Bagaimana Turki Utsmani Dekat dengan Aceh di Masa Lampau?

Bagaimana Turki Utsmani Dekat dengan Aceh di Masa Lampau?
info gambar utama

Pada tahun 2014, sebagian besar masyarakat Indonesia disuguhkan dengan sejumlah tayangan sinetron dari Turki oleh salah satu stasiun televisi swasta. Salah satunya adalah sinetron berjudul “Abad Kejayaan” (atau Muhtesem Yüzyil dalam bahasa Turki). Sinetron tersebut mengisahkan tentang kehidupan Sultan Suleiman I, pemimpin Kesultanan Utsmani (Ottoman Empire).

Setidaknya, di dalam sinetron tersebut tergambar bagaimana Kesultanan Utsmani pada masa jayanya. Menjadi negara besar yang berpengaruh di Eropa, memiliki kekuatan militer yang tangguh, dan jangan lupakan meriam raksasa yang menjadi momok bagi bangsa Eropa pada saat itu.

Namun hanya sebagian orang yang tahu bahwa pada zaman dahulu, Kesultanan Turki Utsmani pernah menjalin hubungan diplomatik dengan salah satu kerajaan di Nusantara. Turki ikut bersaing dengan negara-negara Eropa lainnya dalam perdagangan rempah-rempah.

Tokoh Sultan Suleiman I dalam sebuah sinetron dari Turki. Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Suleiman I pernah menerima utusan dari Kesultanan Aceh Darussalam ©
Tokoh Sultan Suleiman I yang diperankan dalam sebuah sinetron dari Turki. Berdasarkan catatan sejarah, Sultan Suleiman I pernah menerima utusan dari Kesultanan Aceh Darussalam © CTQuân / CC BY-SA 4.0 (via Wikimedia Commons)

Riwayat Hubungan Aceh-Utsmani

Kesultanan Aceh Darussalam tercatat pernah memiliki hubungan yang dekat dengan Kesultanan Utsmani. Ismail Hakki Göksoy di dalam artikelnya berjudul “Ottoman-Aceh relations as documented in Turkish sources” menjelaskan hubungan antara dua kesultanan tersebut berdasarkan arsip dokumen-dokumen resmi Kesultanan Utsmani.

Kesultanan Aceh Darussalam mulai berdiri sejak abad ke-16 dengan Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan pertamanya. Pada saat itu, Aceh merupakan kerajaan yang berpengaruh di kawasan Sumatera. Kesultanan Aceh Darussalam menjadi ekspansif pada era kepemimpinan Sultan Alauddin al-Kahhar. Untuk memperluas kekuasaan dan meningkatkan perekonomiannya, Aceh berambisi untuk menguasai Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan rempah-rempah internasional. Untuk itu, Aceh harus bersaing dengan Kesultanan Johor dan Portugis yang menguasai Malaka.

Wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16 ©
info gambar

Terdapat berbagai motif yang mendasari perselisihan antara Kesultanan Aceh dengan Portugis. Tidak hanya perkara politis, persaingan ekonomi hingga agama menjadi motif yang menggambarkan hubungan antara Aceh dan Portugis. Tidak hanya menguasai Malaka, Samudera Hindia pada saat itu didominasi oleh armada laut Portugis. Kapal-kapal dagang dari Aceh yang berlayar menuju Timur Tengah (dan sebaliknya) menjadi sasaran serangan kapal-kapal perang Portugis.

Merasa dirugikan dengan manuver Portugis, Aceh kemudian mengirimkan utusan ke Turki, meminta bantuan militer. Tercatat pada tahun 1547, di era Sultan Suleiman I, Duta Besar Aceh mendatangi Istanbul. Utusan dari Aceh tersebut meminta bantuan militer berupa armada laut serta meriam untuk menghadapi Portugis. Permohonan tersebut dikabulkan oleh Sultan Suleiman I yang merasa bertanggungjawab melindungi kapal-kapal muslim dari serangan Portugis.

Sejak saat itulah, korespondensi antara Aceh dengan Turki pada abad ke-16 mulai intensif dan berlanjut di era pemerintahan Sultan Selim II. Sama seperti pendahulunya, Sultan Selim II juga memberikan bantuan militer berupa kapal, pasukan artileri, dan persenjataan lainnya yang dibutuhkan Aceh untuk menyerang Portugis. Untuk itu, Turki mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Kurtoglu Hizir Reis ke Aceh. Meskipun kemudian ekspedisi tersebut dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman. Namun persenjataan dan teknisi militer Turki berhasil tiba di Aceh.

Sultan Selim II ©
info gambar

Berdasarkan catatan Portugis pada tahun 1582, setiap tahun Aceh mengirimkan utusan beserta sejumlah hadiah seperti emas, batu mulia, rempah-rempah, dan parfum kepada sultan Utsmani. Selain itu, Aceh juga membangun perdagangan rempah-rempah ke Timur Tengah. Sebagai balasannya, Turki memberikan bantuan militer berupa persenjataan, ahli militer, serta perlindungan untuk Aceh. Hubungan tersebut kemudian menjadikan Aceh sebagai wilayah protektorat Kesultanan Utsmani hingga abad ke-18.

Surat yang ditulis oleh Sultan Selim II untuk Sultan Alauddin al-Kahhar. Surat tersebut tertanggal 16 Rabiul Awwal 975 H (20 September 1567) ©
info gambar

Menjadi bagian dari imperium Kesultanan Utsmani, Kesultanan Aceh Darussalam kemudian menjadi negara dengan kekuatan militer yang diperhitungkan di kawasan Sumatera dan Malaka. Beberapa kali Aceh mampu mengalahkan Portugis dalam berbagai pertempuran. Selain itu, kapal-kapal Aceh diizinkan menggunakan bendera Turki.

Lebih lanjut, bendera Kesultanan Aceh Darussalam berwarna merah dengan bulan sabit, bintang, dan pedang berwarna putih, menyerupai bendera Kesultanan Utsmani. Salah satu peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam, Meriam Lada Secupak, merupakan salah satu meriam pemberian dari Turki.

Meriam Lada Secupak, pemberian Utsmani untuk Aceh. Hingga kini meriam tersebut masih tersimpan di Belanda ©
info gambar

Sejumlah meriam Turki milik Aceh yang dilucuti oleh Belanda pada tahun 1874 ©
info gambar

Sumber: Buku "Mapping the Acehnese Past".

Atribusi gambar utama: Keradjeun Atjeh Darussalam / CC BY-SA 3.0 (via Wikimedia Commons)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini