Hampir Putus Sekolah, Mahasiswa Ini Melesat ke Konferensi Gelaran Harvard

Hampir Putus Sekolah, Mahasiswa Ini Melesat ke Konferensi Gelaran Harvard
info gambar utama

Angin dingin menyapa sesaat Yudi meninggalkan terminal kedatangan Bandara Internasional Logan. Sejenak mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, President University, Cikarang itu berhenti. Ia rasakan angin dingin Boston. Pandangannya merekam keseluruhan lansekap bandara dan lalu lalang penumpang yang dulu hanya ia temui di buku-buku. Akhirnya sampai juga kakinya menjejak tanah Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu peserta Harvard Project for Asian and International Relations (HPAIR) Conference, sebuah konferensi gelaran Harvard, kampus paling terkenal di dunia.

Bagi Yudi Ashari Putra, nama lengkap pria kelahiran Jakarta, 2 Juli 1994 itu, konferensi ini adalah batu pijakan penting menuju cita-citanya menjadi diplomat. Dalam konferensi pada 17-21 Februari 2017 itu berkumpul 300 delegasi terpilih dari 50 negara. Mereka terbagi dalam lima panel yang membicarakan lima topik super serius: masalah kemanusiaan, tata kelola dan diplomasi, teknologi dan kewirausahaan, lingkungan dan pembangunan berkesinambungan, serta kebijakan kesehatan dan sosial global.

“Saya masuk dalam Panel Kemanusiaan, panel yang merupakan pilihan pertama saya saat berkompetisi agar diundang ke dalam konferensi ini,” kata mahasiswa yang sedang menunggu sidang skripsi ini.

Kegiatan utama dalam konferensi ini adalah general lecture yang diisi para profesor dari Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) serta pembahasan studi kasus sesuai panel. Selain itu, seluruh peserta dari semua panel juga dikumpulkan dalam sejumlah guest lecture dengan pembicara tokoh-tokoh sekaliber Direktur Pelaksana United Nations International Children's Emergency Fund (Unicef) dan Direktur Pelaksana UN Women. Pada rangkaian konferensi sebelumnya, pengisi guest lecture termasuk Sekjen PBB Ban Ki-Moon, Sekjen ASEAN, dan pemimpin-pemimpin bisnis terkemuka dunia.

Menjadi bagian dari sebuah konferensibergengsi internasional di kampus Harvard, tidakpernah terpikirkan oleh Yudi. “Apalagi saya sempat hampir tidak bisa melanjutkan ke SMA karena ketiadaan biaya,” kata Yudi saat diwawancarai, Kamis (9/3/2017).

Yudi hanya “numpang” lahir di Jakarta.Masa kecil dan remajanya ia habiskan di Desa Sukajaya, Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. Di tempat inilah ibunya yang seorang buruh tani terus menerus memompakan semangat kepada Yudi yang memang rajin belajar. “Saya adalah langganan peserta cerdas cermat mewakili sekolah. Di SMP nilai-nilai saya selalu bagus. Karena itu saat ibu tidak memiliki cukup dana justru ketika waktu pendaftaran SMA menjelang berakhir, saya terpukul. Saya menangis,” kata bungsu dari 3 bersaudara ini.

Namun, keajaiban selalu datang kepada mereka yang punya harapan besar. Di hari terakhir pendaftaran, ayahnya yang bertahun-tahun tidak bertemu dengannya mengirimkan uang. Lima ratus ribu rupiah, cukup untuk membayar biaya pendaftaran, daftar ulang, dan membeli seragam. “Saya girang luar biasa. Jalan yang hampir tertutup tiba-tiba terbuka kembali,” ujarnya.

Yudi tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Tuhan. Masa SMA ia habiskan dengan nilai-nilai yang baik dan kemampuan Bahasa Inggris yang terus meningkat. Namun untuk menjadi besar biasanya seseorang ditempa dengan sejumlah kegagalan. Yudi mengalaminya. Ia gagal masuk ke Universitas Indonesia yang diincarnya. Yudi pun banting setir. Berbekal uang satu juta rupiah, ia memenuhi saran sepupunya untuk menjajal peruntungan di Cikarang. Sang sepupu yakin Yudi akan mendapatkan pekerjaan di kawasan industri Jababeka yang dipenuhi ribuan perusahaan domestik maupun asing.

Ternyata, melamar pekerjaan bukanlah urusan sederhana, apalagi mudah. Ditolak masuk pabrik oleh satpam pernah, dinyatakan gagal padahal nilai tesnya tertinggi juga pernah. Akhirnya ia menggunakan kartu terakhirnya: kemampuan berbahasa Inggris. “Saya melamar dan diterima bekerja di sebuah lembaga kursus di Cikarang. Saya jalani pekerjaan itu dengan sungguh-sungguh. Hasilnya, saya disukai oleh banyak peserta kursus dan dikirim oleh lembaga kursus saya untuk mengajar di sejumlah perusahaan,” kata Yudi. Saat itulah ia bertemu seorang mahasiswa President University yang juga menjadi instruktur Bahasa Inggris di sana. Keinginan Yudi untuk kuliah hidup lagi.

Pertanyaannya, dari mana ia akan mendapatkan uang untuk membiayai kuliahnya?

Ternyata, keajaiban kembali datang. Salah satu peserta kursus –seorang wiraswastawan-- terkesan dengan kemampuannya mengajar dan meyakini Yudi memiliki potensi yang sangat besar. Saat Yudi menceritakan keinginannya kuliah, dia mendukung sepenuhnya dan bersedia membiayai kuliah Yudi untuk setahun pertama.

“Sejak tahun kedua saya dibantu langsung oleh kampus. Saya diangkat menjadi salah satu staf administrasi kampus yang dibayar. Bayarannya cukup untuk membiayai kuliah dan biaya hidup saya, apalagi saya juga masih menjadi instruktur privat kursus Bahasa Inggris,” kata Yudi.

Di kampus ini bukan hanya kemampuan Bahasa Inggrisnya yang makin mengkilap karena dipakai dalam perkuliahan setiap hari, namun wawasannya pun makin luas. “Saya berteman dengan para mahasiswa asing di President University yang membuat saya menyadari perbedaan budaya, cara pandang dan sebagainya. Ini membantu sekali saat saya mengajukan usul, bahkan berdebat dalam Konferensi HPAIR di Boston itu,” lanjutnya.

Sumber: Siaran Pers President University

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini