Sang Bunga Bangsa dari Bangka

Sang Bunga Bangsa dari Bangka
info gambar utama

Sepuluh menit sebelum mendarat, saya terkejut mendengar akan mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Saya pernah (beberapa kali) mendengar nama itu, saya..tak mampu mengingat beliau pahlawan apa. Sungguh saya merasa berdosa, padahal beliau ini adalah bunga bangsa dari pulau yang akan segera saya darati sekaligus menjadi nama bandaranya, Pulau Bangka.

Perjuangan Depati Amir

Bangka merupakan suatu pulau yang memiliki dinamika sejarah yang unik. Kehidupan gersang tempat ladang timah, ternyata tidak membuat ranah masa lalu Bangka ikut meranggas, justru dari timah ini pernah muncul suatu persengketaan besar yang meletuskan suatu percobaan revolusi rakyat yang berdarah-darah hingga berujung pada diasingkannya para inisiator perlawanan tersebut.

Sebagai salah satu pahlawan dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, nama Depati Amir begitu melekat dalam keseharian. Namanya diabadikan sebagai nama bandara terbesar di Pulau Bangka, nama stadion olahraga di Pangkalpinang, nama jalan di kota-kota dan pedesaan dan nama sekolah di Gabek Pangkalpinang. Namun tidak semua orang mengetahui sepak terjang beliau sebagai pahlawan.

Depati Amir adalah putra dari Depati Bahrin. Depati Bahrin sendiri merupakan pahlawan besar yang pernah memimpin Perang Bangka I pada tahun 1819-1828, diangkat sebagai Depati Tanah Jeruk oleh Sultan Palembang dan salah satu Panglima Tujuh yang terkenal di Pulau Bangka bersama Akek Sak, Akek Kuah, Akek Mis, Akek Adung, Akek Ning dan Akek Ijah. Amir merupakan salah satu anak laki-laki Depati Bahrin dari isteri bernama Dakim/Bakim. Saudara sekandung Amir antara lain Johara, Sajidah, Abdul Monas, Hamzah (Cing), Hasnah dan Penuh (Bonda).

Dari sekian banyak anak Depati Bahrin, Amir dan Hamzah (Cing) rupanya adalah yang kemudian paling dikenal dalam sejarah kolonial Bangka. Keduanya dididik oleh ayahnya untuk mengerti keadaan di mana mereka berpijak. Di masa mudanya, Amir sudah mendengar tentang kekejaman dan begitu licinnya orang-orang Eropa menundukkan para pejuang-pejuang pribumi.

Sejak ayahnya menghentikan peperangan Bangka I pada tahun 1828, sosok Amir disiapkan sebagai penggantinya. Pada tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Amir sebagai Depati wilayah Menareh. Namun 1 tahun kemudian, Depati Amir menyatakan mundur dari jabatan Depati karena tidak ingin terkekang oleh kekuasaan Residen Bangka.

Sedari belia, Amir seakan telah mafhum bahwa masa muda serta dewasanya, akan diisi oleh pelbagai kegiatan perlawanan melawan penjajah. Oleh sebab itu, dalam beberapa kesempatan ia begitu serius mengikuti perkembangan perang Palembang dan Bangka, hingga tidak terasa dirinya sudah cukup mampu untuk ambil bagian dalam perang seperti ayahnya dahulu.

Keadaan yang serba terbatas di tengah ketegangan yang kerap berakhir dengan perampasan hak hidup sampai pembunuhan, membuat Amir kian bulat untuk melakukan serangan balik. Hatinya terbakar mendengar jerit parau bangsanya yang meregang nyawa di tengah kelaparan dan kesewenang-wenangan.

Ia pun mulai tampil layaknya Robin Hood, melakukan serangan terstruktur merongrong kuasa Belanda. Ia dan pengikutnya secara bertahap melakukan aksi-aksi yang lama-kelamaan dianggap Belanda sebagai sandungan untuk terus menguasai Bangka.

Sebagian besar rakyat Bangka memihak kepada Depati Amir, termasuk bantuan dari beberapa orang Cina yang membeli senjata dari Singapura. Dalam melancarkan serangan, Depati Amir bermarkas di kaki gunung Maras dengan siasat perang gerilya.

Menghadapi peperangan ini, pada bulan April 1850 didatangkan dari Palembang Kompi ke-4, Batalion ke-1, dengan kekuatan 4 perwira dan 143 bintara dipimpin Kapten J.H. Doorschoot. Karena makin memburuknya keamanan selama pertengahan tahun 1850 maka dikirim komisaris H.J.

Severijn Haesebroek untuk berunding dengan Amir. Namun perundingan gagal karena tidak dipenuhi persyaratan agar membawa anak, Ibu, saudara perempuan dan pengikut Amir yang ditawan. Bantuan kedua, didatangkan dalam bulan September 1850 dengan kapal uap Bromo dan Tjipanas dipimpin Kapten Buys. Bantuan ketiga yang dipimpin Kapten Blommenstein didatangkan lagi dan ditempatkan di sekitar Sungailiat, Pangkalpinang dan Belinyu, terutama untuk melindungi parit-parit timah.

Depati Amir berhasil memenangi beberapa pertempuran dengan Belanda. Dalam suatu peristiwa, tentara Belanda dijebak saat berada di atas titian kayu yang menghubungi dua tepi jurang antara kampung Nibung dan Gambul. Juga tercatat serangan ke kampung Ampang yang dipimpin oleh Ake Tjing, adik Amir, dibantu oleh Mandadi, menantu Demang Suramenggala.

Penangkapan Depati Amir

Setelah dua tahun berjuang, kekuatan Depati Amir berkurang karena pengikutnya terdiri dari rakyat biasa yang secara bertahap pulang ke kampungnya untuk berladang. Suplai senjata dan amunisi pun makin berkurang akibat daerah sekitar pantai dijaga ketat tentara Belanda. Keadaan ini membatasi gerakan Amir hanya di sekitar wilayah yang masih ada pangan, sehingga beberapa kali Amir nyaris tertangkap.

Patung Depati Amir di Pangkalpinang, Babel
info gambar

Akhirnya, dalam kondisi sakit, Depati Amir ditangkap pada awal Januari 1851 dan dibawa ke markas militer Belanda di Bakam pada tanggal 7 Januari. Pada tanggal 16 Januari 1851 ia dan saudaranya Ake Tjing dibawa ke Belinyu kemudian ke Mentok dengan kapal Onrust. Pada tanggal 28 Februari 1851 Depati Amir dan Ake Tjing diberangkatkan ke Kupang - Pulau Timor. Bersamanya, ikut berangkat Ibunya Dakim, isterinya Janur, anaknya Baudin, saudaranya yang lain (Djidah, Ipah dan Senah), ibu tirinya Lindan, saudara tirinya Kapidin, iparnya Dandip dan pembantunya Mia.

Antara Pulau Bangka dan Kupang

Sejak diasingkan ke Kupang, terputuslah hubungan dengan Pulau Bangka sampai meninggalnya Depati Amir tahun 1885 dan saudaranya Ake Tjing tahun 1890. Tidak banyak catatan mengenai aktifitas Depati Amir di Pulau Timor, kecuali beliau pernah turut membantu program vaksinasi massal yang diadakan Belanda untuk masyarakat Kota Kupang. Saat ini terdapat turunan generasi ke-6 dan 7, menjadi mayoritas penduduk muslim di Kota Kupang.

Hubungan antara keluarga Bahren di Kupang dengan Pulau Bangka pernah terjadi kontak melalui surat-menyurat pada tahun 1950 dengan Abdurahman Jr, Kepala Bahagian Tata Usaha SKB Wilayah Belinyu (Bangka Utara).

Namun tidak ada lagi hubungan selanjutnya. Baru kemudian tahun 1987, disponsori PT Timah, keluarga Bahren di Kupang diundang ke Pulau Bangka. Kunjungan ini dipimpin alm. Abdul Rajab Bahren (Imam masjid Bonopoi). Kemudian pada bulan November 2001 dan November 2002, penulis mengunjungi Makam Depati Bahren yang dipugar. Pada bulan April 2004 anggota DPRD Propinsi Bangka Belitung berziarah ke makam Depati Amir dan Ake Tjing di Kupang.

Selanjutnya setiap tahun menjelang bulan Ramadhan, perwakilan keluarga Bahren di Kupang diundang mengikuti acara tahunan di Pemakaman Depati Bahren di Bangka. Terakhir terjadi kunjungan bersejarah dari Gubernur Bangka Belitung ke Kupang untuk meresmikan pemugaran kuburan Depati Amir dan Ake Tjing pada tanggal 20-21 September 2011.

Harapan ke Depan

Status Depati Amir sampai saat ini belum diresmikan sebagai pahlawan bangsa. Untuk itu, perlu inisiasi sebagai pahlawan bangsa Indonesia oleh Pemerintah Provinsi Babel dan Provinsi NTT. Selain itu, wajar kiranya nama Depati Amir diabadikan dalam bentuk monumen (nama jalan atau bangunan) di NTT. Karena di bumi NTT bersemayan seorang putera terbaik yang dilahirkan Bumi Pertiwi. Depati Amir dapat menjadi simpul hubungan antar dua provinsi yang letaknya di belahan barat dan belahan timur Indonesia.

Referensi : wikipedia.com | Bangkapos.com | Kelekak Sejarah Bangka Oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Tahun 2015 oleh Prof. Dr. M. Dien Madjid

Gambar utama : murexdive.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
YF
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini