Semangat Sebagai Perempuan Asli Yogyakarta Mendorongnya Menjadi Pengrajin Kulit

Semangat Sebagai Perempuan Asli Yogyakarta Mendorongnya Menjadi Pengrajin Kulit
info gambar utama

Yogyakarta dewasa ini dikenal sebagai lahan subur para pengrajin industri kreatif di Indonesia. Produksi kerajinan berbahan dasar raw material seperti kain, kulit dan sebagainya mulai marak di produksi.

Terinspirasi dari seorang teman yang sudah terlebih melakukan usaha pembuatan tas kulit, Ayu Ratna merasa tertarik untuk mencoba bisnis ini, meski tanpa modal dan pengetahuan yang cukup tentang kulit. Ia beranggapan bahwa apa yang orang lain bisa lakukan, tentu pula dapat ia lakukan. Lalu kenapa tidak ia mulai saja bisnisnya sendiri? Kepada Qlapa, Ayu menceritakan lebih dalam sepak terjang bisnisnya mendirikan Diby Leather.

Sebagai kota dengan jumlah pengrajin yang cukup besar, Yogyakarta memang tak pernah kehilangan daya tariknya. Produk seni buatan tangan dari kota ini bahkan sudah banyak yang sampai ke dunia internasional. Sebagai penduduk asli Yogyakarta, Ayu memiliki semangat juang yang sama. Ia beranggapan, persoalan memproduksi kerajinan apapun seharusnya bisa ia lakukan sendiri.

“Yogya ini pusatnya para pengrajin. Aku berpikir, kalau temanku bisa buat sendiri kenapa aku enggak? Akhirnya aku coba belajar cara pembuatan tentang produksi kulit itu sendiri. Mulai dari bahan, pengrajin yang bisa diajak kerjasama dan lain-lain,” tutur Ayu.

Tas kulit karya Diby Leather (Foto: Qlapa.com)
info gambar

Bermula pada tahun 2012, Ayu mempelajari banyak hal tentang industri yang digelutinya saat ini. Ia mengasah diri belajar teknik menjahit, membuat pola, hingga proses produksi. Sebagai entrepreneur, dari hal terkecil hingga terbesar dalam industrinya Ayu merasa harus menguasainya terlebih dahulu.

“Dulu modal awal itu gak terlalu banyak. Mungkin sekitar Rp30-an juta, itu juga sempat jual mobil hahahaha. Karena nekat aja, kita buat beli peralatan mesin jahit, mesin seset dan lain-lainnya. Karena modal kita terbatas, kita ngandalinnya sistem pre order dengan pembayaran di muka 50 %. Nanti bisa kita putar buat membeli bahan-bahan. Sekarang, Alhamdulillah kita sudah bisa stock,” tutur Ayu.

Setelah mempelajari teknik dasar, akhirnya Ayu memberanikan diri membeli beberapa mesin jahit untuk produksi. Ditemani suaminya, ia mendirikan Diby Leather. Sepintas jika kita membaca namanya terdengar lucu, Diby. Kamu ingin tahu apa arti di balik nama tersebut?

Ayu menjelaskan, “Aku punya 2 orang anak, yang pertama namanya Dinda dan yang kedua namanya Baby. Kedua nama itu yang aku gabung menjadi Diby,” akui Ayu.

Beberapa produk lain karya Diby Leather (Foto: Qlapa.com)
info gambar

Tak Ingin Gadaikan Kualitas

Persaingan tentu terjadi di mana pun. Dalam hal ini, Ayu yang bersaing dengan para pengrajin besar di Yogyakarta, mengaku persaingan ketat ini justru menambah semangatnya.

“Yogya itu pusat kerajinan ya, dan banyak juga yang produksi seperti kami. Persaingannya ketat. Dari harga sudah bersaing, brand apalagi, juga harga produksi semua sudah naik. Kita harus lebih kreatif dan inovatif lagi,” ungkap Ayu.

Meski banyak produk tas yang menawarkan harga murah, hal ini tak ingin dijadikannya sebagai srategi pemasaran. Diby Leather menurut Ayu, sangat mengutamakan kualitas dan juga bahan produksi. Bahan dasar kulit ia beli langsung dari salah satu pengrajin di Jawa Timur untuk di samak (proses pengolahan warna). Sang suami membantu menyamak kulit, dan Ayu mengolahnya menjadi produk Diby Leather seperti tas, dompet dan lain-lain. Hal ini ia akui sebagai satu langkah memangkas harga produksi, dibanding harus membeli kulit jadi dari pengrajin. Diby Leather memakai spesialisasi pull-up yang membuat produk lebih tahan lama.

“Kalau untuk kulitnya sendiri kita pakai yang sudah matang. Kita pakai spesialisasinya pull-up. Kalau kulit matang itu kan dipakai dalam jangka waktu yang lama lebih awet,” jelas Ayu

Dengan kualitas yang bisa diadu, Diby Leather membandrol produknya dengan harga yang cukup terjangkau untuk sebuah produk berbahan kulit. Tas kulit yang dihasilkan kini dipasarkan di beberapa marketplace, termasuk Qlapa. Untuk toko fisik Ayu mengaku belum memilikinya karena toko online menurutnya lebih efisien.

“Kita home industry, jadi kalau ada yang mau mesan, ke rumah aja juga bisa gitu hahaha,” canda Ayu.

Saat ini Diby Leather dihuni oleh 5 orang pengrajin, termasuk Ayu sendiri dan sang suami. Lebih dari 5 tahun berdiri, Ayu berharap produk yang ia hasilkan dapat merambah ke pasar ekspor dan dikenal di pasar internasional. “Kalau bisa enggak usah nunggu 5 tahun ke depan, harus bisa secepatnya,” tambah Ayu.

Diby Leather memiliki satu mimpi yang lebih besar, yakni menjadi brand yang mumpuni dan terkenal dengan produk mereka sendiri. Mengembangkan kerajinan asli Indonesia dari tangan pengrajin Indonesia.

“Kita juga mau kembangkan ke yang lain. Misalnya kain-kain tradisional padukan dengan kulit. Walaupun itu sudah ada, tapi kita mau punya konsep seperti itu,” tutup Ayu.

Artikel ini merupakan hasil kerja sama GNFI dengan Qlapa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini