Kepingan Catatan Kuno tentang Letusan Dahsyat Gunung Tambora

Kepingan Catatan Kuno tentang Letusan Dahsyat Gunung Tambora
info gambar utama

Hari ini, 202 tahun yang lalu terjadi sebuah peristiwa hebat sepanjang sejarah kehidupan modern di Bumi yang telah mengubah dunia. Tak bisa kita lupakan memang tentang meletusnya Gunung Tambora di Dompu, Nusa Tenggara Barat yang begitu menggetarkan dan menggemparkan dunia.

Salah satu bagian cerita tentang akibat letusan Gunung Tambora yang paling tenar adalah soal terjadinya sebuah "tahun tanpa musim panas" di daratan Eropa dan Amerika Utara. Asap tebal Tambora telah menggelapi Bumi. Pada suatu waktu yang seharusnya menjadi musim panas yang hangat di sana, ternyata membuat masyarakat Eropa harus lebih bersabar menghadapi musim dingin yang lebih lama. Hujan dan salju kerap turun di sana. Namun, tidak ada seorangpun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dan nun jauh 15 ribu kilometer ke arah timur dari daratan Eropa sana, tepatnya pada 10 April 1815 ternyata Gunung Tambora yang kokoh berdiri di Nusa Tenggara Barat, Indonesia itu meletus hebat. Di samping cerita tentang apa yang terjadi di Eropa akibat letusan dahsyat ini, di Nusantara ternyata ada cerita yang lebih menarik. Apa yang terjadi ini ternyata ditulis dengan jelas dalam naskah kuno Kerajaan Bima berjudul Bo Sangaji Kai.

Naskah Bo Sangaji Kai (foto: detikcom/ Nur Khafifah)
info gambar

Dilansir dari detik.com, beberapa hari sebelum letusan hebat itu terjadi, Raja Tambora mengirim seorang utusan ke Bima untuk mencari tahu apa yang terjadi karena saat itu Gunung Tambora sepertinya sedang tidak tenang.

"Karena sudah beberapa hari, ada bunyi di dalam gunung, ada letusan. Orang-orang ketakutan, ada apa ini. Raja kirim utusan ke Bima untuk selidiki," ucap putri Sultan Bima-Sultan Muhammad Salahuddin, Siti Maryam Salahuddin ketika membacakan kisah sebelum Gunung Tambora meletus.

Saat itu daerah sekitar Gunung Tambora mengalami goncangan hebat yang juga terasa hingga ke Kota Bima. Ada sebuah catatan menarik tentang letusan Gunung Tambora ini yang tertulis dalam naskah kuno tersebut. Dituliskan di sana:

Maka gelap berbalik lagi lebih dari pada malam itu, maka berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang, kemudian maka turunlah krisik batu dan habu seperti dituang lamanya tiga hari dua malam.
Putri sultan Bima yang akrab disapa Ina Kau Mary membacakan naskah kuno Kerajaan Bima (foto: BBC)
info gambar

Suramnya letusan Gunung Tambora juga diabadikan oleh Thomas Stamfford Raffles yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dalam memoarnya The History of Java. Ia menuliskan dengan detail bagaimana detik-detik letusan hebat itu.

Awalnya, di Yogyakarta terdengar bunyi-bunyi dentuman seperti meriam yang ditembakkan. Demi berjaga-jaga, sebuah pasukan pun dikirim ke Yogyakarta. Lalu pada tanggal 6 April terjadi hujan abu dan keadaan menjadi agak gelap, tidak seperti biasanya.

"Letusan pertama Gunung Tambora terdengar pada 5 April 1815 di Pulau Jawa (Jakarta), terdengar selama 15 menit dan berlangsung sampai keesokan harinya, seperti meriam," demikian Raffles menulis dalam catatannya.

(Baca juga: Apa Hubungan Letusan Tambora, Cerita Frankenstein dan Penemuan Sepeda?)

Kala itu juga Belanda sudah mulai menduduki kawasan Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan artikel BBC yang menulis tentang penelusuran jejak letusan Gunung Tambora, menuliskan bahwa Letnan Owen Philips selaku utusan Raffles mengungkapkan kala itu Raja Sanggar dari Kerajaan Sanggar Nusa Tenggara Barat masih hidup dan menjadi saksi peristiwa tersebut. Katanya, "Sekitar pukul tujuh malam tanggal 10 April terlihat tiga bola api besar keluar dari Gunung Tomboro. Kemudian tiga bola api itu bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat."

Lukisan karya J.M.W Turner yang menggambarkan suramnya musim panas di Inggris
info gambar

Kemudian, Letnan Phillips melanjutkan laporannya setelah terjadinya letusan Tambora. Dalam pandangan matanya, sebagian besar Kerajaan Sanggar yang berada di kaki Gunung Tambora turut hancur.

“Bencana terbesar yang dialami penduduk sangat mengerikan untuk dikisahkan. Mayat-mayat masih bergelimpangan di tepi jalan dan di beberapa perkampungan tersapu bersih, rumah rumah hancur, penduduk yang masih hidup menderita kelaparan,” tulis Phillips.

Ya, letusan itu telah membumihanguskan Kerajaan Tambora dan Kerajaan Papekat. Keduanya lenyap dari muka bumi akibat banjir lahar dan timbunan batu pasir dari letusan sang gunung. Letusan ini juga menyebabkan terjadinya tsunami.

Merujuk pada catatan-catatan ilmiah, letusan Tambora ini tercatat berada di skala tuujh pada skala Volcanic Explosivity Index yang mengeluarkan material vulkanik sebesar 160 kilometer kubik. Tinggi asap letusannya mencapai 40 kilometer hingga menembus batas stratosfer, tempat terjadinya cuaca. Hal ini membuat Bumi menjadi gelap karena minimnya cahaya matahari yang mampu menembus atmosfer. Terlebih, suara letusannya terdengar hingga sejauh 2.600 kilometer dan debu asapnya menutupi Bumi hingga sejauh 1.300 kilometer.

Akibat letusan hebat ini, kawasan Indonesia khususnya di Pulau Tambora dan Pulau Bali banyak mengalami gagal panen dan menyebabkan sebanyak hampir 100 ribu jiwa meninggal di sekitar Pulau Sumbawa. Beberapa ada yang terkena dampak langsung dari letusan Tambora, sebagian lainnya meninggal karena kelaparan.


Sumber : diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini