Membacalah Biar Tidak Marah-marah

Membacalah Biar Tidak Marah-marah
info gambar utama

Barang apa yang dibawa oleh Bung Hatta selama dirinya menjalani masa-masa pembuangan oleh Belanda? Bukan berkoper-koper baju maupun berkarung-karung makanan melainkan 16 peti berisi buku! Ya, peti-peti ini konon menurut cerita anak angkat Bung Hatta, Des Alwi selalu dibawa sejak Bung di Belanda, lalu pulang ke Jakarta, diangkut lagi ke Bove Digul hingga ketika ia dibuang ke Banda Neira dan kembali ke Jakarta.

Kita mengenal tokoh bangsa satu ini adalah Si Kutu Buku. Buku adalah sahabat terdekatnya sejak kecil. Tak heran jadinya kalau beliau menjadi salah satu sosok penting dalam pendirian bangsa ini, bersanding dengan pasangan Proklamatornya, Soekarno.

Bukan cuma Bung Hatta, para pendiri bangsa ini semuanya adalah pembaca buku yang ulung. Beruntungnya kita, ketika zaman kolonial Belanda masyarakat pribumi tidak dilarang-dilarang banget untuk membaca buku. Yah, walaupun memang yang membaca buku kala itu kebanyakan adalah kalangan pribumi atas. Hal ini akhirnya yang diperjuangkan oleh Ki Hadjar Dewantara untuk memberikan kesempatan bagi semua masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu. Membaca.

Lalu sekarang di masa yang sudah sangat memudahkan kita untuk belajar dan membaca buku, kita malah sibuk dengan perdebatan-perdebatan kopong. Hal ini menyebabkan banyak dari kita yang terpapar informasi-informasi bohong karena malas membaca. Saya paham, kita semua sudah jengah bukan dengan maraknya berita-berita hoax yang tersebar di media daring? Sedihnya, ternyata banyak juga yang percaya dengan berita itu. Menurut Kepala Editor Trans Media Titin Rosmasari seperti ditulis tirto.id, rendahnya budaya literasi Indonesia menjadi salah satu faktor masyarakat mempercayai berita palsu.

"Hoax juga marak karena budaya baca menurun dan masyarakatnya aktif memegang gawai," kata dia saat menjadi pembicara di World Press Freedom Day, Jakarta, seperti dikutip Antara, Senin (1/5/2017).

Mengapa ini terjadi? Harus diakui memang, didikan literasi kita saat ini berbeda dengan yang zaman dulu.

Dulu pada masa pendudukan Belanda, para pelajar di Algemene Middlebare School (AMS), waktu itu setara dengan Sekolah Menengah Umum (SMU), diwajibkan membaca buku paling tidak 20-25 judul karya sastra selama tiga tahun masa studi. Ketika sudah selesai membaca biasanya para pelajar ditugaskan menulis karangan juga setiap minggunya. Produk didikan ini di antaranya termasuk Bung Hatta, Bung Karno, dan Ali Sastroamidjoyo.

Pola didikan seperti ini terus berlanjut, setidaknya sampai pada masa orang tua saya sekolah, sekitar tahun 60-70an. Bapak dan ibu saya seringkali bercerita, dulu waktu sekolah mereka wajib membaca buku-buku sastra seperti karangan Pramoedya Anantatoer, Buya Hamka, N.H Dini, Ahmad Tohari, hingga Marah Rusli. Waktu saya SMA, saya teringat dengan cerita bapak dan ibu lalu membandingkan dengan apa yang saya alami di sekolah. Sepertinya sekolah pada masa bapak dan ibu seru sekali, tugasnya cuma membaca buku novel sedangkan saya waktu itu melulu dicekoki dengan buku-buku teori yang bahkan tidak setiap hari dibaca.

Membuat anak jadi cinta baca buku itu wajib hukumnya. Manfaatkan perpustakaan keliling, misalnya, agar anak semakin semangat untuk membaca
info gambar

Memang, pola pendidikan kita sekarang berbeda jauh, apalagi dalam hal didikan kebiasaan membaca buku. Sastrawan Taufik Ismail pernah melakukan riset tentang kewajiban membaca buku sastra bagi siswa di beberapa negara. Wah, hasil risetnya luar biasa mencengangkan. Di sana disebutkan, para pelajar SMA di Jerman wajib membaca 32 buku sastra, pelajar Belanda 30 buku, pelajar Amerika Serikat 25 buku, pelajar di Jepang 12 buku, pelajar Singapura 6 buku, pelajar Malaysia 6 buku, dan Indonesia? Nol buku.

Maka hasil riset yang dilakukan oleh UNESCO tahun 2012 juga tidaklah bohong, bahwa indeks membaca masyarakat Indonesia adalah 0,001 persen yang artinya dari 1000 orang, hanya 1 orang yang membaca buku.

Mengapa buku yang wajib dibaca adalah buku sastra? Karena sastra adalah jenis bacaan paling mudah dan ringan untuk melatih otak kita memahami berbagai hal. Lewat cerita sastra kita membaca alur, membaca karakter tokoh, membaca suasana, hingga mengolah rasa. Otak juga berusaha membuat gambar-gambar seru dalam imajinasi lewat kisah yang kita baca. Maka seharusnya tiada salah kalau para pelajar kita membaca novel. Janganlah menghakimi membaca novel sama dengan tidak belajar, sesungguhnya itu adalah tuduhan yang jahat.

Membaca sastra tentu juga melatih logika berpikir kita. Dari sini nanti otak akan terlatih untuk menangkap informasi dan pernyataan-pernyataan yang logis. Dan poin plusnya, kita mendapatkan pengetahuan baru dengan cara yang asyik yang mungkin bahkan tidak dibahas sama sekali di buku pelajaran sekolah.

Membaca biar tak marah-marah

Kalau berselancar di media sosial, kita memang mendapatkan banyak sekali informasi. Namun, tak jarang informasi-informasi itu malah membuat kita emosi apalagi kalau membaca komentar-komentar para netizen. Rasanya hanya ingin ber-istighfar. Fenomena ini pun membuahkan pertanyaan baru lagi, kenapa, sih orang-orang di media sosial suka marah-marah mengomentari sebuah artikel?

Kebanyakan dari para komentator itu menganggap argumennya adalah yang paling benar, di sinilah lantas terpantik api-api perdebatan yang tak berbuntut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebiasaan membaca itu. Orang yang mahir membaca tentu bisa berargumen dengan baik karena otaknya sudah terlatih untuk menyusun logika dan dasar-dasar argumennya. Maka, membaca membuatnya jadi tidak mudah marah-marah.

Beruntungnya kita saat ini punya masyarakat usia produktif dalam jumlah besar. Mereka sering kita sebut dengan generasi Milenial. Berdasarkan penelitian, generasi Milenial cenderung memprioritaskan pendidikan sebelum karir dan urusan keluarga. Bagi mereka, penting untuk memiliki bekal pendidikan agar kelak anak-anak mereka juga menjadi insan yang berkualitas. Mereka yang berpendidikan tinggi tentu merupakan pembaca yang baik.

Kabar menggembirakannya lagi, anak-anak muda kita saling bahu membahu meningkatkan budaya literasi kepada masyarakat dengan menggelar perpustakaan gratis. Konsepnya pun macam-macam. Ada yang perpustakaan keliling, perpustakaan di kapal, perpustakaan di masjid, perpustakaan sepeda, dan sebagainya. Segala cara dari yang aneh sampai nyeleneh dilakukan demi menanamkan hobi baru pada masyarakat, khususnya adik-adik usia sekolah, yakni membaca buku.

Membaca di perpustakaan Perahu Pustaka juga menyenangkan. Perahu Pustaka melayarkan buih-buih cinta baca buku pada anak negeri hingga di pelosok samudera
info gambar

Kita harus selalu ingat bahwa bangsa ini berhasil terbentuk karena para pendirinya banyak membaca. Pemerhati pendidikan Indy Hardono dengan tegas memotivasi kita semua melalui tulisannya di Kompas.com bahwa bangsa yang membaca adalah bangsa yang memiliki kepekaan dan kesadaran. Bangsa yang membaca tidak mudah menyebar hoax ke berbagai media sosial, tidak membuang waktu berdebat untuk hal yang tidak jelas dasarnya.

Satu hal lagi yang perlu kita pahami, membaca tidak membelenggu pikiran kita. Justru membaca adalah sebuah kebebasan. Kartini membebaskan pikirannya ketika masa pingit dengan membaca buku, begitu pun dengan Bung Hatta yang hanya ingin bertemankan buku ketika dalam pengasingan. Kata beliau, "Aku rela di penjara, asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”

Sekarang.

Hari ini. Di hari pendidikan nasional, kita harus sama-sama punya satu visi, yakni memajukan budaya literasi di tengah masyarakat. Tak hanya demi kemajuan bangsa, tapi demi moral yang lebih santun, sabar, dan tidak gampang marah-marah. Membudayakan membaca juga menjadi bentuk terima kasih kita kepada Ki Hadjar Dewantara yang telah gigih memperjuangkan pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.


**

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini