Apresiasi bagi Mereka yang Menyebar Buku dari Gunung Slamet Hingga Papua

Apresiasi bagi Mereka yang Menyebar Buku dari Gunung Slamet Hingga Papua
info gambar utama

Banyak cara untuk berbakti pada negeri jika benar-benar diikuti dengan tekad yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Misbach Subakti, seorang guru Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Manokwari Papua. Misbach diketahui keluar masuk kampung di daearah Manokwari membawa buku untuk dibagikan ke para siswa. Ia membagikan inspirasinya saat pertemuan pegiat literasi di Instana Negara atas undangan Presiden Jokowi, Selasa (2/5) lalu.

pertemuan Presiden Jokowi dengan para penggiat literasi di Istana Negara
info gambar

Misbach menuturkan bahwa sebelum bergerak keluar masuk kampung, ia lebih dulu menampung buku-buku koleksinya sendiri maupun yang terkumpul dari relawan penyumbang buku, baru kemudian mendatangi anak-anak di pedalaman Manokwari. Ia menjawab rasa penasaran Jokowi mengenai proses distribusi buku-buku tersebut.

“Di kampung kami masyarakat desa, ada namanya Parapara. Jadi Parapara di situ tempat anak-anak bisa bermain tanpa masuk ke teras rumah, tanpa takut dengan teras kotor. Jadi para relawan datang mendekati anak-anak yang sedang bermain di Parapara,” ujar Misbach.

Rupanya Misbach tidak sendirian dalam menjalankan gerakannya. Ia mengajak guru-guru yang memiliki pandangan dan visi yang sama dengannya untuk intervensi ke tengah masyarakat dengan pendekatan budaya. Inisiatif mulia Misbach ini diawali dari kesadaran ia akan rendahnya daya membaca dan menghitung siswa baru tiap tahunnya yang hanya mencapai 10 sampai 11 persen. Hal itulah yang mendorongnya untuk bergerak melayani anak-anak pedalaman Papua untuk bisa membaca dan menulis.

Jika dilihat dari cara kerjanya, pada dasarnya gerakan literasi Misbach ini hampir mirip dengan perpustakaan keliling, hanya saja lebih dekat dan personal karena para agen literasi benar-benar mendatangi tempat bermain anak dan mengajak mereka membaca di tempat yang tidak asing bagi anak-anak itu sendiri. Dan rupanya Misbach memiliki alasan sendiri mengapa ia harus sampai mendekati anak-anak di tempat bermain mereka.

moda angkutan perpustakaan keliling para pegiat literasi
info gambar

“Jadi dengan begitu anak tidak kaku harus membaca buku. Kalau ke perpustakaan anak-anak merasa asing, takut lantai kotor, buku rusak, sehingga mereka menjauh karena merasa perpustakaan bukan milik mereka,” ucap Misbach seperti yang dilansir dari baranews.co

Dikutip dari situs resmi kantor staff kepresidenan Indonesia, disebutkan bahwa dalam menjalankan misinya Misbach menggunakan berbagai moda angkutan mulai dari noken (kantung) dan motor, perahu, hingga kuda. Hingga saat ini ‘perpustakaan kelilingnya’ memiliki sekitar 3.000 koleksi buku dan telah melayani 5 distrik atau kecamatan dengan berbagai moda angkutan.

ilustrasi para pegiat literasi moda angkutan lain
info gambar

Selain Misbach terdapat pula pegiat literasi lain yang menjalani misi tak kalah mulia, ia adalah Ridwan Sururi, seorang penggiat literasi dari Jawa Tengah tepatnya Gunung Slamet. Masih dilansir dari sumber yang sama, dikatakan bahwa Ridwan menggunakan kuda untuk menanjak rute yang dilalui. Dari penjelasannya, saat ini terdapat 5 kuda, namun kuda-kuda tersebut hanya titipan. Yang dapat digunakan untuk operasional hanya tiga kuda.

“Kalau pagi saya mengurus kuda dan ngarit (merumput). Siangnya baru ngiter kampung dan ke tempat pengajian anak-anak,” jelas Ridwan yang saat ini perpustakaan kelilingnya memiliki 150-200 buku.

Tantangan dan Masa Depan Literasi

Angka rendahnya aktivitas literasi Indonesia beberapa tahun belakangan ini memang cukup mengkhawatirkan, itu sebabnya belakangan diketahui instansi pemerintah terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan banyak berupaya mengejar ketertinggal tersebut. Salah satunya ialah dengan mengundang para pegiat literasi ke Istana Negara bertepatan pada Hari Pendidikan Nasional kemarin.

Dihimpun dari berbagai sumber, dunia literasi Indonesia memiliki beberapa tantangan terkait usaha memajukan tingkat membaca masarakat. Diantaranya ialah rendahnya kesadaran dari para pembuat kebijakan untuk serius membangun budaya literasi, persepsi masyarakat terhadap perpustakaan yang masih asing, dan mahalnya buku—sehingga beberapa kalangan masyarakat masih menganggap buku merupakan barang mewah.

ilustrasi perpustakaan di State Library Victoria, Australia (dok/plimbi.com)
info gambar

Perpustakaan sebagai ‘rumah utama’ bagi aktivitas literasi sudah sepatutnya dibuat hangat dan nyaman, sehingga pengunjung tidak enggan untuk kembali membaca. Selama ini kebanyakan masyarakat berpikir bahwa perpustakaan adalah tempat yang jenuh, membosankan, lengkap dengan buku-buku berdebu tak terawat. Jangan lupa pula persepsi mereka terhadap pustakawan yang tua, galak, berkacamata tebal, dan terus-terusan memasang wajah masam.

Sudah saatnya perpustakaan besar berbenah dan berkaca dari perpustakaan-perpustakaan komunitas yang—meski kecil—namun nyaman, asik, dan dikelola oleh generasi muda yang melek literasi. Perlu diketahui, beberapa tahun ini semakin banyak perpustakaan komunitas yang muncul di berbagai kota besar, seperti perpustakaan Kineruku di Bandung, C2O Library and Workspace di Surabaya, hingga Kata Kerja di Makassar.

penampakan perpustakaan asik di Bandung, Kineruku. (dok/sebandung.com)
info gambar

Namun kabar baiknya, hari-hari ini pemerintah terlihat serius menghadapi persolan rendahnya budaya membaca, sehingga mengadakan pertemuan seperti yang dilaksankan pada 2 Mei kemarin. Dari pertemuan tersebut, Presiden Jokowi mengapresiasi tinggi usaha para penggiat literasi daerah seperti Misbach dan Ridwan dengan memberikan buku secara cuma-cuma.

“Ini sebuah gerakan yang menurut saya bagus sekali, tidak disentuh oleh pemerintah, tetapi mereka bergerak sendiri, oleh sebab itu tadi saya sudah menyampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saya perintah agar di setiap titik itu dikirim minimal 10 ribu buku,” ucap Jokowi.

Selain itu, Jokowi juga menginstruksikan pada menteri BUMN dan Kantor Pos agar mengadakan pengiriman buku gratis yang bekerjasama dengan satu hari setiap bulannya. Hal tersebut dilakukan karena ternyata ongkos kirim yang sangat mahal jika dilakukan pengiriman ke daerah-daerah yang jauh seperti di perbatasan, gunung, sampai tepi pantai. Sehingga nantinya pengiriman buku antar perpustakaan lebih mudah dan tidak terbebani oleh biaya.

“Ini saya kira menjadi sebuah perjuangan yang harus diangkat sehingga tidak hanya seribu, tetapi bisa nanti berlipat-lipat sehingga anak-anak kita nanti betul-betul memiliki sebuah kesempatan membaca..” pungkas Jokowi.


(diolah dari berbagai sumber)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini