Belajar Semangat dari Stephanie Handojo

Belajar Semangat dari Stephanie Handojo
info gambar utama

Semua orang itu akan selalu bisa menggapai impiannya bila ia mau berjuang dan mendobrak segala stigma yang ada di masyarakat. Setiap orang memang punya keterbatasan, tapi hal itu tidak sepatutnya menjadi alasan untuk berhenti bergerak. Pelajaran seperti ini bisa kita dapatkan dari Stephanie Handojo, salah satu anak bangsa yang punya segudang prestasi di bidang olah raga.

Stephani begitu spesial karena ia terlahir tidak seperti anak-anak pada umumnya. Sejak kecil ia sudah menyandang down syndrome, namun apa yang dialaminya tidak lantas membuat gadis berusia 24 tahun ini minder untuk berprestasi. Tak hanya di kancah nasional, nama Stephanie juga sudah tercatat rapi di kejuaraan-kejuaraan olah raga internasional. Maka tak ragu-ragu, The Jakarta Post menyebutnya dengan "the wonder kid".

Tahun 2011 Stephanie menjadi peraih medali emas cabang olahraga renang di Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani untuk nomor 50 meter gaya dada. Ajang ini merupakan pesta olah raga bagi anak-anak berkebutuhan khusus dari seluruh dunia.

"Dia menjadi inspirasi bagi teman-temannya di Indonesia karena berhasil memecahkan rekor. Sebelumnya Indonesia belum pernah menang di kompetisi itu, tapi setelah Fani berhasil menang, banyak temannya yang ingin menyamai langkah Fani," ujar ibunda Stephanie, Maria Yustina Tjandrasari berdasarkan wawancaranya dengan The Jakarta Post tahun 2012 silam.

Stephanie menjadi pemenang dalam Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani (foto: republika.co.id)
info gambar

Kemudian tahun 2012 Stephanie menjadi wakil Indonesia sebagai pembawa obor Olimpiade London. Fani, panggilan akrabnya terpilih dari 12 juta kandidat dari seluruh dunia untuk membawa obor. Berkat serentetan prestasinya di bidang olahraga, Fani pun berhasil terbang ke Nottingham, London dan berlari membawa obor olimpiade bersama 20 anak lainnya. Pun Fani menjadi anak penyandang tunagrahita pertama yang menjadi pembawa obor di pesta olahraga terbesar di dunia itu.

"Saya senang dan bangga bisa menjadi wakil Indonesia di sana," kata Fani.

Selain di bidang olahraga, Fani juga pernah mencatatkan namanya di Rekor MURI pada tahun 2009 lantaran memainkan 22 lagu dengan piano tanpa henti. Prestasi-prestasi tersebut pun telah mengantarkan Fani berjumpa dengan sejumlah figur publik seperti David Beckham ketika di Olimpiade London 2012, Presiden Susili Bambang Yudhoyono, serta Presiden Joko Widodo.

Prestasi-prestasi Stephanie membuatnya bisa bertemu dengan sejumlah orang penting (foto: dokumen pribadi)
info gambar

Ibu yang Tangguh

Fani menunjukkan pada kita bahwa seorang penyandang tunagrahita pun bisa menjalani hidup layaknya kehidupan yang normal. Meski begitu, di balik prestasi yang ditorehkan Fani tentu ada perjuangan keras terutama dari orang tua Fani. Yustina sebagai ibunda Fani menjadi sosok penting bagi perkembangan putrinya itu.

"Berat membesarkan anak dengan kebutuhan khusus seperti Stephanie. Tantangan terbesar justru komentar dan terkadang cibiran dari masyarakat," kisah Yustina dilansir Kompas.com.

Sejak awal mengetahui putrinya mengalami down syndrome, Yustina justru bersemangat untuk membesarkan Fani dan memberikan yang terbaik untuknya. Yustina terus mendukung dan memberikan tantangan bagi Fani.

"Saya pernah membaca buku tentang down syndrome. Di sana dituliskan bahwa anak dengan down syndrome harus diberikan stimulasi sedini mungkin, jadi saya memilih renang dan musik karena keduanya sangat baik untuk menstimulasi pikiran dan tubuh," kata Yustina.

Bagi Yustina, membesarkan Fani tidaklah mudah karena banyaknya komentar orang lain, namun Yustina tidak patah semangat
info gambar

Lanjutnya, anak-anak seperti Fani harus terus dilatih untuk beraktivitas mulai dari hal-hal kecil. Soal makan, misalnya, Yustina mengajari Fani berulang kali untuk memegang sendok dan memasukkan makanan ke dalam mulut.

"Fani sendiri adalah anak yang teguh. Ia punya semangat yang tinggi dan selalu senang untuk belajar," tambah Yustina.

Yustina yang memutuskan keluar dari pekerjaannya dan memilih fokus membesarkan Fani telah membuat sejulah program spesial dengan tujuan spesifik untuk Fani. Dengan sabar Yustina mengawal perkembangan Fani dan melihat linimasa perkembangannya itu, Fani tumbuh lebih cepat. Pada usia 1,5 tahun, Fani sudah bisa berjalan dan di usia 5 tahun ia sudah mampu membaca. Dua hal ini merupakan capaian yang luar biasa bagi anak-anak dengan down syndrome.

Bagaimanapun, Yustina berusaha mendukung Fani untuk menjalani hidup normal seperti orang-orang. Fani sendiri memiliki impian untuk menjadi seorang chef. Dan setelah lulus dari SMK Pariwisata pada tahun 2012 lalu, Fani menjalankan bisnis laundry bersama dengan ibunya.

Yustina berharap, dengan mengajarkan Fani berbagai keterampilan, putrinya itu bisa menjadi pribadi yang mandiri di masa depannya. Melihat segala capaian yang sudah diraih Fani, tentu masa depan yang cerah sudah menanti menyambutnya.


Sumber: The Jakarta Post | Kompas.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini