Hal-hal Menarik yang Cuma Bisa Kamu Dapatkan di Bioskop Tempo Doeloe

Hal-hal Menarik yang Cuma Bisa Kamu Dapatkan di Bioskop Tempo Doeloe
info gambar utama

Familiar dengan istilah “misbar” alias gerimis bubar? Istilah tersebut biasanya sangat lekat dengan situasi menonton layar tancap dan bioskop tempo dulu. Keadaan di mana kumpulan penonton langsung bubar jalan saat hujan turun sambil berseru “Misbar.. misbarr!! Gerimis bubaaaarr…!”

Namun tentu saja, lain dulu lain sekarang. Saat ini, pertimbangan dalam menonton film bagi banyak orang (selain tentu genre film itu sendiri) adalah kenyamanan ruang bioskop. Termasuk di dalamnya kursi yang empuk, sound atau pengeras suara yang tidak lebay, dan posisi bangku yang dipesan saat film diputar.

Taruh karcis nonton kawan sejenak. Mari kita naik mesin waktu dan manjajal bioskop tempo dulu.

Tahun 1900, Hindia baru saja berkenalan dengan ‘gambar idoep’ dan sistem bioskop—baik yang di dalam ruangan atau model layar tancap. Sebuah perkenalan istimewa mengingat jarak waktu masuknya film dan sistem bioskop dari salah satu tempat asalnya, Paris ke Hindia Belanda hanya membutuhkan waktu lima tahun.

Poster Charlie Chaplin di Hindia Belanda
info gambar

Bioskop pertama yang tercatat sejarah adalah milik seorang Belanda bernama Talbot. Jangan bayangkan di dalamnya ada bangku bernomor, AC, dan layar yang bersih. Bioskop yang ‘dibangun’ di lapangan Gambir tersebut didesain oleh pemiliknya menyerupai bangsal: berdinding gedek, beratap seng, dan setelah pertunjukan selesai, biasanya kemudian bioskop itu dibawa keliling kampung. Beberapa bioskop, salah satunya bioskop de Callone yang berlokasi di sekitar masjid Istiqlal menerapkan sistem misbar.

salah satu bukti menjamurnya bioskop, di Magelang. Foto milik phesolo files.wordpress.com
info gambar

Mengenai harganya, bioskop yang bersistem misbar ini mematok harga karcis yang jauh lebih murah. Persebaran bioskop misbar di Batavia ialah di daerah Mangga Besar, Beos (Kota), los pasar, dan Tanah Abang. Selain tempat, harga karcis saat itu juga ditentukan pada kualitas proyektor dan—tentu saja—sistem kelas.

Tidak semua bioskop yang menjamur saat itu bersistem misbar, ada pula bioskop yang menyewa gedung khusus, seperti misalnya milik bioskop Kebondjae. Bioskop Kebondjae merupakan bioskop pertama yang menyewa tempat khusus bagi penonton untuk menonton filmnya. Kebanyakan bioskop yang muncul pada tahun 1900-an awal masih menyewa tempat atau menerapkan sistem misbar sehingga seringkali berpindah-pindah. Tercatat baru pada tahun 1920, gedung bioskop permanen tercipta.

Dari Musik Live sampai Pedagang Kaki Lima

Jika kawan menonton film di bioskop saat ini, yang biasanya diberikan oleh pihak bioskop sebagai tanda masuk hanyalah secarik karcis. Namun zaman dahulu, sebelum film dimulai, calon penonton juga dibekali oleh libretto : secarik kertas yang berisi ringkasan cerita film yang akan diputar. Hal tersebut dikarenakan film yang diputar pada saat itu merupakan film bisu. Jangan khawatir bagi penonton yang tidak bisa membaca, karena sebelum pertunjukan dimulai akan ada seseorang yang membacakan libretto tersebut di depan layar.

Salah satu situasi interior bioscoop kelas satu
info gambar

Menariknya lagi, berhubung film yang diputar adalah film tanpa suara, maka pihak bioskop juga menyertakan orkes musik yang berdiri di samping layar proyektor. Jika film beradegan sendu maka musik yang dimainkan pun sedih, jika adegan film action, maka tempo musik yang dimainkan menjadi keras dan cepat. Namun satu hal yang lucu adalah terkadang musik dan film tidak berjalan sinkron, seperti kesaksian seorang penonton dalam buku A to Z about Indonesian Film-nya Ekky Imanjaya:

“Hanya saja semangat musik sering tidak seiring dengan semangat adegan di layar… Adegan percintaan sering diiringi dengan wals The Blue Danube..”

Selain diiklankan lewat surat kabar, film yang diputar di bioskop juga dipromosikan lewat delman atau sado. Poster-poster tersebut ditempelkan dibagian belakang delman sambil diarak keliling kota. Mereka, para Pak Kusir pun berlomba-lomba membunyikan loncengnya di depan bioskop, untuk menarik perhatian para pengguna jalan.

Juliana, salah satu bioskop tahun 1925
info gambar

Satu lagi yang unik adalah jika saat ini film dikategorikan lewat usia, bioskop tempo dulu tidak memiliki aturan usia seperti “untuk 13/17 tahun ke atas”, sehingga banyak anak-anak kecil yang ikut nonton bersama orang tuanya.

Saat nonton film di zaman millennium ini, kebanyakan penonton akan merasa terganggu jika ada orang yang bersliweran di tengah berlangsungnya film. Namun jika kawan berniat nonton bioskop tempo dulu lewat mesin waktu, maka jangan harap suasana tenang akan kawan dapatkan di tengah film berlangsung. Karena saat film diputar, seringkali banyak pedagang asongan yang masuk bahkan sebelum film selesai, sambil berteriak

“Kwaci… Palamanis... Kacang arab..!!”

Jadi bagaimana, kawan GNFI? Tertarik naik mesin waktu dan menonton film di bioskop tempo dulu?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini