Kartini: Tentang Perempuan Perkasa Indonesia

Kartini: Tentang Perempuan Perkasa Indonesia
info gambar utama

Kartini tak hanya sebatas kebaya dan seremoni. Kartini adalah hak perempuan, perjuangan kesetaraan gender, dan nasionalisme Indonesia di akhir abad ke-19. Kartini, seorang ningrat Jawa yang mendobrak kungkungan adat melalui pikiran-pikirannya. Ia hanya dikenal dan dikenang sebagai pahlawan emansipasi wanita. Soal apa persisnya pikiran-pikiran itu dan bagaimana Kartini merumuskannya tak pernah benar-benar di ungkap kecuali untuk mereka yang berinisiatif mencari tahu sendiri.

Selama ini bukan tak ada usaha untuk terus menerus menyiarkan “gelap dan terang” kehidupan Kartini. Sejumlah artikel dan buku telah ditulis. Bahkan, pada 2003 kelompok musik bernama Discus menerbitkan komposisi mini epik berjudul Verso Kartini. Tapi, rekonstruksi dan hakikat perjuangan Kartini tetap terabaikan. Setiap kali hari lahir Kartini diperingati, 21 April, yang dilakukan itu-itu saja: para perempuan menempuh kerepotan berbusana tradisional, serangkaian pidato diucapkan, orang-orang berefleksi dalam forum-forum diskusi atau menggelar bakti sosial, tapi sesudahnya hidup tak berubah sedikit pun.

Kartini bersama keluarganya | boombastis.com
info gambar

Kartini adalah pemikir feminisme awal di Indonesia. Dia perempuan yang gagasan-gagasannya mencerahkan dan mengilhami kalangan yang lebih luas. Ia memang aktivis pemikir yang jatuh bangun. Lahir dari keluarga bangsawan, Kartini menolak poligami tetapi menjadi korban tradisi itu. Ia dijodohkan dengan Bupati Rembang, Adipati Djojoaningrat, lelaki dengan tiga selir dan tujuh anak.

Setelah masa pingitan, Kartini membantu para pengukir Jepara dengan menciptakan motif macan kurung dan motif pahatan kayu yang masih bertahan hingga kini. Ia menghubungi perkumpulan Oost en West untuk menghidupkan kerajinan tangan hindia belanda. Bahkan, perkumpulan itu beberapa kali menggelar pameran kerajinan dan menarik perhatian publik di Nederland.

Kartini dan Suami | boombastis.com
info gambar

Keutamaan Kartini sesungguhnya terletak pada hal lain. Ia pemikir yang gelisah sejak remaja hingga akhir hayatnya pada usia 25 tahun. Ia menulis surat kepada sahabatnya, yang dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia mencatat pelbagi hal: kebebasan, kemerdekaan, dan kemandirian yang bisa diperoleh pada massa itu. Ia bergulat dengan pemikiran dan terseok-seok antara dunia ide dan kenyataan.

Kartini banyak berkorespondensi dengan tokoh feminis dan pendukung politik Etis Belanda. Tujuannya, menarik Belanda untuk memperhatikan nasib perempuan Jawa. Dari surat-suratnyalah orang bisa membangun gambaran mengenai Kartini lebih dari sekedar profilnya.

Kartini School | wikimedia
info gambar

Gambaran itu memuat kisah hidupnya, lengkap dengan heroisme dan tragedinya, serta bagaimana pikiran-pikiran ditempa sebagai respon terhadap situasi menindas yang dialaminya. Menurut Goenawan Mohamad dalam pengantar buku Aku Mau… Feminisme dan Nasionalisme (Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar), gambaran itu membedakan Kartini dari para pemikir feminisme pada akhir abad ke-20, dan terutama kaum cendekiawan yang umum laki-laki pada masa kolonial Belanda.

Surat bertanggal 25 Mei 1899 itu terdiri atas 32 paragraf, sebuah surat yang panjang untuk ukuran sekarang. Raden Ajeng Kartini menulis banyak hal, tentang belenggu adat, pingit, azab sengsara pernikahan, silsilah, dan bahaya candu kepada sahabat pena pertamanya dari Belanda, Stella Zeehandelaar. Sebelum menutup suratnya, dia memperkenalkan diri: “Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku”.

Setelah menikah pada tanggal 12 November 1903, Kartini, oleh sang suami diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita | pedomankarya.co.id
info gambar

Kartini bergelar raden ajeng. Tapi dia tak peduli. Dengan meminta dipanggil Kartini saja, ia ingin menunjukkan bahwa semua orang sama, tidak dibedakan oleh pangkat, jabatan atau gelar bangsawan. Permintaan itu sesungguhnya merupakan pernyataan sikap, deklarasi pendiriannya yang menolak hal-hal yang sudah usang dan membelenggu dalam masyarakat kala itu. Ia yakin pemberian pendidikan yang lebih merata merupakan kunci kemajuan. Dengan watak seperti itu, tak aneh jika Kartini memberontak terhadap berbagai hal yang dia nilai tak memperlakukan manusia secara setara.

Perlawanan Kartini dimulai di lingkungan keluarganya sendiri. Kartini mengizinkan kedua adiknya memanggil dengan kata “kamu”, begitu pula Kartini dengan kedua adiknya, hal yang sebelumnya terlarang. Kartini tak butuh panggilan dengan kromo inggil atau bahasa halus, apalagi sembah setelah bicara dari adik-adiknya.

Kartini sedang membatik dengan adik-adiknya Rukmini (tengah) dan Kardinah (kiri) | Dok. Museum Pusat Jakarta/Arsip Kompas
info gambar

Selain itu, pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan yang sangat ditekankan Kartini untuk memajukan kaum perempuan. Dengan pendidikan, seorang perempuan tak perlu dipingit. Pendidikan melalui sekolah dan cara-cara lain akan melengkapinya dengan keahlian yang bisa menopang hidupnya sendiri, juga menentukan jalan hidupnya dalam urusan perkawinan.

Memberontak terhadap feodalisme, menentang keras poligami dan memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan adalah pokok-pokok perjuangan Kartini. Ia tahu ini upaya yang tak mudah dan butuh waktu yang panjang. Tapi dia percaya perjuangannya suatu saat akan membuahkan hasil. “Perubahan akan datang di Bumiputera. Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara sudah ditakdirkan.” Kartini menulisnya dalam surat kepada Stella pada 9 Januari 1901.

tulisannya yang tajam dan jernih lewat buku
info gambar

Skala pencapaian Kartini sebagai aktivis sosial memang tak kuat meski tak juga bisa diabaikan. Ia membangun sekolah perempuan meski tak besar. Ia bukan Ki Hajar Dewantara yang membangun Taman Siswa. Ia tak berorasi. Ia bukan pemikir massa, tetapi Kartini bukan tak menggerakkan orang.

Kartini menyuarakan perubahan. Ia membawa perjuangan perempuan pada fase yang baru, tidak sekedar menuntut pengakuan tapi juga mengklaim keberadaanya dalam kehidupan bangsa Indonesia.


Sumber: Buku Gelap-Terang Hidup Kartini (Seri Buku Tempo: Perempuan-perempuan Indonesia)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini