Deputi BPPT Bidang Teknolog Industri Rancang Bangun dan Rekayasa, Wahyu W. Pandoe Selasa (29/08) seperti diberitakan ANTARA mengungkapkan bahwa konsorsium tersebut dalam tahap penjajajakan dan akan dibentuk dalam waktu dekat. Konsorsium tersebut akan melibatkan banyak pihak baik dari pihak TNI (Tentara Nasional Indonesia), PT PAL, perusahaan swasta dan juga kampus seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) maupun Insitut Teknologi Bandung (ITB). Tujuan dari pengembangan kapal selam ini adalah untuk mengembangkan industri pertahanan bawah laut demi menciptakan kemandirian bangsa dalam pengadaan alusista.
"Ini hanya sasaran antara, tujuan berikutnya adalah mengembangkan kapal selam ukuran besar jenis U209. Penguasaan teknologi bawah laut sangat penting untuk negara maritim sehingga harus dimulai dari sekarang," kata Wahyu.
Purwarupa kapal selam mini tersebut rencananya akan dibangun dengan dimensi 32 meter x 3 meter yang mampu menyelam di kedalaman 150 meter di bawah laut selama 2-3 hari dengan kapasitas 11 awak. Untuk mengembangkan kapal selam mini ini pula, BPPT telah bekerja sama dengan Saab, perusahaan industri pertahanan asal Swedia yang bersedia melakukan alih teknologi pertahanan bawah air.
Sementara itu, Kepala Bagian Program dan Anggaran Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Keamanan BPPT Dr Fadilah Hasim mengungkapkan bahwa sejatinya Indonesia memiliki potensi besar untuk menguasai teknologi bawah laut. Alasannya adalah karena berbagai fasilitas pengembangan teknologi bawah laut sudah ada di Indonesia.
BPPT sendiri, sebagaimana dijelaskan Fadilah, memiliki berbagai laboratorium yang dibutuhkan dalam pengembangan teknologi seperti Balai Teknologi Hidrodinamika, Balai Besar Teknologi Aerodinamika, Aeroelastika dan Aeroakustika. Selain itu juga terdapat Balai Besar Kekuatan Struktur, Balai Teknologi Mesin Perkakas Produksi dan Otomasi, Balai Teknologi Polimer dan Balai Teknologi Termodinamika Motor Propulsi.
"Negara yang mengembangkan teknologi kapal selam tidak banyak di dunia, misalnya AS, Rusia, Perancis, Jepang, dan Korea Selatan dan cukup sulit untuk melakukan alih teknologi, khususnya negara anggota NATO. Sedangkan Swedia karena bukan anggota NATO, sehingga lebih terbuka dalam alih teknologi," jelas Fadilah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News