Eksotisnya Masjid Agung Keraton Surakarta dari Perspektif Budaya (Bagian 1)

Eksotisnya Masjid Agung Keraton Surakarta dari Perspektif Budaya (Bagian 1)
info gambar utama

Mesjid Ageng Kraton Surakarta secara administratif terletak di Jln. Masjid Besar No.1, Kauman, Pasar Kliwon, Kauman, Ps. Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57122. Istilah mesjid ageng atau masjid besar hanya digunakan di Kraton Kasunanan Surakarta dalam lingkup Kerajaan Mataram. Hal ini sesuai dengan salah satu isi dari Perjanjian Giyanti yang membelah pemerintahan Mataram menjadi dua pusat pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta, bahwa semua hal yang menyangkut dengan istana, Yogyakarta tidak diperkenankan untuk membuat bangunan yang lebih besar dari bangunan yang ada di Kraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini yang pula yang menjadi salah satu faktor mengapa masjid agung di Kraton Yogyakarta dikenal dengan istilah mesjid gedhe. Luas bangunan di Mesjid Gedhe Kraton Ngayogyakarta pun tidak seluas seperti halnya di Kraton Surakarta. Mesjid Ageng Kraton Surakarta juga merupakan istilah resmi dalam bahasa Jawa. Sedangkan penyebutannya dalam bahasa Indonesia menggunakan istilah Masjid Agung Keraton Surakarta.

Masjid Agung Keraton Surakarta
info gambar

Pembangunan masjid Kraton Surakarta dilakukan pada masa pemerintahan Sinuhun Pakubuwana II dan dilanjutkan oleh Sinuhun Pakubuwana III. Mesjid Ageng Kraton Surakarta Hadiningrat kemudian disempurnakan oleh Sunan Pakubuwana IV yang memerintah tahun 1788-1820 (Joop Ave, 2004: 110). Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun lor (utara). Bangunannya berdiri megah, dengan arsitektur kuno yang memadukan unsur Jawa, Eropa dan Timur Tengah. Keagungan dan keanggunan masjid ini dapat dilihat dari Pasar Klewer, tempat perbelanjaan yang terkenal.

Posisi Mesjid Ageng dengan Pasar Klewer mengingatkan pada hadits Nabi Muhammad tentang hubungan masjid dan pasar. Nasihat Nabi ini berkenaan dengan ideologi yang dianut oleh sebuah bangsa, agar tetap waspada antara aspek kontemplatif dengan aspek kompetitif. Dari arah utara terdapat gapura Gladak yang merupakan lambang masa kanak-kanak. Pada jenjang ini manusia suka bermain dan bersenang-senang. Oleh karena itu disediakan alun-alun yang dapat menampung khalayak ramai. Kesenian, olahraga, pameran dan pawai rekreatif kerap dijumpai di alun-alun.

Struktur bangunan Kraton Surakarta Hadiningrat memang penuh dengan perlambang kehidupan. Tidak jauh dari alun-alun terdapat pagelaran, simbol arena yang digelar demi perjuangan hidup. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Innamal usri yusra, sesungguhnya kesulitan itu beserta kemudahan. Cita-cita luhur ini dilambangkan dengan bangunan Sitihinggil. Begitulah lingkungan Mesjid Ageng Kraton Surakarta Hadiningrat yang penuh dengan nilai etis filosofis.

Pembangunan Kraton Surakarta dimulai pada tahun 1744 Masehi oleh Sunan Pakubuwana II (Soekirman, 2013:17). Bangunan Kraton Surakarta merupakan bukti peninggalan sejarah yang memiliki nilai religius atau keislaman. Misalnya Mesjid Ageng di alun-alun lor, juga menjadi bukti sejarah. Masih ditambah lagi berbagai tatacara/ upacara adat, misalnya Tingalan Dalem Jumenengan setiap tanggal 2 Ruwah Tahun Jawa, Kirab Pusaka setiap malam tanggal 1 Suro tahun Jawa ataupun Maesa Lawung, merupakan bukti kultural sejarah yang bernilai spiritual religius. Dengan demikian bisa disebutkan bahwa berbagai peninggalan masa lalu, baik yang berupa adat, tradisi, kultural, spiritual, religius, keagamaan dan sejarah, kesemuanya mengandung makna historis – kultural – spiritual/ religius, dalam arti ya bernilai sejarah, ya bernilai budaya dan bernilai religius termasuk keagamaan (Sri Winarti, 2004: 59).

Serambi Masjid Agung Keraton Surakarta
info gambar

Menurut tradisi Kraton surakarta dalam setahun melangsungkan tiga kali upacara yang berhubungan dengan agama Islam, yaitu upacara grebeg. Tiga macam grebeg adalah Grebeg Mulud pada tiap tanggal 12 Rabiul Awal, Grebeg Pasa tiap tanggal 1 Syawal dan Grebeg Besar tiap tanggal 10 Dzulhijjah (Darsiti Soeratman, 2000: 141). Istrilah grebeg dihubungkan dengan peristiwa pada waktu raja dalam busana kebesaran miyos dari kedaton menuju sitihinggil. Raja ginarebeg atau diiringi oleh para abdi dalem, prajurit, sentana serta para tamu undangan sehingga suasana prosesi menjadi meriah. Raja dianggap sebagai pusat kekuatan gaib bagi komunitasnya (Victoria van Groenendael, 1987: 302). Dengan menggunakan metode historis diharapkan deskripsi ini menghasilkan pemahaman yang mendalam atas fenomena sosial, ritual dan kultural.

Dalam kehidupan sehari-hari masjid berfungsi sebagai pusat aktivitas ibadah bagi umat Islam. Sejak fajar menyingsing suara adzan berkumandang dari menara Mesjid Ageng Kraton Surakarta. Seluruh kita mendengar seruan untuk melakukan shalat Subuh. Jamaah berbondong-bondong dengan mengenakan kopyah, baju koko dan sarung. Thaharah atau bersuci dengan air wudhu dilakukan terlebih dulu. Kebersihan raga dan jiwa membuat hidup ini sehat, sehingga menjauhkan dari rasa sakit. Shalat Subuh menjadi sarana terapi yang mudah dan murah.

Fungsi ritual masjid Keraton Surakarta juga tampak pada shalat Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Shalat lima waktu yang menjadi rukun Islam dilaksanakan secara rutin dan teratur. Kegiatan ritual tersebut berlangsung sejak didirikan sampai sekarang. Shalat Jumat, shalat Idul Fitri dan shalat Idul Adha juga dilakukan dengan berpegang pada pedoman kitabullah. Peribadatan di masjid agung didukung dengan fasilitas lengkap, bagus dan estetis. Faktor ini juga yang menjadi daya tarik para jamaah untuk beribadah di masjid agung. Suasana yang khusyuk didukung pula oleh faktor kebersihan dan keindahan.

Prosesi Sholat Tarawih di Masjid Agung Keraton Surakarta
info gambar

Perilaku sosial atau amal jamaah dalam masjid agung ditunjukkan dengan adanya aktivitas yang melibatkan masyarakat. Pembagian daging kurban, saat hari raya Idul Adha merupakan bentuk solidaritas sosial yang sudah berlangsung lama. Pada malam kedua puluh sembilan bula Ramadhan diadakan upacara penyerahan zakat fitrah dari Kraton Surakarta kepada fakir miskin. Santunan-santunan kepada kaum dhuafa dan anak yatin piatu termasuk aktivitas sosial yang perlu diberi apresiasi.

Upacara grebeg terbesar adalah Grebeg Mulud yang pada tahun Dal. (Ada 8 nama tahun sesuai kalender Jawa yaitu Alif, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu dan Jimakir). Adalpun asal mula diadakan perayaan sekaten itu sudah dimulai semenjak berdirinya kerajaan Islam yang pertama Sultan Syah Alam Akbar Jimbun Sirrullah (Soewita Santoso, 1990: 30). Sunan Kalijaga seorang wali sanga menjadi pelopor upacara grebeg pada masa Kraton Demak Bintoro. Penabuhan gamelan pada saat grebeg disebut sekaten. Sejak itulah hingga sekarang sekaten selalu menarik perhatian banyak orang (Surya S Negoro, 2001: 82).

Pengertian sekaten secara teoritis leksikal dan sosio kultural perlu diungkapkan. Di dalam bahawa Jawa kata Sekaten berasal dari kata sekati yang artinya setimbang di dalam menimbang hal baik atau yang buruk. Adapun menurut bahasa Arab dapat diartikan sebagai berikut: Sakhatain: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan watak setan. Sekatain: menghentikan atau menghindari perkara dua, yaitu sifat lacut dan menyeleweng. Sakhotain: menanamkan perkara dua, yaitu ngrungkebi budi suci dan menghambakan diri kepada Tuhan YME. Syahadatain: meyakini kebenaran perkara dua yaitu Syahadat Taukhid (yakin adanya Allah YME) dan Syahadat Rasul (yakin dan percaya kalau Nabi Muhammad SAW utusan Allah) (Soewito Santoso, 1990: 32).

Aktivitas kultural masjid agung tampak pada kegiatan Grebeg Maulid, Grebeg Besar dan Grebeg Lebaran. Ketiga acara budaya tersebut secara rutin dilakukan oleh Kraton Surakarta yang diikuti oleh segenap abdi dalem. Tidak ketinggalan masyarakat dari pelosok Karanganyar, Sragen, Klaten, Wonogiri, Boyolali, Sukoharjo, Grobogan, Ngawi, Ponorogo dan Pati. Maksudnya untuk ngalap berkah. Tanpa diundang secara resmi, mereka suka rela berduyun-duyun berdatangan. Kehadiran mereka membuat suasana cukup meriah, hangat dan menarik. Sesungguhnya mereka adalah pendukung utama kebudayaan Jawa.

Sumber: Dr. Purwadi M., Hum. dan Dra. Endang Waryanti, M., Pd. 2015. Perjanjian Giyanti. Bantul: Laras Media Prima.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini