Pemuda Mataram Selamatkan Lingkungan dengan Menyulap Limbah Tahu Tempe Menjadi Batako dan Paving

Pemuda Mataram Selamatkan Lingkungan dengan Menyulap Limbah Tahu Tempe Menjadi Batako dan Paving
info gambar utama

Tahu dan tempe merupakan makanan khas Indonesia yang sangat digemari oleh rakyat Indonesia maupun bule. Dengan harga yang merakyat serta rasa yang enak, membuat tahu dan tempe selalu menjadi lauk andalan. Tak hanya itu, tahu tempe juga memiliki banyak kandungan protein yang dihasilkan dari bahan pokoknya yaitu kedelai.

Eksistensi tahu-tempe yang tidak pernah surut menjadi alasan untuk selalu melakukan produksi walau kadang harga kedelai melambung tinggi. Cara pembuatan yang tidak sulit memudahkan pengusaha kecil rumahan untuk memproduksi tahu tempe. Salah satunya, di kawasan Kekalik, Mataram, sejak tahun 60-70an di sana sudah memproduksi tahu tempe. Sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan di kawasan Kekalik yang berasal limbah pabrik tahu tempe.

Dari sanalah ide kreatif muncul, pemuda bernama Junaidi lulusan UGM, Jogja, bersama beberapa pemuda Kekalik berhasil menyulap limbah pabrik tahu tempe menjadi batako dan paving.

Junaidi mulai terfikirkan memanfaatkan limbah pabrik setelah kawasan Kekalik diterjang banjir sekitar tiga bulan yang lalu. Banjir sendiri disebabkan oleh endapan limbah tahu tempe yang berada di dasar sungai. Tidak ingin daerahnya terkena banjir lagi, Junaidi berfikir keras untuk menjadikan limbah tahu tempe bisa bermanfaat.

Berawal dari informasi salah satu tetangganya, bahwa ternyata limbah tahu tempe dapat dijadikan batako dan paving, akhirnya Junaidi tergerak untuk melakukan uji coba.

Semua dilakukan dari nol, didahului dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya melalui internet, lalu mencari limbah tahu tempe. Dua karung Limbah tahu tempe berhasil didapatkan sebagai bahan uji coba.

Namun, Junaidi menemui kendala pada alat pendukung dan cetakan yang ternyata harganya mahal. Sedangkan Junaidi dan kawan-kawannya tidak memiliki uang untuk mendapat alat dan cetakan itu. Sebagai solusi, Junaidi menyewa alat pendukungnya dengan dibandrol harga sewa sebanyak Rp. 150 perharinya.

Uji coba siap dilakukan, hal pertama yang dilakukan yakni, mengambil beberapa cup semen, air, dan limbah untuk diaduk jadi satu. Dengan perbandingan, 40 persen semen dan 60 persen limbah tahu tempe.

Kegagalan terus menghampiri Junaidi dan kawan-kawannya, sampai sempat mendapatkan cibiran dari warga sekitar, karena usahanya dianggap hanyalah sia-sia.

Tidak ada kata menyerah, dari kegagalan dan cibiran itu justru Junaidi dan kawan-kawannya semakin bersemangat dan terus mencoba.

Akhirnya kerja kerasnya membuahkan hasil. Kini batako dan paving berhasil dicetak dengan sempurna. Tapi keberhasilan itu masih memiliki pekejaan rumah (PR) yang harus segera dikerjaan agar batako dan paving buatannya dapat digunakan sesuai fungsinya. Perlu adanya pengujian laboratorium, untuk menyakinkan kelayakan dari batako dan paving dari hasil limbah pabrik tahu tempe itu. Serta, berharap paving dan batakonya bisa cepat dimanfaatkan warga untuk menambal jalan-jalan yang berlubang.

Junaidi berharap, pemerintah sekitar dapat membantunya melakukan uji leb. “Semoga pemerintah peka dengan apa yang kami hasilkan ini,” tanda Junaidi.


Sumber: jpnn.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini