Menjadikan Pantun Sebagai Warisan Dunia

Menjadikan Pantun Sebagai Warisan Dunia
info gambar utama

kalau ada sumur di ladang

bolehlah saya menumpang mandi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Kawan pasti hafal betul dengan bait pantun tersebut. Itu adalah salah satu bait pantun yang terkenal dan hampir semua orang tahu. Bagi masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di Sumatera pantun sudah menjadi sebuah budaya. Di setiap perhelatan pernikahan, upacara adat, penobatan sultan, bahkan ketika berladang. Nah, sebagai sebuah budaya yang unik, kini Indonesia tengah berjuang mendaftarkan pantung sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia ke UNESCO pada akhir Maret lalu.

Pantun diketahui sudah dikenal sejak abad ke-15 Masehi. Menurut asal-usul sebutannya, pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "penuntun". Memang sejak pertama dikenal, pantun digunakan sebagai petunjuk dan tuntunan dengan menggunakan bahasa yang teratur dan terikat. Dulu, pantun punya peran sosial sebagai alat penyampai pesan sehingga kita mengenal bahwa pantun itu seringkali digunakan dengan cara berbalas-balasan.

Kalau kita cermati, pantun memang punya keunikan yang khas. Menurut pakar budaya pun pantun menunjukkan bahwa kala itu peradaban masyarakat Melayu sudah maju. Keunikannya terlihat dalam sajak berima a-b-a-b yang terbagi atas sampiran pada dua baris pertama dan isi pada dua baris terakhir.

Namun, menurut Pudentia MPSS selaku ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), sebagaimana ditulis CNN Indonesia, menuturkan bahwa sebenarnya perangkaian sampiran tidak dibuat secara sembarangan. Semua itu berakar dari pengetahuan.

“Dalam sampiran itu tersimpan segala pengetahuan tentang Melayu yang memperlihatkan kecerdasan luar biasa berekspresi melalui bahasa, biasanya menggabungkan ekologi lingkungan,” kata Pudentia dilansir oleh CNN Indonesia.

Hal ini, menurut Pudentia menjadi salah satu sarana untuk mengasah kecerdasan dan perasaan yang menunjukkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Tak hanya itu, salah satu sastrawan puisi kita Sutardji Calzoum Bachri dalam bukunya yang berjudul Isyarat: Kumpulan Esai juga menuliskan bahwa sampiran kalau dilihat dari kandungan kalimatnya memang tidak masuk akal karena esensi dan eksistensi sampiran adalah pada jumlah bunyi dan bunyi terakhir yang sama dengan jumlah sukukata. Sutadji menegaskan dalam esainya itu, dalam sampiran orang bisa melahirkan semacam the otherness of language.

Budaya pantun juga sudah tersebar ke berbagai kawasan, tak hanya di Indonesia. Beberapa negara serumpun seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, bahkan Madagaskar juga punya budaya pantun seperti ini. Pudentia menjelaskan, penelitian menunjukkan pantun telah digunakan dalam 35 bahasa dengan berbagai ketentuan.

"Temuan ini juga khas, saya kira tidak ada yang seunik pantun," ujar Pudentia.

Pantun pun dilakukan di berbagai kegiatan masyarakat Melayu, dalam upacara pernikahan misalnya (foto: thebridedetpt.com)
info gambar

Tak hanya Indonesia, beberapa negara tetangga kita yang serumpun juga tengah berjuang menjadikan pantun sebagai warisan budaya tak benda UNESCO. Mereka adalah Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Tidak bisa dipungkiri memang bahwa pantun bukan hanya punya Indonesia karena budaya pantun sudah tersebar luas di empat negara tersebut.

Menurut Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Wilayah Kepulauan Riau Toto Sucipto, budaya pantun tidak menjadi kebudayaan yang saling diperebutkan antarnegara. "Dilihat dari pengusungnya, maka kemungkinan empat negara ini bisa dikatakan sebagai pemilik pantun. Tidak ada klaim antar negara," ucap Toto seperti ditulis tempo.co.

Sementara itu, dari keempat negara, Indonesia dan Malaysia yang kini tengah bersama mengajukan pantun sebagai warisan budaya takbenda dunia ke UNESCO pada 31 Maret lalu. Saat ini UNESCO masih menyeleksi dan menilai dossier atau dokumen yang diajukan oleh Indonesia dan Malaysia. Menurut Kasubdit Warisan Takbenda Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Lien Dwiari, pantun nantinya diajukan sebagai 'multinational nomination' karena negara yang mengajukan pantun tidak hanya Indonesia.

Lien juga menegaskan, kalau nanti sudah ditetapkan oleh UNESCO, maka akan menambah jumlah warisan budaya Indonesia namun menjadi tantangan juga bagi kita semua untuk menjaga dan melestarikan pantun.

"Karena kalau sudah ditetapkan oleh UNESCO, mereka akan melakukan pemantauan empat tahun sekali. Hal itu akan mendorong kita semua menjaga dan melestarikan pantun," pungkas Lien sebagaimana ditulis suara.com.


Sumber: diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini