Masjid menjadi simbol penting dalam kebudayaan Jawa. Konsep tata ruang kerajaan Jawa yang menganut "catur gatra tunggal", selalu menempatkan masjid sebagai satu dari empat wahana ruang yang menandai sebuah pemerintahan.
Keempat ruang tersebut adalah kraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai pusat kegiatan warga, masjid besar sebagai pusat ibadah, dan pasar besar sebagai pusat perekonomian. Konsep ini juga diadopsi Keraton Yogyakarta.
Sebagai pusat kerajaan, tak heran jika Masjid Gedhe Kauman menjadi masjid yang paling dikenal publik. Meski demikian, dalam kawasan Kraton Yogyakarta terdapat sejumlah masjid lain yang diperuntukkan bagi beragam kalangan. Ada masjid yang khusus dibangun untuk prajurit, ada pula masjid untuk tempat ibadah keluarga kraton.
Sejumlah masjid kini masih berfungsi sebagaimana mestinya, dengan kondisi bangunan yang tetap terawat. Meski tak lagi diperuntukkan sesuai strata sosial masyarakat sebagaimana di masa lalu, masjid-masjid ini kini dapat digunakan oleh masyarakat dari kalangan apapun.
Mengunjungi masjid ini satu per satu, akan mengingatkan kita betapa kuat peran Islam dalam kehidupan masyarakat dan kerajaan Yogyakarta. Masjid-masjid kuno yang sebagian besar telah terdaftar sebagai bangunan cagar budaya (BCB) ini, miliki arsitektur bangunan unik yang sarat makna.
Berikut adalah daftar dari sebagian masjid tua di lingkungan Kraton Yogyakarta. Daftar ini mungkin bisa menjadi alternatif wisata, sambil menunggu waktu berbuka puasa.

1. Panepen (1327)
Merupakan masjid di dalam lingkungan inti kraton. Ukurannya yang hanya mampu menampung 60 orang ini, sesuai namanya menjadi tempat menepi atau berdiam diri Sultan Yogyakarta. Di masjid ini pula dilaksanakan akad pernikahan maupun sembahyang mayit keluarga kraton.

2. Selo (1709)
Masjid yang terletak di Sawojajar, Kampung Panembahan ini, dibangun bersamaan dengan istana air Tamansari. Bagian atap memiliki persamaan dengan Tamansari, yaitu adanya ukiran. Meski di jaman itu belum ada semen, tembok bangunan masjid masih kokoh hingga hari ini. Rahasianya pada campuran air kelapa, yang mampu keraskan cor. Sebelum tahun 1962, bangunan ini tidak diperuntukkan sebagai masjid melainkan gudang penyimpanan keranda dan tombak.

3. Gedhe Kauman (1773)
Ini merupakan masjid besar yang menjadi salah satu unsur Catur Gatra Tunggal dalam tata kota kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid ini dikelola oleh warga kaum, para ulama yang tinggal di sekitar masjid. Berbagai ritual keagamaan kraton diselenggarakan di masjid ini, hingga sekarang.

4. Rotowijayan (1832)
Posisinya tepat di depan gerbang utama pintu masuk wisata Kraton Yogyakarta. Masjid yang terletak di bagian barat keben kraton ini, juga dikenal dengan sebutan Masjid Keben.

5. Margoyuwono (1943)
Awalnya merupakan langgar kampung. Ketika semakin ramai, seorang pengusaha batik memperluasnya menjadi masjid. Saat Yogya menjadi ibukota RI, banyak pejabat negara yang shalat di sini. Masjid yang terletak di Jalan Langenastran Lor ini memiliki lengkungan berbentuk atap tumpang, dengan lantai berupa tegel kembang.

6. Soko Tunggal (1973)
Terletak di belakang gerbang utama pemandian kraton Tamansari, kawasan Jeron Beteng. Dinamai Soko Tunggal sesuai artinya: disokong satu tiang. Masjid ini memang berdiri hanya pada satu tiang peyangga utama (saka guru), berbeda dengan bangunan Jawa lain yang biasanya disangga dengan minimal empat saka.

7. Condrokiranan
Masjid ini terletak di lingkungan Dalem Condrokiranan, yang kini menjadi Museum Sonobudoyo Unit II. Dulunya, ndalem ini merupakan tempat tinggal AKGP Aryo Mataram sebelum menjadi HB III. Sayangnya, fasad bangunan ini tak lagi menyisakan ciri bangunan asli, semua sudah dipugar. Tak ada keterangan pasti kapan masjid ini dibangun.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News