Eksotisnya Masjid Agung Keraton Surakarta dari Perspektif Budaya (Bagian 3)

Eksotisnya Masjid Agung Keraton Surakarta dari Perspektif Budaya (Bagian 3)
info gambar utama

Akulturasi kebudayaan terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk menampung aspirasi kultural. Mesjid Ageng Kraton Surakarta juga menjadi sentral upacara malam selikuran. Hajad dalem ini dilaksanakan pada malam ke dua puluh satu setiap bulan Ramadhan. Waktunya setelah shalat Tarawih, kira-kira pukul 20.00. sebenarnya upacara ini untuk menyongsong turunnya malam Lailatul Qadar. Kaum muslim berharap mendapat Lailatul Qadar, karena keutamaannya melebihi seribu bulan. Dalam kitab suci Al Qur’an, malam Lailatul Qadar disebutkan demikian.

Q.S. Al Qadr
info gambar

Bulan puasa juga tak luput dari perhatian Keraton. Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang mulia yang penuh berkah. Di dalam Al-Qur’an telah ditegaskan bahwa dalam bulan ini terdapat satu malam yang amat utama yaitu yang disebut Malam Lailatul Qadar atau malam kemuliaan. Karena itu Sinuhun Pakubuwana yang juga mendapat sebutan Waliyullah dengan gelar Sayyidin Panatagama (kerabat nabi penata Agama Islam) memiliki tradisi Malam Selikuran (malam 21). Sebuah tradisi peninggalan Wali Sanga yang menyambut turunnya wahyu Al Qur’an. Tradisi tersebut diawali dengan pisowanan patih dan seluruh bawahannya serta abdi dalem penghulu, penasehat urusan agama Islam, kepada Sinuhun di Pagelaran Sasana Sumewa. Mereka pada malam 21 mengadakan acara hajad dalem maleman atau selamatan Rosulan. Makanan yang disajikan berupa nasi uduk dan panganan baladan. Kapung Baladan terletak di barat mesjid ageng, sisi selatan yang sering membuat jenis panganan setahun sekali. Di antaranya kue kuping gajah dan kembang jambu. Arak-arakannya menggunakan lampu ting yang dihias (Bram Setiadi, 2001: 257).

Pengiring upacara ini didominasi lagi-lagu santiswara yang berisi ajaran Islam. Sya’ir lagu santiswara terdiri dari puji-pujian, shalawatan, tahlil, tahmid, takbir yang dikemas dalam bentuk gendhing Jawa. Musiknya berupa kemanak, kendhang, terbang dan jedor. Suaranya melengking, bernada tinggi dan enak didengar. Arak-arakan ini dikirap mengelilingi beteng kraton dan berakhir di mesjid ageng. Para peserta berasal dari para abdi dalem yang tersebar dari berbagai pelosok. Berikut ini nada dan syair gendhing-gendhing santiswara.

Penabuhan Gamelan Saat Grebeg
info gambar
  1. Gendhing Kaum Dhawuk

Sajian gendhing kaum Dhawuk ini bertujuan untuk membuat suasana lebih meriah, semarak dan menarik. Gendhing ini merupakan laras pelog pathet barang yang dipentaskan saat upacara Maleman Selikuran di Kraton Surakarta. Menarik sekali pada malam selikuran ini disajikan tumpeng sewu yang bermakna menyambut keutamaan yang melebihi seribu bulan. Musik Jawa mengenal dua laras atau dua warna nada. Pertama laras pelog yang terdiri dari notasi 1 2 3 4 5 6 7. Ketujuh notasi terbagi menjadi pelog nem, pelog lima dan pelog barang. Kedua, laras slendro dengan notasi 1 2 3 4 5 6, yang terdiri dari islendro nem, slendro sanga idan slendro manyura. Pembagian pathet dalam rentetan pagelaran seni musik Jawa mengandung arti simbolik yang terkait dengan proses perjalanan kehidupan manusia. Sejak lahir, masa dewasa, dan masa tua semuanya dilukiskan dengan urutan pathet gamelan.

Syair gendhing kaum Dhawuk tersebut memberi penghormatan kepada Nabi Muhammad Saw. Beliau telah membawa risalah Islam, dari jaman kegelapan menuju jaman terang bernderang. Syafaat Nabi diharap oleh sekalian kaum muslimin. Keselamatan dan kedamaian ditaburkan di seluruh penjuru dunia.

  1. Gendhing Glathik Belog

Gendhing Glathik Belong juga dipentaskan bersamaan dengan upacara Malem Selikuran. Isi syairnya berupa petuah ajaran hidup agar manusia tetap ingat pada agamanya. Pada masa kanak-kanak atau remaja dianjurkan untuk giat mencari ilmu pengetahuan demi masa depan. Syair gendhing Glathik Belog mendukung agar manusia mau tekun belajar. Dengan ilmu segala problematika kehidupan bisa diselesaikan lebih mudah. Dengan agama semua permasalahan sehari-hari bisa dirampungkan lebih terarah.

  1. Gendhing Tanjung Gunung

Penyajian gendhing Tanjung Gunung ini bertujuan agar para peserta Malam Selikuran mendapat hidayah dan barokah dari Allah Swt. Nada gendhing ini cukup memberi suasana yang optimis dalam menjalani kehidupan pada masa mendatang. Ajaran dalam syair Gendhing Tanjung Gunung itu diungkapkan dengan penuh perlambang. Dalam pergaulan seseorang mesti menjaga sopan santun, unggah-ungguh dan tata susila. Ajaran Islam menganjurkan seseorang untuk selalu taaruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami) dan taawun (saling kerja sama).

Prosesi Doa Saat Malem Selikuran (Malam 21 Bulan Ramadhan)
info gambar

  1. Gendhing Kembang Gayam

Gendhing Kembang Gayam bernuansa lincah, atraktif dan meriah. Menjelang turunnya Lailatul Qadar diharapkan kaum muslimin bersedia melakukan amal saleh dan bersedekah. Kembang Gayam melambangkan kemurahan dan keramahan pada sesama. Pendidikan budi pekerti luhur disampaikan lewat gendhing Kembang Gayam. Sikap sabar narima dan toleransi hendaknya dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu setiap muslim perlu mengembangkan budi pekerti luhur atau akhlakul karimah.

  1. Gendhing Genjong Goling

Pergelaran gendhing Genjong Goling dilakukan oleh para abdi dalem Kraton Surakarta dengan penuh kesungguhan. Harapannya egala mara bahaya akan menyingkir berkat pertolongan, ridho dan ampunan dari Allah Swt. Oleh karena itu manusia dianjurkan memperbanyak dzikir. Makna yang diungkapkan dalam syair gendhing Genjong Goling tersebut adalah kemauan untuk tabah dan sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan. Asal ada kemauan pasti ada jalan. Dalam berusaha seseorang hendaknya tetap tawakal dan tidak boleh berputus asa. Perjuangan yang gigih lambat laun akan membuahkan hasil. Sajian upacara yang memadukan unsur Islami dan Jawa tadi telah berlangsung berabad-abad. Dakwah Islamiyah yang dikemas dalam bentuk kebudayaan telah berwujud menjadi tradisi keislaman yang toleran, terbuka dan bermartabat. Mesjid Ageng Kraton Surakarta benar-benar mewakili peradaban luhur yang perlu diuri-uri dan dilestarikan. Generasi muda perlu diwarisiseni budaya yang telah hidup secara turun-temurun.

Masyarakat Jawa mempunyai tradisi dakwah islamiyah yang berlandaskan akar budaya dan tradisi. Mesjid Ageng Kraton Surakarta telah memberi kontribusi yang berharga buat penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Bentuk fisik dan letaknya yang strategis membuat masjid ini menjadi sentral aktivitas pengajaran, peribadatan, upacara adat dan kegiatan sosial yang memberi manfaat buat lingkungan sekitar. Pusat belajar mengajar Lembaga Mambaul Ulum berada di Mesjid Ageng Kraton Surakarta didirikan pada tahun 1905 (Kuntowijoyo, 2006: 39). Madrasah Mambaul Ulum menempati bangsal pawestren Mesjid Ageng (Puspaningrat, 2004: 29). Sebagai tempat pendidikan, Mambaul Ulum meluluskan alumni dan ilmuwan mumupuni dalam bidang agama Islam. Mereka menduduki birokrasi keagamaan yang siap melayani dan membantu masyarakat. Dalam bidang ritual keagamaan, aktivitas Mesjid Ageng tetap berlangsung sampai sekarang.

Pada masa depan aktivitas Mesjid Ageng perlu melibatkan unsur seniman, ilmuwan, cendikiawan, budayawan, legislatif, yudikatif dan eksekutif. Pengelulaan kolektif itu akan lebih efetif buat melakukan dakwah Islamiyah, dengan prinsip rahmatan lil ;alamin.

Sumber: Dr. Purwadi M., Hum. dan Dra. Endang Waryanti, M., Pd. 2015. Perjanjian Giyanti. Bantul: Laras Media Prima.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini