Mangkunegara VII dan Modernisasi Budaya Jawa

Mangkunegara VII dan Modernisasi Budaya Jawa
info gambar utama

Taman-taman ini merupakan wujud dari serangkaian kebijakan pembaharuan wilayah Mangkunegaran di masa silam. Di sini keharuman nama Mangkunegara VII masih hidup di dalam batin masyarakat luas. Hingga hari ini, tiang-tiang pancang pembangunan yang dilakukan Mangkunegara VII memang masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagaimana dahulu. Angin perubahan yang dibawa Mangkunegara VII di banyak bidang, membawa Jawa pada sebuah zaman baru. Tidak saja pembangunan infrastruktur, tetapi juga hasanah intelektual. Mangkunegara VII memang cukup fenomenal dalam catatan sejarah Jawa.

Taman Balekambang
info gambar

Taman Balekambang 2

Dia yang bernama kecil Raden Mas Soerjo Soeparto ini lahir pada 12 November 1885 dari rahim seorang garwa ampil Mangkunegara V. Ayahnya, Mangkunegara V tutup usia pada 1896, tepat ketika Soejo berusia 11 tahun. Di masa belianya, Soerjo Soeparto telah mengambil sebuah jalan hidup yang kelak sangat menentukan karakternya. Di usia 16 tahun, ia memutuskan keluar dari kehidupan kebangsawanan kadipaten. Dari jalan yang ia ambilnya itu, ia jadi juru tulis bantu Bupati Demak. Membaca karya-karya buku Multatuli dan berkirim surat dengan sejumlah orang di Belanda. Pada 1909, Soerjo Soeparto juga menjadi penerjemah untuk Residen Solo, G.F. Van Wijk. Selama 4 tahun bekerja pada residen, ia juga aktif dalam Organisasi Budi Utomo. Budi Utomo adalah organisasi pemuda yang bergerak aktif dalam yang bergerak aktif dalam memajukan pendidikan di Jawa dan Madura.

KGPAA Mangkunegara VII

Setelah mendapat dukungan dari residen Van Wijk, Soerjo Soeparto bersama Pangeran Hangabehi yang di kemudia hari menjadi pimpinan tertinggi Kasunanan Surakarta dengan gelar Pakubuwana XI berangkat ke negeri Belanda. Di sana, Soerjo Soeparto belajar di Fakultas Kesusastraan Timur, Universitas Leiden. Di Belanda, Soerjo Soeparto menulis beberapa kisah perjalanannya untuk dikirimkan kepada Volkslectuur yang kemudia hari menjadi penerbit Balai Pustaka. Selain itu ia juga pernah menerjemahkan beberapa syair karya pujangga India, Rabindranath Tagore. Pada 1915, Soerjo Soeparto kemudia masuk angkatan militer Belanda sebagai perwira cadangan. Ia menjalani karir militer hingga meraih pangkat setingkat letnan dua. Pada 15 Mei 1915, Soerjo Soeparto pun pulang ke tanah Jawa. Pertengahan 1916, Soerjo Soeparto dilantik sebagai penguasa Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunegara VII. Ia menggantikan pamannya, Mangkunegara VI. Berbekal pengalaman selama belajar di Leiden, aktif di angkatan militer Belanda dan hubungannya yang harmonis dengan Ratu Belanda, Mangkunegara VII pun memulai tatanan pemerintahan baru di Kadipaten Mangkunegaran.

”Memang Mangkunegara VII cukup dekat dengan Belanda. Kedekatannya dengan Belanda itu, setelah dia memimpin, dipakai untuk pembangunan wilayah Mangkunegaran. Melalui Mangkunegaran, dia ingin merubah Jawa. Belanda dulu pernah (menerapkan) politik etis itu yang dikembangkan sejak tahun 1902 sampai 1930-an. Oleh karena ide-ide dari Van Deventer dan Brooshoft, itu berpengaruh pada cara berpikir Mangkunegara VII. Lalu dia ingin memadukan antara modern dan tradisional, antara western dan javanese.” –Prof. Wasino seorang Sejarawan dari Universitas Negeri Semarang--.

Di tahun pertama jabatannya, Mangkunegara VII memfokuskan upaya-upaya kesejahteraan bagi rakyat kecil melalui pendidikan. Sekolah-sekolah ini merupakan sarana dalam bidang pendidikan Belanda yang dilanjutkan pengelolaannya di masa pemerintahan Mangkunegara VII. Kepiawaiannya di bidang teknik, juga mendorongnya untuk medirikan sebuah radio di Solo. Melalui radio yang diberi nama Solosche Radio Vereniging, ia menyiarkan pidato Ratu Belanda Wilhelmina pada 1927. Kemudian Mangunegara VII dikenal sebagai Bapak Penyiar.

Mangkunegara VII juga mengembangkan budaya intelektual dengan cara mendirikan lingkar studi kebudayaan dan filsafat. Pada 1919 ia mendirikan sebuah organisasi yang bergerak di bidang kebudayaan atau yang dikenal dengan nama Java Instituut. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan perkembangan kebudayaan mencakup Jawa, Madura dan Bali. Java Instituut merupakan cikal bakal pembangunan Museum Sonobudoyo di Yogyakarta. Pembangunan pusat-pusat kesehatan ini juga diberi ruang oleh Mangkunegara VII ketika berbagai wabah penyakit seperti kolera dan pes menjalari hampir sebahagian besar penduduk Mangkunegaran. Demi memberantas penyebaran penyakit tersebut, Mangkunegara VII menginstruksikan penduduk agar Surakarta berganti atap rumbia menjadi genting. Untuk ,endukung rencananya ini, ia mendirikan sebuah pabrik genting di Kampung Kemiri, Karanganyar. Pada 1936, fasilitas mandi, cuci, kakus atau yang dikenal dengan Ponten Ngebrusan juga didirikan sebagai upaya memberantas wabah penyakit menjalar di daerah Mangkunegaran. Selain mendorong pendidikan dan kesehatan, Mangkunegara VII juga mendorong produksi pangan. Di antarnya dengan meningkatkan produksi pabrik-pabrik gula dan perbaikan sistem irigasi.

Selain beberapa infrastruktur untuk beberapa masyarakat umum, Mangkunegara VII juga melakukan pembaharuan di lingkungan Pura Mangkunegaran. Pembaharuan tersebut mewujud pada bentuk administrasi, perubahan arsitektur dan properti Mangkunegaran. “Kalau dampaknya, lebih modern. Mangkunegara VII itu lebih modern. Dan waktu itu, sudah ada lho pesta dansa di Mangkunegaran karena menyambut pemimpin Belanda. Dan Mangkunegara VII kawin dengan putrinya Hamengkubuwana VII, jadi keseniannya waktu itu campur. Keseniannya di bidang tari, tarinya itu lebih modern. Artinya, dicampur dengan (tari gaya) Jogja” –Gusti Raden Ayu Retno Satuti Yamin Suryohadiningrat, cucu Mangkunegara VII--. “Orang punya kesan, kalau budaya Jawa itu kan feodalistik. Mangkunegara VII itu ingin mengubah image bahwa ada proses demokratisasi kebudayaan keraton. Sehingga dulu yang namanya wayang wong (wayang orang) di Jogja itu sakral sekali, hanya dilihat oleh keluarga istana. Mangkunegara mengubah wayang wong untuk kemudian bisa dilihat oleh masyarakat.” –Prof. Wasino seorang Sejarawan dari Universitas Negeri Semarang--.

Istana Mangkunegaran, Kota Surakarta
info gambar

Berkat kepiawaiannya dalam mengolah konsep modernisasi pada masa itu, hingga hari ini wujud dari pikiran tersebut masih terus hidup bersama masyarakat. Mangkunegara VII dengan segala keterbukaannya pada pengaruh dunia internasional berhasil mentransformasikan wawasannya kepada masyarakat untuk sebuah kemajuan penghidupan yang lebih baik.

Sumber: Yayasan Warna Warni Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini