene sebagai salah satu founder-nya sebenarnya tidak berasal dari Jogja. Ia berasal dari Manado, Sulawesi Utara, dan di sana ia bisa dibilang adalah anak pantai, sering menemui dan tentunya menyukai segala sesuatu yang berbau pantai: air, pantai, dan makan ikan laut.

Ketika mulai berkuliah di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, Eirene kesulitan menemukan ikan laut, tapi pada akhirnya menemukan ikan tawar, yaitu ikan nila. Dari situ, ia sempat melihat bahwa di luar sana banyak produk yang dibuat dari ikan, misalnya ikan pari yang dijadikan produk seperti tas dan dompet. Lalu, ia penasaran, apakah ikan nila juga bisa dijadikan sesuatu. Karena, di pulau Jawa sendiri, ikan nila sendiri cukup umum, mudah dibudidayakan, dan bukan spesies langka, sehingga mudah didapat. Selain itu, kulit ikan nila juga punya tekstur atau bentuk permukaan yang punya daya tarik sendiri. Dari situlah, bersama dengan Anjar yang merupakan seniornya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, keduanya memutuskan untuk mencoba membuat aksesoris menggunakan limbah kulit ikan nila dari pembudidayaan ikan nila setempat.

Ide membuat aksesoris dari kulit ikan nila ini sebenarnya bukan ide pertama mereka. Sebelumnya, mereka sempat mencoba membuat aksesoris dengan bahan manik-manik, kayu, dan sebagainya. Tapi, rata-rata ide itu kandas karena berbagai faktor, seperti misalnya terlalu banyak saingan. Ide menggunakan kulit ikan nila ini sendiri baru muncul di bulan Oktober tahun 2014 lalu.

Tapi, meskipun ide ini masih jarang, serta kulit ikan nila itu sendiri mudah didapat, perjuangannya tidak semudah itu. Pertama, meskipun memutuskan untuk menggunakan kulit asli, keduanya sebenarnya masih buta dan tidak tahu cara mengolah kulit, mulai dari memotong, mengelem, dan lain-lain. Tantangannya juga lebih berat karena kulit ikan nila sendiri dibilang lebih tipis, serta ukurannya lebih kecil dibandingkan kulit hewan lain seperti kulit sapi, jadi mereka harus berusaha untuk mengolah kulit ikan tersebut menjadi sebuah produk yang rapi dan menarik tanpa merusak kulitnya.

Berkali-kali keduanya mencoba membuat produk menggunakan kulit ikan nila ini, tapi hasilnya selalu kurang memuaskan dan tidak layak jual. Mereka sampai mencoba membawa kulit ikan nila ini ke pengrajin kulit dengan harapan mendapat hasil yang lebih baik, tapi pada kenyataannya hasilnya malah lebih buruk dari hasil kerja mereka berdua. Itu pun baru dari segi produk. Untuk kemasan, mereka juga mencoba membuat kemasan yang beda dan meminta orang yang lebih ahli untuk membuatnya. Tapi, karena dikerjakan sekedarnya, hasilnya juga juga mengecewakan.

Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukannya semua sendiri dan terus belajar sampai bisa membuat aksesoris yang menarik dan layak jual menggunakan kulit ikan nila ini. Akhirnya, di bulan Desember 2014, keduanya resmi membuat sebuah brand dengan nama Jasper, yang merupakan sebuah gemstone yang harus dipoles dan diproses agar bisa menjadi sesuatu yang berharga. Di balik nama itu, mereka juga berharap bisa terus berkembang seiring usaha mereka untuk terus berkembang dan belajar.

Aksesoris Gelang berbahan kulit Nila, produk andalan Jasper (Foto: Qlapa.com)
info gambar

Mengubah mindest untuk bisa berkembang

Setelah hampir satu tahun berdiri, Jasper sudah membuat beberapa jenis produk yang menarik menggunakan kulit ikan nila. Ketika ditanya, Eirene juga cukup optimis dengan masa depan Jasper, karena ia yakin bahwa leather goods punya potensi besar yang tidak akan surut. Karena, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, leather goods adalah produk yang punya durabilitas yang tinggi atau tahan lama. Dan karena tahan lama leather goods bisa menjadi bagian dari hidup dan perjalanan pemiliknya.

Khusus Indonesia sendiri, Eirene juga yakin bahwa Indonesia punya masyarakat yang punya kreativitas dan keterampilan yang tinggi, terbukti dengan banyaknya anak muda yang mencoba berkreasi dan membuat karya-karya handmade baru dan unik. Potensi dan perkembangan itu juga berlaku di industri handmade secara keseluruhan. Menurutnya, industri handmade saat ini sudah berkembang pesat dibanding tahun lalu, terutama dengan hadirnya teknologi yang memberi tempat bagi para pengrajin lokal ini untuk menjajakan kreasi mereka. Selain itu, sekarang ini para pengrajin lokal juga berusaha untuk menginspirasi satu sama lain dan mendorong untuk bisa sukses bersama.

Tapi, ia juga mengatakan bahwa agar industri handmade di Indonesia bisa lebih maju lagi, masyarakat Indonesia, baik itu konsumen maupun pengrajin, harus mengubah mindset mereka terhadap produk handmade. Menurutnya, sekarang ini masyarakat masih lebih mementingkan nama brand daripada kualitas atau keaslian produknya.

“Masyarakat Indonesia lebih memilih barang tiruan/palsu yang penting ada merek-nya daripada ori tapi local brand yang belum terkenal. Padahal, kualitas barang barang tiruan itu sendiri jauh di bawah produk asli."

Pengalaman seperti itu juga sering dialami oleh Eirene dan Anjar, apalagi mengingat mereka menjual produk dengan bahan kulit ikan nila, yang cukup jarang dilakukan. Ada banyak yang meremehkan dan menertawakan produk dari Jasper dengan kalimat seperti “Ikan tuh dimakan, Mba’, bukan dibikin gelang”, “Ini dari ikan ya? Kok nggak bauamis?”, dan semacamnya.

Ada juga yang menganggap bahwa produknya terlalu mahal tanpa mempertimbangkan (apalagi mengapresiasi) kualitas bahan, desain,dan proses pengerjaan yang harus dilalui untuk membuat tiap produknya.

“Itu yang saya jumpai masyarakat Jogja, yang terkenal sbg pusat perkembangan seni dan kerajinan di Indonesia. Bagaimana masyarakat lain?” lanjut Eirene.

Tapi, di sisi lain, pengrajin juga banyak yang meremehkan produknya sendiri dan membuat dengan kualitas seadanya. Yang penting jualan dan laku. Bahkan, ada juga yang tidak jujur dalam menjual produknya. Pada akhirnya, jika pengrajinnya sendiri tidak menghargai proses pembuatan serta kualitas dari sebuah produk handmade, masyarakat lain sebagai konsumen juga tidak akan pernah menghargai hal tersebut. Jadi, jika memang ingin masyarakat lebih mengapresiasi produk handmade lokal, para pengrajin sendiri juga harus mengapresiasi produk yang mereka buat.

Jika sudah bisa membenahi faktor itu, Eirene ingin industri handmade Indonesia, dan Jasper sebagai salah satu pelakunya, bisa semakin diterima oleh masyarakat dan bisa menembus pasar internasional.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi GNFI dengan Qlapa.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini