Perjuangan dan Titik Menyerah Kartini dalam Carik-carik Kertas

Perjuangan dan Titik Menyerah Kartini dalam Carik-carik Kertas
info gambar utama

Memperingati hari kelahiran ibu kita Kartini tak semestinya hanya dengan sebatas mengenakan pakaian kebaya (bagi perempuan) dan upacara di sekolah. Lebih dari itu, kesempatan ini tentu harus dimanfaatkan dengan merenung dan bercermin terhadap apa yang telah dilakukan oleh Kartini selama hidupnya.

Kita semua sudah hafal bahwa Kartini adalah seorang perempuan pejuang hak perempuan. Di usianya yang masih sangat belia, usia 12 tahun, ia sudah punya pemikiran amat luas. Berbeda dengan apa yang terjadi dengan kawan-kawan perempuan sepantarannya waktu itu. Usai tamat sekolah dari Europese Lagere School (ELS), Kartini sudah direncanakan oleh orang tuanya untuk dikawinkan. Tapi, bagi Kartini, perempuan yang juga manusia, tidak seharusnya 'dihentikan' kehidupannya melalui pernikahan. Perempuan juga harus boleh menuntut ilmu ke jenjang yang lebih tinggi. Bahwa tanggung jawab perempuan tidak cuma buat dapur dan laki-laki.

Kartini memang jauh lebih beruntung dibandingkan kawan-kawan perempuan sepantaran lainnya kala itu lantaran ia adalah puteri bangsawan sehingga mendapatkan hak untuk belajar, sama seperti hak kaum laki-laki. Ia pun punya cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke Belanda, namun keinginannya itu segera ditolak oleh keluarganya. Sejak saat itulah, kegelisahan Kartini untuk belajar terus menggebu-gebu.

Potret Kartini bersama para siswanya
info gambar

Mengutip dari Kompas, sejarawan Universitas Monash Dr Joost Cote (1995) menulis, korespondensi Kartini dengan sahabat penanya asal Belanda bermula berkat bimbingan Marie Ovink-Soer, istri dari seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah. Ovink-Soer memperkenalkan Kartini pada jurnal De Hollandsche Lelie, sebuah jurnal feminisme. Dari jurnal ini kemudian Kartini menyampaikan dirinya mencari sahabat pena asal Belanda untuk bertukar pikiran.

Seorang pegawai pos di Belanda bernama Estella Seehandelar pun menanggapi surat Kartini tersebut yang kemudian keduanya berlanjut saling bersurat. Dalam surat balasannya kepada Stella, panggilan akrab pegawai pos tersebut, tanggal 25 Mei 1899, Kartini menuliskan:

"Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang 'gadis modern', yang berani, yang mandiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan langkah cepat, tegap, riang, dan gembira, penuh semangat dan keceriaan."

"Gadis yang selalu bekerja tidak hanya untuk kebahagiaan dirinya saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia."

Beberapa surat Kartini kepada sahabat penanya di Belanda dibukukan pertama kali dalma bahasa Belanda
info gambar

Semakin lama Kartini terhubung dengan semakin banyak sahabat pena di Belanda. Di antaranya adalah Nyonya RM Abendanon-Mandri, Tuan Prof. Dr. GK Anton dan nyonya, Hilda G de Booij, serta Nyonya van Kol. Dalam surat-suratnya kepada para sahabat pena tersebut, Kartini tak henti menuangkan gagasan pemikirannya terhadap apa yang terjadi di negerinya. Harapannya sederhana, yakni agar ia mendapatkan bantuan dari luar untuk mewujudkan cita-citanya memajukan perempuan pribumi menjadi perempuan modern seperti mereka yang berada di Eropa.

Surat-surat Kartini berhasil dikumpulkan oleh seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda Jacques Henrij Abendanon. Pada tahun 1911 ia membukukan surat-surat tersebut dengan judul Door Duisternis tot Licht atau Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Ya, JH Abendanon kala itu melihat betul bagaimana perjuangan Kartini dalam surat-suratnya untuk menyalakan api, memberikan cahaya bagi demi bangsa yang merdeka dan maju.

Tuan van Kol merupakan salah satu sahabat pena Kartini
info gambar

Tempo menuliskan beberapa potongan surat-surat Kartini yang amat inspiratif dan menyentuh.

“Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata 'Emansipasi' belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup didalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” (Suratnya kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899)
“Kami berikhtiar supaya kami teguh sungguh, sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan lebih sempurna pula.” (Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902)
“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa behagia baginya.”(Suratnya kepada Nyonya Van Kool, Agustus 1901)
“Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.”(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini.”(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Peduli apa aku dengan segala tata cara itu ... Segala peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja. Kau tidak dapat membayangkan bagaimana rumitnya etiket di dunia keningratan Jawa itu ... Tapi sekarang mulai dengan aku, antara kami (Kartini, Roekmini, dan Kardinah) tidak ada tata cara lagi. Perasaan kami sendiri yang akan menentukan sampai batas-batas mana cara liberal itu boleh dijalankan.(Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899)
Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa.(Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899)
Bolehlah, negeri Belanda merasa berbahagia, memiliki tenaga-tenaga ahli, yang amat bersungguh mencurahkan seluruh akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini anak-anak Belanda lebih beruntung dari pada anak-anak Jawa, yang telah memilki buku selain buku pelajaran sekolah.(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902)
Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih.(Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900)
Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni.”(Surat kepada Ny Abendanon dari Kartini, 14 Desember 1902)

Kartini dan titik menyerahnya

Kartini dan suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
info gambar

Dari potongan surat itu kita bisa melihat bagaimana pemikiran hebat Kartini untuk kaum perempuan, terutama perempuan Jawa yang ia impikan menjadi perempuan yang maju seperti perempuan-perempuan di Eropa. Kartini dengan tegas pula menyampaikan keinginan dirinya untuk melanjutkan studi ke Belanda, seperti suratnya kepada Nyonya Ovink-Soer pada tahun 1900 itu. Namun, harapan itu harus pupus karena larangan dari orang tuanya. Demi mengubur kesedihannya, ayahnya pun mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi.

Sayang sekali niat itu harus pupus lagi. Tepatnya pada tahun 1903 ketika usianya menginjak 24 tahun ia dilamar oleh bupati Rembang. Ya, Kartini akan menikah. Sejak saat itu, Kartini memutuskan menanggalkan ego dan niatnya untuk belajar ke jenjang yang lebih tinggi. Hal itu disampaikannya kepada Nyonya Abendanon.

"... Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi karena saya sudah akan kawin..."

Demikian tulisnya.

Setelah dirinya menikah, Kartini dianggap lebih toleran dengan adat istiadat Jawa. Pun ia lebih bisa menerima bahwa pernikahan tidak serta merta menghentikan kehidupan perempuan. Justru baginya, pernikahan dapat memberikan keuntungan agar ia dapat mewujudkan impiannya mendirikan sekolah khusus bagi perempuan pribumi. Beruntungnya, suami Kartini mendukung gerakannya ini.

Namun, ide dan pemikiran Kartini yang amat maju pada zamannya waktu itu jelas sekali tidak disukai oleh Belanda. Dari kisah-kisah yang ada, yang kita tahu adalah Kartini meninggal usai melahirkan puteranya, Soesalit Djojoadhiningrat di usia yang masih sangat muda, 25 tahun. Meninggalnya Kartini tentu saja mengejutkan banyak orang. Sitisoemantri dalam bukunya berjudul Kartini, sebuah Biografi menuliskan bahwa Kartini mungkin meninggal akibat permainan jahat dari Belanda.

Kartini melahirkan dengan dibantu oleh dokter van Ravesten. Empat hari pascamelahirkan Kartini masih baik-baik saja, demikian keterangan dari van Ravesten ketika menengoknya. Kemudian keduanya menyempatkan minum anggur sebagai tanda perpisahan. Usai minum itulah Kartini langsung sakit dan kehilangan kesadaran. Namun, keluarga Kartini memilih menerima wafatnya dengan lapang dada bahwa ini semua memang sudah takdir. Dan apakah benar Kartini meninggal lantaran dibunuh, wallahualam.

Ya, boleh saja sampai sekarang kita kerap menemukan penolakan gelar pahlawan bangsa kepada Kartini sebab selama hidupnya tidak ada karya nyata nan besar yang diciptakannya. Banyak yang bilang semestinya pejuang emansipasi wanita itu adalah Dewi Sartika. Namun, sejatinya sejarah itu tidak bisa dipotong-potong. Yang harus kita tahu adalah, di tahun-tahun terakhir hidup Kartini, perjuangan Dewi Sartika sedang dimulai.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)


Sumber: diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini