Sebuah Cerita Anak Negeri

Sebuah Cerita Anak Negeri
info gambar utama

Dalam beberapa bulan yang lalu di tahun 2017 ini, saya terlibat dalam sebuah kolaborasi pendidikan untuk anak-anak di LPKA Sukamiskin di Bandung. LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) dahulu disebut Lembaga Pemasyarakatan Anak menjadi tempat bergiat bersama komunitas-komunitas yang peduli pendidikan. Di LPKA ini kegiatan Cerita Anak Negeri memulai gerakannya.

Adalah shoutcap dan Maman Suherman yang pertamakali menginisiasi gerakan literasi di LPKA ini. Shoutcap sebagai inisiator yang kemudian membuka kolaborasi dengan lembaga-lembaga dan perorangan untuk saling memberikan kontribusi dalam program literasi di LPKA ini. Sebut saja WEWO (Weekend Workshop), GSSI, Comicrewyuk, dan Komunitas Blogger dari Bandung (bukan Blogger Bandung) bergantian memberikan materi di LPKA. Kegiatan dikemas menjadi dua yaitu kelas menulis dan kelas gambar. Kelas menulis dilaksanakan setiap hari Senin dan kelas gambar dilaksanakan setiap hari Kamis.

Kegiatan yang menjadi ekstrakulikuler ini dimulai pukul 13.00 sampai 14.30. Anak-anak LPKA begitu antusias mengikuti kegiatan ini. Sebut saja Robi (bukan nama sebenarnya) ia mengaku "Saya senang mengikuti kegiatan ini karena bisa belajar banyak hal". Selain Robi ada juga Guntara (bukan nama sebenarnya) yang selalu menantikan hari Senin dan hari Kamis. Guntara sesekali menggunakan waktunya untuk bercerita kesehariannya di LPKA. Ia mengatakan "banyak waktu yang terbuang jika saya tidak ikutan kegiatan ini, kak".

Kelas menulis misalnya, diakui banyak anak-anak LPKA terbukti mampu membuat mereka menuliskan ide-ide, kisah pribadi, bahkan tak sedikit yang menuliskan curahan hatinya terutama kerinduan mereka kepada ibu.

Kerinduan kepada ibu menjadi topik yang banyak diangkat oleh anak-anak binaan LPKA Sukamiskin ini. Mereka seolah menantikan kasih sayang ibu. Kehadiran mentor dan fasilitator yang bergiat sedikit banyak memberikan angin segar. Walaupun tidak menjadi ibunya, tetapi kerinduan itu minimal terbayar oleh hadirnya orang yang bisa mendengarkan cerita mereka.

Kisah mereka yang latar belakangnya beragam juga menjadi keraguan tersendiri untuk mereka ketika harus bertemu orang baru. Sempat seorang anak bertanya kepada penulis, "kang, apa yang akang rasakan pertamakali ketika bertemu kami?" Seolah ada keraguan yang muncul untuk berinteraksi dengan orang baru. Ada keengganan untuk berbicara ketika mereka menyadari dirinya sendiri yang merasa sudah dicap jelek oleh lingkungan.

Sebagai fasilitator tentu saja setiap anak memiliki hak yang sama untuk mengakses pendidikan. Saya tidak pernah mengecap jelek anak didik yang sedang bergiat bersama. Hal ini pula yang ternyata menjadi penarik buat mereka untuk belajar asyik bersama-sama.

Program Cerita Anak Negeri (di media sosial saya tulis #CeritaAnakNegeri atau #CAN) kini bergulir untuk semester kedua dengan melibatkan kolaboran yang lebih banyak seperti komunitas 1000 kebun, komunitas fotografi, dan komunitas lainnya bergerak untuk memberikan referensi kegiatan, pelatihan-pelatihan keahlian, dan lain-lain.

Salah satu hasil kegiatan literasi di kelas menulis dan kelas gambar pada semester pertama adalah buku. Buku kumpulan cerita dan gambar yang sudah mereka buat menjadi titik awal untuk berkarya selanjutnya. Yah, Cerita Anak Negeri dibuat salahsatunya agar anak-anak menyenangi kegiatan berkarya. Berkarya kemudian berdaya. Jika kemudian mereka terinspirasi, maka diharapkan kesenangan berkarya akan menjadi modal untuk mereka kelak.

Bergulirnya kembali Cerita Anak Negeri di semester kedua ini diharapkan mampu memberikan banyak referensi untuk anak-anak LPKA Sukamiskin. Cerita Anak Negeri menjadi wadah untuk menghubungkan antara pihak yang membutuhkan akses pendidikan dengan fasilitator yang mampu memfasilitasi. Membangun kolaborasi adalah keharusan. Untuk itu, kehadiran fasilitator, mentor, dan kolaboran lainnya membuat jantung Cerita Anak Negeri terus berdetak.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini