Sebuah Kekayaan Yang Tak Bisa Dicuri (Lagi)

Sebuah Kekayaan Yang Tak Bisa Dicuri (Lagi)
info gambar utama

There goes a song from an Eastern Man
With his Tifa and a mouth like flower
There goes a song comes from deep within
His feeling bout his murdered family
By a loyal army

……..

Lewat lirik-lirik lagu yang berjudul Eastern Man, Oscar Lolang mengadukan pengalaman pribadinya ketika melihat seorang pria berkaos merah menaiki panggung sebuah konser musik folk. Sembari memainkan alat musik Tifa, si pria menyanyikan lagu tentang kisah pilu di kampung halaman nun jauh di ujung timur, yaitu Papua. Kesedihan ketika harus ditinggal anggota keluarga yang terbunuh dan kehilangan rumah sebagai tempat tinggal. Sebuah kisah sendu yang tersurat merdu dalam sebuah karya seni musik.

Baik Oscar maupun musisi Papua dibalik isi lagu tersebut memiliki cara tersendiri untuk sekadar mencurahkan isi hati bahkan mengabadikan suatu peristiwa. Mereka adalah seniman, orang-orang yang lahir dari rahim kejujuran nurani dan besar bersama nada-nada. Kalau angka-angka dalam data bisa dimanipulasi, berita bisa dipalsukan, dan janji penguasa sering diingkari, tidak dengan seni. Prof. Drs. Suwaji Bastomi mendefinisikan seni sebagai kegiatan batin dengan pengalaman estetika yang dinyatakan dalam bentuk yang agung dan memiliki daya pembangkit rasa haru dan takjub.

Tidak mudah memang memiliki jiwa seni, bahkan hanya untuk memahami apa itu seni saja tidak semua orang mampu. Orang-orang Papua lahir bersama seni. Menabuh Tifa saat upacara adat, hingga kebiasaan meniup Pikon di waktu istirahat. Tidak hanya hidup berkesenian dalam musik, di Papua, bakat menari musti dimiliki oleh setiap orang asli Papua karena upacara adat notabene diiringi tarian-tarian adat. Seni pahat,dengan alat sederhana mereka mampu menghasilkan karya besar, rumit dan estetis. Patung-patung karya Suku Asmat misal, dengan sentuhan Wow Ipits (sebutan bagi pemahat patung) yang sudah turun menurun, bisa membawanya dikenal oleh dunia.

Pada 15 Oktober – 23 Oktober 2016 di Yogyakarta ada sebuah perhelatan pameran seni. Adalah Ignatius Dicky Takndare, putera kelahiran Sentani dan Albertho Wanma, putera kelahiran Biak, yang menjadi aktor seni dibalik pameran tersebut. Dua seniman asli Papua ini mampu membuktikan eksistensi masyarakat Papua melalui seni. Bukan tidak mungkin jika nama Papua akan semakin besar lewat seninya. Selama ini kita hanya dilemahkan oleh visi semu kemakmuran ekonomi melalui pembangunan, yang justru paling sering melupakan sisi konservasi.

Kekayaan alam Papua mungkin bisa dirampok oleh semua oknum tak bertanggungjawab. Hak asasi masyarakat Papua seringkali tidak dihargai oleh sistem yang tak pernah adil. Sekalipun Papua kaya dengan emas, masyarakat Papua masih bisa hidup tanpanya. Tidak dengan kesenian yang sudah menyatu dalam diri setiap orang Papua dan itu tidak bisa dicuri oleh siapapun. Masyarakat Papua sudah menghidupkan seni, maka seni juga akan menghidupi mereka.

Oleh:

Fajar Dwi Ariffandhi
(Anggota Bidang Lapangan TKP PPI Dunia)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini