Berdasarkan rilis yang diterima GNFI dari Conservation International, penelitian tersebut dilakukan oleh kolaborasi antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) - Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih (BBTNTC), Universitas Papua (UNIPA), Conservation International dan juga Georgia Aquarium. Kolaborasi penelitian tersebut dilakukan sejak 25 Juli hingga 5 Agustus 2017 yang lalu. Hasil penelitian tersebut diklaim dapat menjadi dasar untuk pengembangan ekowisata sekaligus tindakan konservasi bagi Hiu Paus di Teluk Cendrawasih.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP, Ir. Andi Rusandi, S.Pi, M.Si menyebutkan bahwa informasi tentang Hiu Paus perlu diperbanyak agar diketahui oleh semua pihak yang ingin mengembangkan potensi wisata Hiu Paus.
“Pengembangan ekowisata hiu paus di Indonesia harus menekankan aspek konservasi. Untuk keperluan itu, KKP juga telah menerbitkan buku Pedoman Wisata Hiu paus yang dapat menjadi panduan,” katanya.
Sementara itu, Kepala BBTNTC Ben G. Saroi menyebutkan bahwa Teluk Cendrawasih merupakan rumah bagi Hiu Paus di Indonesia. Oleh karena itu pihaknya membutuhkan informasi yang menyeluruh tentang Hiu terbesar di dunia itu.
Penelitian kesehatan populasi yang membutuhkan sampel biologis hiu paus ini terbilang sulit, bahkan awalnya dinilai hampir mustahil untuk dilaksanakan. Penyebabnya adalah karena belum diketahui secara jelas bagaimana cara untuk mengkondisikan hiu paus dalam lingkungan terkontrol.
Namun kemudian secara kebetulan, tim BBTNTC, UNIPA, KKP, dan CI Indonesia mengetahui bahwa hiu paus yang tidak sengaja tertangkap jaring tidak tertekan. Bahkan terlihat tenang menunggu untuk dibebaskan dari jaring. Kejadian ini kemudian menjadi kesempatan untuk memasang penanda satelit finmount. Perangkat ini digunakan untuk merekam pergerakan hiu paus.
“Situasi unik di Teluk Cendrawasih memberi para peneliti kesempatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penilaian kesehatan ini dirancang untuk memberi informasi yang rinci terkait dampak ekowisata maupun penelitian yang selama ini dilakukan terhadap kesejahteraan hiu paus. Penilaian kesehatan hiu paus yang dilakukan terhadap hiu paus liar ini merupakan kali pertama di dunia, dan karena itu data yang didapatkan akan menjadi acuan seluruh peneliti di dunia," Vice President Conservation International Indonesia, Ketut Putra.
Dalam waktu penelitian yang relatif singkat, para peneliti melakukan katalogisasi informasi dan pengujian sampel. Kemudianmempersiapkan laboratorium pengujian di kapal penelitian. Tahap selanjutnya adalah penelitian di laboratorium UNIPA di Manokwari, Papua Barat. Selain itu tim peneliti telah memasang tujuh buah penanda satelit yang diharapkan bisa memberikan informasi tentang pergerakan hiu paus dan perilakukan selama dua tahun ke depan.
Sementara itu, sebagai Universitas yang dekat dengan objek hiu paus, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNIPA, Ir. Mudji Rahayu, M.Si mengungkapkan bahwa UNIPA melalui FPIK telah menyiapkan sumberdaya manusia secara khusus untuk mendalami hiu paus, terutama melalui studi lanjut S2 dan S3. Beberapa dosen juga melakukan penelitian terkait ekologi dan genetik hiu paus. Untuk pengembangan jaringan yang lebih kuat, FPIK telah bekerjasama dengan Balai Besar Taman Nasional Teluk Cendrawasih membangun Whale Shark Center di Soa Nabire.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News