Soewardi Soerjaningrat dan Esai yang Membakar Pembesar Kolonial

Soewardi Soerjaningrat dan Esai yang Membakar Pembesar Kolonial
info gambar utama

Sejak merdeka, bangsa kita menggambarkannya sebagai sosok tenang dan bijaksana. Dibungkus dalam tubuh kurus berkacamata serta tak ketinggalan kopiah hitam yang tercantol di kepala, Ia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan pencetus ‘Tut Wuri Handayani’: Ki Hajar Dewantara.

Namun di balik wajah kalem tersebut tak banyak generasi milenial yang tahu bahwa ia ‘liar’ pada masa mudanya. Liar yang membuat pemerintah kolonial kalang kabut mengerem gerak radikalnya.

Liar Menghadapi Kolonial

Ia lahir pada hari ini 128 tahun lalu, tepatnya 2 Mei 1889 di sebelah Timur pura Pakualaman Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Kerabat dekatnya mengenang Soewardi kecil sebagai anak yang baik hati sekaligus pemarah, karenanya sering terlibat perkelahian—terutama dengan anak-anak Belanda. Bahkan kisah romansa pertemuannya dengan Soetartinah sang istri pun dimulai dari perkelahian, sebuah cara yang tak biasa.

Ki Hajar Dewantara dan istri
info gambar

Soetartinah ingat sekali, waktu itu sepulang sekolah ia diganggu oleh Karel, anak Belanda yang sering memancing pertengkaran. Karena tak ingin menuai keributan lebih jauh, Soetartinah hanya diam. Namun hal tersebut dilihat oleh Soewardi dan kawan-kawannya. Tak terima, mereka segera menghadang di tikungan jalan, dan segera setelah berhadapan dengan gerombolan Karel, keduanya saling mengumpat dan mencaci. Perkelahian tak dapat dihindarkan lagi.

Benih sifat pemberontaknya makin terlihat ketika ia memilih berkecimpung aktif di dunia jurnalistik, setelah ia diberhentikan dari STOVIA karena jumlah absen sakitnya yang tak memungkinkan. Ia bergabung menjadi koresponden tetap di De Expres, satu surat kabar di Bandung pimpinan Douwes Dekker dan menulis artikel pertama berjudul “Kemerdekaan Indonesia”. Sebuah tulisan berisi ajakan semangat melepaskan diri dari penjajahan tanpa memandang suku dan ras.

tokoh Tiga Serangkai, (dari kiri ke kanan: Soewardi Soerjoningrat, E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo) / (dok/berdikarionline)
info gambar

Setelahnya, Soewardi semakin tajam mengeritik pemerintah kolonial lewat tulisannya di berbagai surat kabar. Tercatat ia juga menulis untuk majalah Hindia Poetra pada 1919 dengan semangat ke-indonesiaan yang masih sama. Aktivis itu menyatakan: “… orang Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina, Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya”

Namun dari semua tulisannya, ada satu tulisan yang tak mungkin dilupakan kolonial saat itu. Satu tulisan yang membuat hampir seluruh warga kulit putih di tanah Hindia kebakaran jenggot dengan judul cetak besar: Als ik eens Nederlander was. Andaikata aku seorang Belanda.

penampakan surat kabar De Expres yang diredakturi oleh E.F.E Douwes Dekker
info gambar

Soewardi Muda: “Andaikata aku seorang Belanda..—untung saja bukan”

Tulisan yang membuat pemerintah marah besar itu ditulis saat usia Soewardi masih 24 tahun. Ia menulis sebagai reaksi atas rencana para pembesar kolonial yang akan mengadakan perayaan besar-besaran genap 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari penjajahan Perancis, yang rencananya akan diadakan pada 15 November 1913. Ironisnya, pesta besar itu akan digelar di Hindia Belanda, negeri yang posisinya masih dijajah oleh Belanda sendiri. Lebih parahnya lagi, rakyat secara paksa dipungut bayaran untuk membiayai pesta besar tersebut.

Bentuk kemarahan Soewardi ini dicetak sebanyak 5000 eksempelar dalam bentuk brosur, lengkap dengan dua bahasa: Melayu dan Belanda. Corak tulisannya sarkas dan tajam. Ia menyatakan dalam brosurnya, bahwa seandainya ia seorang Belanda, ia akan memprotes gagasan peringatan itu. Ia akan mencegah semua orang Belanda yang menghina rakyat Hindia yang udah banyak memberikan keuntungan bagi Belanda. Soewardi ingin memaki dan mengusir masyarakat Belanda yang berkuasa di tanah air ini, tapi ia tak punya kuasa. Karena ia bukan seorang Belanda. Dengan sarkas ia menulis:

tulisan Soewardi yang mengguncang pembesar kolonial dalam bahasa Melayu
info gambar

“Kalau saya orang Belanda, sakarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah. Saya akan menasehati sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan…”

“.. Tetapi saya ini bukan orang Belanda. Saya cuma putera negeri tropika yang berkulit warna sawo, seorang bumiputera jajahan Belanda ini. Dan karena itu saya tidak akan protes,”

Soewardi bilang, jika ia seorang Belanda, ia tidak akan merayakan pesta kemerdekaan dalam negara yang sedang dalam penjajahan. Apalagi memaksa golongan terjajah untuk memberi uang derma bagi keperluan pesta tersebut. Dengan tajam ia menutup tulisannya:

“Tidak, sekali-kali tidak. Kalau saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu disini dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri!”

Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara

Inilah awal dari kehebohan di Hindia Belanda yang menyeret namanya, berekor panjang, dan berlarut-larut di pengadilan hingga berujung pada penangkapan dan pembuangannya di negeri Belanda. Dalam perjalanannya menuju pengasingan, di atas kapal Bulow di Teluk Benggala, ia menulis seruan kepada teman-temannya di Hindia Belanda agar tetap waspada dan tetap meneruskan perjuangan untuk menolak adanya perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda di tanah air sendiri.

“Bolehkah perayaan itu diteruskan? Tidak, bilanglah tidak, wahai Inlanders!”

Selepasnya dari pembuangan, ia bertekad untuk tetap berjuang bagi bangsanya lewat pendidikan, dengan mendirikan sekolah di luar persetujuan kolonial, Taman Siswa. Sekolah yang tidak menyekat siswanya berdasarkan ras dan kedudukan, bersifat universal, dengan asas kebangsaan.

tiga semboyan pendidikan Ki Hajar Dewantara (dok/anonim)
info gambar

Judul sarkas tulisannya Andaikata aku seorang Belanda justru menunjukkan Soewardi bersyukur bahwa dia tidak dilahirkan sebagai seorang Belanda. Ia yang kemudian lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, di usianya yang masih 24 tahun, sudah menulis pembelaan atas kesewenang-wenangan pemerintah asing terhadap bangsanya sendiri. Hal tersebut kiranya dapat menjadi contoh bagi generasi milenial, sang pemegang tongkat estafet penerus bangsa untuk dapat berjuang bagi kebaikan Indonesia, lewat caranya masing-masing.

Ki Hajar Dewantara, terima kasih sudah bangga menjadi bumiputera dan berjuang tidak henti bagi Indonesia. Semoga semangatmu terus menyebar di anak-anak bangsa.


(diolah dari berbagai sumber)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini