Pesantren Sebagai Penjaga Kebhinnekaan dan Pelestari Kebudayaan

Pesantren Sebagai Penjaga Kebhinnekaan dan Pelestari Kebudayaan
info gambar utama

Pesantren Adalah Budaya Indonesia

“Miris” dan “ironi” jika melihat gelombang deras media massa menyebutkan bahwa pesantren adalah pabrik ekstrimisme beragama yang melahirkan manusia-manusia radikal yang setelah keluar dari pesantren bakalan bergabung dengan jaringan teroris internasional. Terorisme berawal dari kesesatan dalam memahami agama. Dan itu tidaklah akan terjadi di lingkungan pesantren, karena pesantren justeru mengajarkan ilmu untuk memahami agama secara mendalam,secara mendasar, dan secara benar.

Kalau mau jujur, pesantren merupakan salah satu budaya Indonesia yang diciptakan oleh para pendahulu bangsa . Pendidikan ala pesantren merupakan gaya pendidikan yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Usia pesantren lebih tua daripada usia Indonesia. Pesantren banyak melahirkan tokoh pejuang kemerdekaan, pesantren banyak menghasilkan pahlawan Nasional. Sebut saja Pesantren Tegalsari di Ponorogo, melahirkan para tokoh besar seperti Pakubuwono II, Ronggo Warsito, dan HOS Cokroaminoto.

Santri pesantren Gontor bersatu dalam perbedaan
info gambar

Oleh karenanya, jika ada yang mengatakan bahwa pesantren adalah pabrik teroris, sarang teroris, mendidik manusia untuk menjadi teroris, maka secara tidak langsung telah menghina pahlawan-pahlawan Indonesia: terutama mereka yang lahir dari dunia pesantren. Terorisme tidak mempunyai agama karena yang mereka sebarkan adalah kebencian dan keresahan. Sedangkan agama menyebarkan cinta dan kedamaian.

Pesantren Sebagai Penjaga Kebhinnekaan

Pesantren adalah miniatur Indonesia. Kalau tidak percaya, maka berkunjunglah ke beberapa pesantren di Indonesia, sebut saja: Pondok Modern Darussalam Gontor di Ponorogo, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Pondok Pesantren Langitan di Tuban, Pondok Pesantren La Tansa di Banten, Pondok Pesantren Al Fatah di Temboro, Pondok Pesantren Darul Ulum di Jombang, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah di Situbondo, Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan, dan masih banyak Pondok Pesantren yang lainnya.

Pondok Pesantren terbuka untuk siapapun yang ingin belajar, bukan hanya bagi mereka yang beragama Islam, namun juga bagi mereka yang beragama non Islam, atau bahkan yang tidak beragamapun dipersilakan untuk datang. Dengan sistem asrama yang diberlakukan di dalamnya, para pelajar pondok pesantren yang dinamai dengan “santri” terbiasa hidup bersama di dalam satu asrama. Para santri tidak tinggal di asrama dengan yang berasal dari satu daerah saja, atau satu suku saja, melainkan tinggal bersama yang jenis sukunya berbeda, juga berasal dari pulau dan daerah yang berbeda.

Bukan pemandangan aneh di pondok pesantren ketika santri yang bersuku Madura bergandengan tangan, berjalan sejajar dan bercengkerama menuju dapur dengan santri yang berasal dari Suku Dayak, Kalimantan. Bukan hal yang luarbiasa ketika santri dari Papua dengan santri dari Riau, Aceh, Lombok, Pekalongan, Minahasa, Medan, Surabaya, ataupun Jakarta bersama-sama membersihkan asrama, menyikat kloset, menyapu halaman asrama, ataupun dihukum untuk push-up bersama-sama karena ketidak disiplinan mereka. Itu semua hal biasa di pesantren. Para santri sudah terbiasa hidup dalam keberanekaragaman suku bangsa. Para santri terbiasa hidup bersama dengan latang belakang budaya dan kebiasaan yang berbeda. Mereka dididik untuk tidak melihat manusia dari warna kulitnya, sukunya, budayanya, bahkan kewarganegaraannya. Mereka melihat bahwa manusia adalah mahluk Tuhan yang mulia, harus diberikan hak-haknya, harus dihormati, dan harus dicintai.

Pondok pesantren memproduksi manusia-manusia Indonesia sejati yang memiliki jiwa kebhinnekaan, dan mengamalkan pancasila dalam kehidupan. Bukan hanya pancasila yang sebagai hafalan untuk menjawab pertanyaan ujian, namun pancasila yang menjadi pedoman hidup, pegangan hidup, yang takkan pernah habis untuk dijabarkan.

Pondok Pesantren adalah miniatur Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”, beragam suku dan budaya, namun tetap satu jua. Di pesantren, para santri terbiasa untuk hidup seatap dengan orang yang sebelumnya sama sekali tidak mereka kenal. Para santri terbiasa bertukar pikiran dan berbagi wawasan tentang budaya dan adat yang berlaku di masing-masing daerah asal. Karenanya mereka berfikiran terbuka, berwacana luas, dan bisa menerima setiap perbedaan. Bahkan setiap kali masa liburan datang, para santri acap kali bersafari kunjungan. Mereka seringkali tidak pulang kerumahnya, melainkan ke rumah teman pondoknya yang berasal dari daerah lainnya, lalu berganti kunjungan di liburan-liburan selanjutnya.

Tidak berhenti di sini saja, untuk membuktikan keseriusan memelihara kebhinnekaan, pondok pesantren Gontor Ponorogo mempunyai jargon yang cukup terkenal, yaitu "Gontor di atas dan untuk semua golongan". Jargon ini seakan ingin menyapa dan mengingatkan para alumninya supaya senantiasa mengutamakan kerukunan

Pesantren Sebagai Pelestari Budaya

Santri di pondok pesantren tidak hanya diajari mengaji, membaca kitab, berbicara bahasa Arab, berkomunikasi bahasa Inggris, berorganisasi, memakai sarung yang rapi, berakhlak baik, sopan, dan hidup berdisiplin. Para santri juga dikenalkan dengan adat istidat dan kebudayaan yang ada di Indonesia. Mereka diajari pula cara memainkan jenis-jenis kesenian yang ada di Indonesia.

Pondok Modern Darussalam Gontor adalah salah satu pondok yang giat mengadakan pertunjukan kesenian daerah di kalangan para santri dan pondok-pondok alumninya. Pondok yang mendidik karakter para santrinya dengan kegiatan yang padat ini turut berjasa menjadi pelestari kebudayaan Indonesia. Setiap tahunnya, Pondok Pesantren Gontor setidaknya memiliki tiga pagelaran rutin yang di dalamnya mengandung pertunjukan kesenian dan kebudayaan daerah, yaitu: Panggung gembira, Drama Arena, dan Pekan Perkenalan Khutbatul Arsy.

Kesenian Reog, Kuda Lumping, dan ondel-ondel yang ditampilkan oleh para santri
info gambar

Hebatnya dari pagelaran tersebut bahwa yang menjadi pemain dalam pagelaran adalah para santri, yang menjadi pelatih adalah para santri. Para santri ini tidak dibayar sepeserpun oleh pesantren, bahkan mereka mencari dana sendiri untuk berkegiatan. Adapun yang menjadi penonton adalah para santri, guru-guru, tamu undangan, juga tamu yang tidak diundang (warga sekitar dan alumni Pesantren Gontor sangan antusias menonton acara ini). Dari kegiatan-kegiatan ini para santri tahu dan dapat memperagakan setiap kesenian yang ada di Indonesia.

Tim Pemain, tim pelatih, dan pengonsep acara adalah para santri. Mereka berlatih bersama secara profesional. Misalnya pada pertunjukan tari saman, beberapa santri yang berasal dari Aceh akan dibina untuk menjadi pelatih, sedangkan mayoritas penari saman dalam pertunjukan tersebut adalah santri dari daerah di luar Aceh. Demikian pula untuk pertunjukan tari kecak. Beberapa santri yang berasal dari Bali siap untuk dididik menjadi pelatih bagi kawan-kawannya peserta tari kecak yang berasal dari daerah lain di luar Bali. Dengan adanya rolling seperti ini, diharapkan setelah lulus dari pesantren nanti, para santri bisa mengajarkan kesenian dan memperkenalkan kebudayaan dari daerah lain kepada masyarakat di daerahnya sendiri, atau di daerah lain manapun mereka berada nanti.

Maka diakhir tulisan ini perlulah disampaikan bahwa pesantren bukanlah sarang teroris, apalagi pencetak teroris. Pesantren adalah pelestari kebudayaan dan penjaga kebhinnekaan, mendidik santri untuk menjadi manusia Indonesia sejati yang siap menjaga Indonesia untuk tetap berideologi Pancasila dan berbhinneka tunggal ika.


Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini