Indonesia dan Anekdot yang Ketinggalan Jaman

Indonesia dan Anekdot yang Ketinggalan Jaman
info gambar utama

Ada sebuah anekdot yang dulu pernah cukup populer di internet, meskipun saya yakin awalnya anekdot ini berbahasa inggris, dan bukan ditujukan untuk Indonesia, tapi saya tertawa juga membacanya.

Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?"

"Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon.

Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang".

Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang. Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.

Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?" "O, itu," kata Tuhan, "Itu Indonesia. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni."

Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? " Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots I put in the government." (tunggu sampai Saya menaruh 'idiot2' di pemerintahannya).

Saya ceritakan mengenai anekdot tadi ke salah seorang teman saya yang sangat sering berkeliling ke wilayah Indonesia Barat, dan teman saya tersebut merespon dengan ketus dengan mengatakan “Anekdot yang ketinggalan jaman ”. Saya tidak mengerti dengan jelas apa maksud “ketinggalan jaman” versi teman saya tersebut. Namun secara umum, saya sependapat dengan Karim, teman saya tersebut, bahwa meski masih menyimpan segudang persoalan, mulai dari kapasitas, komitmen, dan persoalan-persoalan lain, pemerintah saat ini (termasuk yang di daerah) di’wajib’kan untuk kreatif dan bekerja keras agar daerahnya maju, lebih dari daerah lain, dan mendatangkan kemakmuran serta kebanggaan bagi masyarakat daerah setempat.


Saya pernah berkunjung dan berkeliling di propinsi termuda ke-dua di Indonesia, yakni propinsi Sulawesi Barat, dan saya menyempatkan diri bertemu dan berdialog dengan masyarakat umum, LSM, akademisi, dan pemerintah, untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh dari desentralisasi dan otonomi daerah.

Provinsi baru ini ternyata mempunyai keunggulan sumber daya alam kombinasi hasil perkebunan dan pertambangan (yang saat ini sedang dalam tahap eksplorasi), menurut salah seorang pegawai dinas perkebunan yang saya temui, Sulbar adalah propinsi penghasil Kakao terbesar di Indonesia, dan Indonesia sendiri adalah negara penghasil kakao terbesar ke-2 di dunia, setelah Ivory Coast (Pantai Gading), nomor tiganya adalah Ghana.

Selain itu, sejak beberapa tahun lalu, ada 11 ladang minyak lepas pantai Sulawesi Barat yang saat ini sedang dieksplorasi dan bahkan satu ladang minyak diketahui menyimpan cadangan yang besar, dan siap dieksploitasi tahun ini. Saya justru tahu semua informasi tersebut ketika sedang menyantap ikan bakar di tepi Teluk Mamuju, dan sang empunya informasi adalah seorang tukang ojek yang sehari-hari membaca koran.

Pantai Manakara, Mamuju, Sulawesi Barat | Youtube
info gambar

Memang, semua kegiatan-kegiatan tersebut diketahui oleh masyarakat luas melalui media massa, dan distribusi informasi juga melalui jalur pemerintah hingga yang paling bawah (RT). Hampir semua orang yang saya temui waktu itu mengungkapkan rasa optimismenya akan masa depan ekonomi Sulbar.

Saya juga sempat bertemu dengan Sekjen HIPMI yang kebetulan ‘berdarah’ Sulbar. Saya bertanya kepada beliau kenapa Sulbar ‘hanya’ mengekspor kakao mentahnya ke daerah lain, kenapa tidak dibangun sendiri. Dari beliaulah saya mendapatkan informasi, bahwa ada 2 hal yang menjadi perhatian pemerintah propinsi, yakni infrastuktur (jalan, pelabuhan laut, dan listrik), serta kualitas SDM. Masalah kurangnya kapasitas SDM, sementara ini bisa disiasati dengan membanjirkan SDM yang mempunyai pengalaman dan kapasitas dari propinsi lain, sedangkan masalah infrastruktur tentu harus tetap dibangun di propinsi Sulbar.

Teluk Mamuju | Skyscrapercity
info gambar

Satu-satunya alasan kenapa Sulbar tidak memproses kakao mentahnya menjadi barang jadi atau setengah jadi (nilai tambah bagi masyarakat akan semakin besar, dan lapangan kerja akan terbuka), adalah karena kurangnya ketersediaan listrik, pabrik pengolahan kakao membutuhkan daya listrik sangat besar.

Pemerintah pun menyiasatinya dengan mendatangkan investor luar negeri untuk membangun PLTA di Mamuju yang nantinya mampu memberikan 1800 MW listrik bagi provinsi tersebut. Mungkin kini PLTA itu sudah jadi.

Saya sendiri meyakini bahwa bila kebijakan dan kerja cepat seperti ini terus berlanjut, tidak mustahil Sulawesi Barat akan menjadi provinsi paling makmur, dengan pendapatan perkapita masyarakat yang tinggi, dan jalan ke arah itu sebenarnya sudah terbentuk karena ekonomi provinsi Sulbar tumbuh di atas pertumbuhan nasional.

“Tapi, kan otonomi dan desentralisasi menciptakan raja-raja kecil di daerah, dan rawan penyelewengan?” seorang mahasiswa bertanya pada saya berkunjung ke kampusnya.

Saya tidak mempunyai jawaban yang memuaskan tentang hal tersebut, namun bagi saya, yang namanya penyelewengan, korupsi, dan semacamnya, tidak berhubungan dengan otonomi daerah dan desentralisasi, mereka marak kalau penegakan hukum tidak tegas.

Saya bertemu dengan seorang aktifis LSM di Mamuju, dan tak disangka, LSM ini (beserta organisasi-organisasi lain dan masyarakat) diminta oleh pemerintah untuk memonitor penyusunan anggaran, penyerapan, dan pelaksanaannya, sesuatu yang pada masa lalu tak pernah terbayangkan.

Saya juga mendengar bahwa di daerah-daerah lain, mereka berlomba untuk menunjukkan transparansi anggaran mereka mulai dari penyusunan draft, hingga pelaksanaannya, mulai dari menyebarkannya melalui media massa, bahkan hingga membagikan brosur-brosur draft anggaran di perempatan-perempatan jalan.

Lagi-lagi, hal ini dulunya tak pernah terbayangkan. Saya setuju, masih banyak yang harus dibenahi dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, namun bukan berarti kita berjalan di tempat, kita sedang tertatih-tatih berjalan…namun dengan langkah pasti.

Dan saya setuju dengan Karim bahwa anekdot di awal tulisan ini, sudah ketinggalan jaman.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini