Saya Tidak Lahir dan Besar di Papua, Namun Saya Jatuh Cinta Kepadanya

Saya Tidak Lahir dan Besar di Papua, Namun Saya Jatuh Cinta Kepadanya
info gambar utama

Tahun 2015, saya diberikan kesempatan untuk menjalankan tugas Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang di selenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua. Saya mendapatkan banyak pengalaman hidup ketika tinggal selama kurang lebih dua bulan di sana. Pengalaman hidup yang tidak akan pernah saya dapatkan di daerah lainnya. Setiap hari saya melihat anak-anak kecil yang riang gembira bermain berkelompok dengan teman-teman sekompleks Rumah Honainya. Tak lupa pula ada hewan peliharaan yang selalu mereka bawa kemana-mana. Hewan peliharaan tersebut antara lain: Babi, Anjing dan Ayam. Ada sambutan hangat dari warga dalam setiap jalanan yang saya lalui di Ilaga. Seringnya, saya juga diberikan suguhan khas seperti jeruk lokal, ubi jalar dan makanan khas Ilaga lainnya. Secara tidak langsung, saya mendapat pelajaran dari masyarakat Ilaga untuk menerima orang lain dengan hangat tanpa harus melihat siapa dia dan darimana dia berasal.

Ketika saya mulai ditugaskan untuk menjadi guru di SD Inpres Ondogura, sekali lagi saya menemukan hal yang belum saya temukan selama hidup saya. Betapa tidak, kondisi sekolah tersebut membuat saya tersentuh. Bangunan sekolah hanya terdiri dari 3 ruangan dengan meja dan kursi serta dengan fasilitas yang sangat terbatas. Tidak sampai di situ, guru-guru yang mau mengajar di SD tersebut sangat sedikit. Dari 6 kelas yang ada, hanya terdapat 3 guru termasuk dengan kepala sekolah. Hal ini membuat saya merasa miris dan semakin sadar mengenai keadaan Indonesia. Sebuah negara yang sudah merdeka sekian puluh tahun lamanya, ternyata masih memiliki sisi kelam pada dunia pendidikan. Tidak banyak orang yang mau untuk mengajar di tempat terpencil seperti di SD Inpres Ondogura. Memang, di sana listrik dan air serba sulit, serta medan untuk menuju SD tersebut sangatlah berliku bahkan curam ketika hujan melanda sekitarnya.

Keadaan Kelas Ketika Proses Belajar
info gambar


Terlepas dari kondisi tersebut, anak-anak SD Ondogura tak terlihat kehilangan semangat dalam belajar, begitu pula dengan guru yang mengajar disana. Tak nampak kegelisahan dan ketidaknyamanan mereka dalam proses menyalurkan ilmu. Sekali lagi, saya mendapatkan hal yang tidak saya dapatkan sebelumnya. Menerima secara tulus dan memandang jauh ke depan, itu hal yang saya dapatkan selama menjadi guru sementara di Ondogura. Menerima dengan sepenuh hati ketidakhadiran negara dalam memberikan jaminan pendidikan dan memandang ke masa depan untuk tidak mudah menyerah walau dalam kondisi yang penuh keterbatasan.

Lima hari dalam seminggu, saya bersama tim pendidikan ikut mengajar di SD Inpres Ondogura. Kami harus berjalan kaki selama 2 jam dari pondokan kami untuk pergi ke sekolah. Hawa dingin selalu menemani perjalanan kami menuju sekolah. Maklum, Kabupaten Puncak terletak di daerah pegunungan Jayawijaya dengan ketinggian diatas 2500 MDPL (Meter Diatas Permukaan Laut). Perjalanan menuju sekolah pun tidak mudah. Kami harus melewati beberapa bukit, sungai, dan melompati pagar-pagar Honai milik warga yang terbuat dari kayu. Melompati pagar demi pagar selama perjalanan adalah salah satu pengalaman yang tidak saya lupakan. Pernah suatu waktu, teman saya tersangkut pagar tersebut yang pada akhirnya terjatuh ketika membawa cucian pakaian.

Setibanya di tanjakan terakhir menuju SD Inpres Ondogura, kami disambut oleh mamah-mamah (panggilan ibu-ibu bagi warga sekitar) beserta anak-anak yang sudah menunggu kami. Belum saja kami melepas lelah, mereka langsung mengahmpiri dan menawarkan air yang sudah mereka sediakan sebelumnya ditambah pula beberapa panganan asli tanah Ilaga seperti betatas (ubi) dan kelapa bakar. Tak jarang, kami diberi buah-buahan. Dengan senang hati kami selalu menerimanya, waktu itu saya diberikan beberapa betatas yang sangat enak. Sebelum saya ke Ilaga, saya belum pernah merasakan betatas yang seenak betatas asli Ilaga. Rasanya sangat manis dan pulen. Itu hanya salah satu bentuk kehangatan warga disana yang menyambut kami setibanya di sekolah

Betatas (Ubi) Khas Ilaga, Kabupaten Puncak. (© Tim KKN PPA 03 Ilaga 2015)
info gambar


Seusai makan dan minum, kami langsung menuju ruangan kelas. Di sana, anak-anak sudah menunggu kehadiran kami dan siap untuk belajar. Sebelum memulai pelajaran, kami selalu memanggil anak-anak sesuai dengan kelas yang telah ditentukan. Penentuan kelas dilakukan oleh kami berdasarkan pada kemampuan mereka dalam calistung (baca, tulis, dan menghitung). Perlu diketahui bahwa kemampuan anak-anak di sana dalam membaca, menulis, dan berhitung masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami membuat program pembelajaran membaca, menulis, dan menghitung dengan disisipkan beberapa permainan agar suasana belajar tidak kaku. Selain itu, kami juga membiasakan anak-anak untuk berdoa bersama sebelum memulai pelajaran dengan dipimpin oleh salah satu siswa di setiap kelasnya.

Pukul 11.00 WIT, proses pembelajaran di sekolah berakhir. Tidak seperti biasanya, sebelum berdoa untuk mengakhiri kegiatan kami hari itu, kami memberitahukan pengumuman bahwa hari Kamis mendatang sekolah libur. Alasan kami tidak bisa hadir untuk mengajar karena kami akan mengadakan seminar hasil Kuliah Kerja Nyata (KKN). Selain pengumuman terkait libur, kami juga mengundang anak-anak untuk hadir di acara seminar hasil tersebut pukul 08.00 WIT. Sesuai jadwal, acara akan dimulai pukul 09.00 WIT di Aula Kabupaten Puncak yang terletak di Kampung Kago, sekitar 2 jam perjalanan kaki dari sekolah. Mereka senang hati menyambut undangan dari kami. Kami turut juga mengundang bapak dan ibu guru SD Inpres Ondogura untuk hadir di acara tersebut.

Penulis bersama anak-anak SD Inpres Ondogura @Tim KKN PPA 03 Ilaga 2015
info gambar


Pagi itu matahari bersinar cerah walau tak cukup untuk mengusir hawa dingin Kampung Kago, Ilaga yang mencapai 8 derajat celcius. Kami bersiap untuk mengadakan seminar hasil. Seminar hasil ini bertujuan untuk mempublikasian seluruh kegiatan selama kami berada di Ilaga selama kurang lebih 2 bulan. Saya dan Disti salah satu teman kerja saya selama mengajar, diberikan amanah untuk menyambut adik-adik dari SD Inpres Ondogura di aula. Kami tidak menyangka tepat pukul 07.50 WIT anak-anak tersebut sudah hadir dengan ditemani oleh beberapa guru di aula. Mereka berpakaian rapi walau tak bersepatu. Mereka datang dengan keceriaan yang khas di wajah mereka. Merekalah tamu undangan yang hadir pertama kali di acara seminar hasil tersebut. Selanjutnya, kami bariskan mereka di depan aula. Salah seorang siswa bertanya, “Pang Guru, bolehkah kami duduk di depan itu, biar kami dapat melihat Pang Guru dan Bung Guru (panggilan sehari-hari anak-anak kepada bapak dan ibu guru) dengan jelas?” Mereka meminta untuk duduk di depan (dekat panggung utama), dengan senang hati kami persilakan mereka untuk duduk di bagian depan.

Pada pukul 09.00 WIT, seharusnya acara sudah dimulai sesuai jadwal, namun tamu undangan masih belum banyak yang nampak hadir di aula tersebut, termasuk Bupati dan Kepala Dinas setempat. Kami memang mengundang mereka untuk hadir di acara kami, agar mereka dapat mengetahui dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang sudah kami lakukan selama di Ilaga. Hanya nampak Pak Feri selaku kepala Dinas Pertanian yang hadir waktu itu. Dalam undangan, kami meminta tamu undangan untuk hadir pukul 08.30 WIT. Pada waktu itu, kami mendapatkan kabar bahwa ada suatu kendala yang mengakibatkan bupati belum bisa hadir di tempat acara. Sampai pukul 11.00 WIT, acara belum juga dimulai karena sebagian besar tamu undangan belum datang, Saya yang waktu itu menemani anak-anak dan Bapak Ibu guru SD Inpres Ondogura, masih melihat keceriaan dan antusiasme mereka dalam mengikuti acara. Tidak nampak kekecewaan dari raut wajah mereka lantaran sudah menunggu lama. Yang ada hanya senyum tawa manis khas anak-anak Ondogura. Akhirnya, acara dimulai pukul 11.30 WIT begitu Bupati dan beberapa kepala dinas Kabupaten Puncak hadir. Acara tersebut dimulai dengan sambutan bupati dengan dilanjutkan dengan doa bersama yang dipimpin oleh Pak Melkias Kogoya, salah satu tokoh masyarakat di Ilaga.

Waktu telah menunjukan pukul 16.00 WIT, anak-anak masih setia untuk duduk di acara tersebut, padahal tamu undangan seperti Bupati dan jajaran kepala dinas sudah meninggalkan acara kami sejak pukul 14.00 WIT. Acara seminar hasil tersebut diakhiri dengan foto bersama. Kami pun mengajak anak-anak untuk foto bersama dengan seluruh anggota tim KKN. Bertepatan dengan foto bersama tersebut, hujan deras turun di bumi Ilaga. Hujan tersebut diiringi dengan angin kencang khas angin lembah di dataran tinggi. Sore itu, setelah semua rangkaian acara selesai, anak-anak berniat langsung meninggalkan aula tersebut untuk pulang ke honai mereka masing-masing. Saya dan Disti sempat menahan kepulangan mereka karena hujan deras disertai angin kencang masih belum reda dan mengingat kampung mereka cukup jauh dari aula, sekitar 2 jam perjalanan jalan kaki. Namun, saya ingat ada beberapa siswa yang berkata pada kami, “Pang guru, biarkan saja kami pulang ke honai kami, kami sudah ditunggu Mamah Bapa untuk pulang ke honai, biarkan hujan menemani kami sampai ke honai”. Tentu saja, saya, Disti, dan beberapa teman lainnya tersentuh mendengar ucapan tersebut. Saya tidak menyangka mereka memiliki komitmen dalam menghargai orang. Janji kepada orang tua mereka bahwa sebelum jam 6 sore mereka harus sudah pulang ke honai-honai menjadi alasan mereka harus pulang walau hujan. Dengan berat hati, kami mengizinkan mereka pulang dengan diiringi hujan lebat beserta angin lembah yang kencang. Mereka pun tidak membawa perlengkapan untuk melindungi diri dari hujan. Setelah itu, saya melihat beberapa wajah teman KKN mengeluarkan air mata disertai perasaan haru biru saat melihat mereka beranjak meninggalkan aula. Saya merasa bangga memiliki siswa-siswi yang sangat menghargai waktu dan orang. Bagi saya, mereka sangat hebat dan seharusnya menjadi contoh bagi kita untuk menghargai waktu dan orang.

Kebersamaan Tim KKN Bersama Siswa SD Inpres Ondogura Setelah Mengikuti Acara Seminar Hasil KKN@Tim KKN PPA 03 Ilaga 2015
info gambar

Sebuah pengalaman hidup yang sangat berharga dan menambah kecintaan saya terhadap Indonesia, saya dapatkan setelah saya pulang dari Papua. Menjadi seseorang pembelajar disetiap tempat yang akan atau sedang kita lalui adalah niat saya sebagai manusia. Niat itu yang selalu saya tanamkan ke diri saya pribadi dan ketika orang lain termasuk orang tua saya menanyakan kesungguhan diri saya untuk mengabdi bagi Indonesia. Niat yang selalu saya jaga bersama kecintaan saya pada tanah air, untuk menjadi pribadi pembelajar dimanapun saya berada.

“Saya tidak lahir, besar dan tumbuh di Papua. Namun, saya jatuh cinta kepadanya” Thio A. Dwiprasetya

Salam,

Thio A. Dwiprasetya
(Anggota Bidang Lapangan TKP PPI Dunia)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini