Memahami Narasi Rohani dari Wayang Purwa Yogyakarta (Dumadining Gunung Merapi)

Memahami Narasi Rohani dari Wayang Purwa Yogyakarta (Dumadining Gunung Merapi)
info gambar utama

Keluar dari riuh suasana Kota Yogyakarta, sedari sore hari, masyarakat dari tiap penjuru sudah mulai memadati alun-alun yang biasa menjadi pusat keramaian Desa Kinahrejo. Usai gulita datang, alunan doa para abdi dalem Keraton Yogyakarta mulai dipanjatkan. Doa yang tersalut dalam tembang-tembang jawa menghantarkan para warga desa dan para wisatawan untuk menuju suasana malam satu ruwah yang sesungguhnya. Sebagian masyarakat mengikuti dengan khidmatnya doa-doa yang dipanjatkan oleh para abdi dalem dan sang juru kunci merapi kepada leluhur dan yang maha kuasa. Sebagian lagi berkerumun hanya untuk sekedar menyaksikan dan mengabadikan eksotisnya sebuah tradisi yang hanya bisa dinikmati satu tahun sekali ini.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Setelah doa selesai dipanjatkan,para nayaga dan pesinden mulai memposisikan diri untuk menuju ke acara berikutnya. Dengan penuh unggah-ungguh, Sang Dalang Sigit Manggolo Saputro berjalan perlahan menuju belakang kelir lalu duduk bersila dan bersiap-siap untuk menarasikan sebuah lakon semalam suntuk.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Jejeran wayang kulit purwa telah tersusun dengan rapi pada gedebog yang melintang. Pagelaran wayang kulit ini sebagai salah satu rangkaian tuk memperingati tradisi labuhan merapi. Dengan penuh wibawanya, sang dalang mulai menarasikan lakon berjudul Dumadining Gunung Merapi.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Lihainya sang dalang sangat tampak saat memainkan wayang dan mendialogkan setiap watak sesuai dengan historinya. Mata para abdi dalem selaku tamu kehormatan tertuju pada bayangan yang terbentuk pada kelir. Para tamu yang tidak kebagian tempat duduk di joglo sebagai ruang utama, lebih memilih untuk duduk di kursi yang telah tersedia di belakang dalang dan para nayaga.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Kumandang tabuhan gamelan dari nayaga dan nyanyian pesinden yang nyaring ikut mengiringi kisah yang dinarasikan oleh sang dalang. Sedikit cerita, dalam lakon Dumadining Gunung Merapi karya Alm Bapak Agus Wiyarto ini mengkisahkan permasalahan di kayangan yang disebabkan tanah pulau jawa yang miring ke arah barat. Bathara Guru mengutus Bathara Bayu untuk mencabut Gunung Himalaya dan mematoknya ke pusar bumi untuk mengembalikan kondisi tanah jawa seperti sediakala. Ketika Bathara Bayu mematok pusar bumi dengan lambung Gunung Himalaya, terpecahlah gunung tersebut menjadi beberapa bagian yang membentuk gunung-gunung lain. Salahsatu pecahan gunung himalaya jatuh pada sebuah perapian pembuatan pusaka dari empu Rama-Permadi dan membentuk Gunung Merapi.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Kisah Dumadining Gunung Merapi yang di pentaskan saat malam satu ruwah itu merupakan salah satu lakon dari wayang kulit purwa yogyakarta. Wayang kulit purwa yogyakarta terlahir dilatarbelakangi oleh berdirinya Kasultanan Keraton Yogyakarta dengan Raja Sri Sultan Hamengku Buwono I pada perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Wayang kulit purwa yogyakarta dijunjung tinggi oleh pemerintahan keraton yogyakarta karena dianggap sebagai identitas dan kekhasan budaya yang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta pada saat itu. Wayang kulit purwa Yogyakarta hingga saat ini dipandang sebagai karya yang Adiluhung, sebuah karya yang memiliki harkat yang tinggi. Salah satu abdi dalem menuturkan bahwa pagelaran wayang kulit selalu mengandung nilai historis dan juga filosofis sehingga nilai-nilai tersebut selalu bisa dijadikan sebagai landasan dalam berkehidupan. Untungnya masih belum termakan oleh zaman karena hingga saat ini, dari nilai-nilai itulah pagelaran wayang kulit purwa masih banyak digemari oleh publik.

Wayang kulit purwa yogyakarta dari dahulu hingga sekarang memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat yogyakarta. Keistimewaan wayang kulit purwa yogyakarta dari kekhasan dan kekayaan akan nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan memang sangat perlu dilestarikan. Wayang Kulit Purwa Yogyakarta merupakan salah satu dari sekian banyaknya budaya unik yang ada di daerah istimewa yogyakarta. Tradisi Labuhan Merapi beserta rangkaian dan pagelaran yang selalu diadakan dalam satu ruwah ini menjadi suatu bentuk konsistensi masyarakat yogyakarta dalam mempertahankan kebudayaan beserta kepercayaan-kepercayaan yang ada secara turun temurun.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Tidak sampai mentari terbit, Pak Sigit telah mengakhiri narasi kisah yang disampaikannya. Para abdi dalem dan juru kunci merapi langsung bersiap-siap untuk prosesi utama di awal satu ruwah itu. Panggung pagelaran sudah mulai dibereskan. Wayang kulit purwa yang terjejer rapi sudah harus kembali ke wadah penyimpanan untuk disiapkan menuju pagelaran di lain waktu.


Sumber: Dokumen Pribadi

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini