1 bulan Menjadi Budak Melayu, di Siak "Home of Melayu"

1 bulan Menjadi Budak Melayu, di Siak "Home of Melayu"
info gambar utama

Provinsi Riau adalah tempat yang paling berkesan bagi saya dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia yang pernah saya kunjungi. Biasanya saya mendengar “Riau” hanya melalui berita saja di stasiun televisi, hotline nya dengan kebakaran hutan dan lahan sampai polusinya pun sampai ke negara tetangga. Pada 2015, Alhamdulillah saya dan 10 orang delegasi dari Universitas Airlangga, Surabaya berkesempatan untuk ikut peran serta dalam pelaksanaan KKN Kebangsaan dengan tema mencegah kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Sebelum berangkat, kami menyiapkan beberapa kardus masker untuk melindungi dari asap kebakaran. Setibanya di Pekanbaru, ternyata tidak ada asap seperti yang diberitakan selama ini. Pertama kalinya menginjakan kaki di tanah Sumatra. Pemandangan Masjid Akbar yang begitu megah bercorak khas Melayu, serta gedung provinsi Riau juga memiliki bentuk khas rumah adat Melayu. Rumah panggung dengan meruncing dibagian atapnya. 689 mahasiswa dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai warna-warni almamater berkumpul menjadi satu di lapangan Universitas Riau, Pekanbaru. Saya bersama kelompok saya ditempatkan di Desa Bunsur, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak. Ketika mencari di google maps hanya tampak satu titik yaitu SMAN 1 Sungai Apit.

Saya tidak memiliki informasi mengenai Siak. Harapan saya kala itu, tempat KKN saya ini masih bisa dijangkau dengan transportasi, ada sinyal hp, ada ATM untuk mengambil uang, dan ada daerah pantai agar setiap hari bisa melihat indahnya laut. Memang jiwa-jiwa berpetualang yang dipikirkan hanya pantai dan hutan saja hehehe. Untuk menuju Siak, harus melewati Jembatan Siak berwarna kuning khas dengan sebutan siak sebagai Kabupaten Lancang Kuning. Saat di alun-alun dan Istana Siak ternyata saya baru mengetahui bahwa Siak adalah home of Melayu. Alhamdulillah, beruntungnya saya bisa belajar banyak di Kabupaten ini khususnya terkait budaya dan Kesenian Melayu. Desa Bunsur, desa yang terkenal dengan kekayaan ikan laut, bahkan di desa kami ada dermaga yang menghubungkan desa lainnya yang terpisah oleh lautan. Alhamdulillah sesuai dengan harapan hehe. Jarak rumah dengan dermaga hanya 10 menit saja. Dari dermaga tersebut juga dapat terlihat pemandangan proyek batubara dan minyak bumi yang kata warga disana adalah milik Aburizal Bakri. Beberapa warga di Bunsur, selain sebagai nelayan dan petani sawit, juga ada yang bekerja sebagai buruh di perusahaan minyak bumi tersebut. Perahu yang biasa mengangkut warga untuk ke desa seberang disebut dengan pongpong. Harga tiketnya hanya Rp 5.000,00

Jalanan di Bunsur ini sudah beraspal dan terlihat pemandangan rumah yang susunannya berbeda dengan rumah saya di Jawa, yang umumnya di perumahan padat penduduk dengan bangunan tinggi terbuat dari batubata dan semen, jarak antar rumah hanya dipisahkan oleh dinding. Sedangkan di Bunsur, setiap rumah memiliki halaman yang luas, bahkan halaman belakang mereka sudah laut. Beranda rumah yang sejuk angin semilir laut bisa dirasakan setiap hari. Pemandangan unik adalah setiap rumah disini memiliki cat warna yang berbeda dengan rumah lainnya, ada warna merah, kuning, biru, dan hijau. Bangunan rumah tersebut berupa rumah panggung, memiliki kaki-kaki yang kuat untuk menopangnya, dindingnya dan lantai terbuat dari papan kayu panjang. Saya rasa pernah melihat gambar rumah seperti ini di atlas dengan rumah adat Melayu. Ternyata saya bisa menyaksikannya secara langsung selain di TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Saya salut dengan warga disini yang masih bersedia mempertahankan dan melestarikan rumah adat tersebut di zaman modern ini yang seharusnya bisa memiliki rumah dengan gaya modern, beralaskan lantai keramik dan berdinding tembok dari batu-bata. Kelebihannya juga, saat tidur dilantai kayu dan saat panas terik matahari, rasanya dingin sejuk tidak anyep. Namun ada kekurangannya juga, saat itu ada musibah tetangga kami yang lupa mematikan kompor sehingga terjadi kebakaran. Kobaran api sulit dipadamkan karena memang yang terbakar adalah rumah berbahan kayu, sehingga hangus sudah semua tidak meninggalkan sisa.

Suku Melayu ini mayoritas beragama Islam, maka banyak ditemukan seragam dinas pemerintah desa adalah berlengan panjang dengan peci atau kopyah berwarna hitam. Seragam murid-murid juga demikian, yang perempuan menggunakan jilbab. Budaya dan norma yang berlaku juga berasaskan agama Islam. Saat di Bunsur, saya juga melihat ada beberapa warga yang beragama Budha dan Kristen, namun tetap menjalin kerukunan yang kuat. Seperti halnya kelompok saya di KKN, dua orang beragama kristen dan 8 orang sisanya beragama Islam. Kami yang berdelapan orang selalu berusaha mengadakan shalat berjamaah di mushola dan mengikuti pengajian. Dua orang yang lain juga rutin mengadakan ibadah di gereja setiap hari minggu. Saya juga salut dengan dua orang teman saya ini, Chyntia dan Yandi yang selalu semangat ikut kegiatan warga khususnya datang ke pengajian, meskipun berbeda agama kami saling menghormati satu sama lain.

Sejenak berpikir sempat ada rasa takut karena akan tinggal dengan orang-orang baru dari berbagai daerah selama satu bulan di daerah orang juga. Tapi pikiran itu sirna setelah mengenal anggota kelompok saya. Sebelumnya, perkenalkan dulu anggota tim kelompok saya. Saya sendiri Raissa mahasiswa kedokteran dari Surabaya; Muammar Siregar mahasiswa ekonomi dari Medan, Yandi Maldino mahasiswa managemen dari Pontianak, Amin Lubis mahasiswa hukum dari Mandailing Natal; Tri mahasiswa kimia dari Lampung; Rita mahasiswa ekonomi dari Rengat; Ecky mahasiswa komunikasi dari Bengkulu; Ria mahasiswa sistem informasi dari Palembang; Winda mahasiswa ekonomi dari Dumai. Chyntia mahasiswa perawat dari Medan. Awalnya merasa ragu karena saya satu-satunya dari Pulau Jawa, ternyata mereka sangat ramah dan baik, dengan nada bicara dan logatnya yang khas berbagai daerah. Saya belajar banyak dari mulai nama marga “Siregar” dan “Lubis”, sampai etnis tionghoa. Yandi, seorang teman kami yang berkulit putih, tinggi, dan bermata sipit selalu telfon mamanya dengan menggunakan bahasa cina. Kata Yandi, dia harus bisa bahasa cina agar bahasa tersebut terus ada dan tidak berhenti sampai di mamanya saja. Jadi seluruh keluarga yandi pasti bisa berbahasa cina. Ini menguntungkan kami ketika belanja di toko kelontong punya orang cina, ketika Yandi yang beli dan bicara dengan bahasa cina selalu diberi harga murah atau diskon hehehe. Orang jawa terkenal lebih kalem dan lemah lembut ketika bicara. Berbeda lagi dengan Chyntia, Amar, Amin, mereka orang Batak selalu berbicara keras dan dengan nada seperti membentak. 1 minggu berbicara dengan mereka, saya selalu merasa mereka marah pada saya, sampai ditekankan lagi “aku ni ndak marah lho cha” sambil nada membentak. Pikirku, wah sama saja saya dimarahi dua kali hehe. Mereka juga sering bertanya pada saya tentang kata-kata kotor yang sering diucapkan di Surabaya. Oh maksudnya adalah meso, mereka juga memanggil saya dengan sebutan “rek” karena saya sering mengucapkan kata tersebut. Padahal arti “rek” adalah “kawan-kawan”, tapi mereka mengartikan “rek” seperti “hai kamu”. Yasudahlah lama-lama juga pasti akan mengerti. Bayangkan saja dalam satu rumah kami berbicara dengan logat kami masing-masing, dengan pengertian serta kosakata yang berbeda. Butuh waktu dua minggu untuk dapat beradaptasi dan saling memahami maksud satu sama lain. Lama kelamaan kami pula yang berbicara bahasa Melayu karena lingkungan kami disana adalah suku melayu. Wah rasanya seperti di program kartun Upin-Ipin hehe. Tapi ternyata saya salah, bahasa melayu di Siak berbeda dengan bahasa melayu di Malaysia. Ketika sesama warga Siak saling bicara bahasa dan aksen melayu secara cepat, saya hanya bisa melongo dan tersenyum menanggapinya. Dalam hati saya sama sekali tak mengerti pembicaraan mereka. Hehehe. Alhamdulillah warga Siak pun juga ramah menerima kami, mereka juga belajar dan saling bertukar informasi mengenai daerah masing-masing. Kata mereka, yang terkenal dari Surabaya adalah bu Risma, walikota yang hebat.

---------

Di setiap halaman rumah tidak jarang ada pohon sawit dan pohon jengkol. Yang baru pertama kali saya lihat, jengkol ada dimana-mana, bahkan dalam hajatan warga pun jengkol selalu menjadi menu yang wajib ada. Bulan agustus banyak warga yang mengadakan hajatan pernikahan. Salah satunya adalah tetangga sebelah rumah kami. Kata temanku yang dari Riau mengatakan bahwa budayanya ketika ada yang punya hajatan, maka tetangga terdekat wajib untuk datang H-2 untuk bertamu, warga laki-laki menyiapkan panggung dan memasang hiasan pernak-pernik pernikahan, sedangkan yang perempuan bekerja bakti untuk memasak. Hasil masakan nantinya juga akan dimakan beramai-ramai setelah selesai kerja bakti antar warga laki-laki dan perempuan. Sangat menarik berbeda dengan hajatan di rumah saya, yang lebih praktis menggunakan Wedding organizer dan catering untuk menyiapkan makanan. Saya kira ada beberapa warga yang keberatan dan merasa repot dalam kerja bakti, tapi ternyata saya salah. Justru mereka yang menawarkan kepada yang punya hajat untuk membantu segala hal yang perlu disiapkan. Di rumah nenek saya di Solo, Jawa Tengah juga demikian. Warga dengan sukarela membantu tanpa mengharap imbalan. Menurut mereka, kegiatan ini bisa mempererat rasa persaudaraan antar tetangga dan keluarga. Kata Kak Linda *tetangga terdekat kami, sebutan “kak” yang berarti “ibu”* berkeyakinan bahwa masakan yang mereka makan akan lebih nikmat jika dimasak oleh mereka sendiri dengan olahan kayu bakar. Ketika rewang *istilah kerjabakti dalam bahasa jawa*, mereka juga sambil bercerita dan bersendaugurau. Saya tidak menyia-nyiakan kesmepatan tersebut, meskipun sama sekali tidak mengerti obrolan ketika mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa melayu dengan aksen dan nada yang cepat. Pertemuan tersebut juga menjadi ajang kenalan dan silahturahmi bagi kami. Kami memperkenalkan diri satu persatu asal daerah kami. Ketika aku berbicara, sebelum bilang ada seseorang yang berkata “oo iki wong jowo yo” diikuti dengan tawa yang lainnya, hehe tanpa sadar aksen dan logat saya yang medhok ternyata sudah menampilkan identitas saya sebagai orang jawa.

--------

Proses paling awal menuju perkawinan yang dimaksud adalah penentuan siapa jodoh yang cocok untuk dirinya atau yang dalam adat Melayu biasa disebut dengan istilah merisik dan meninjau. Setelah jodoh yang dirasa sesuai sudah dipilih, maka kemudian dilakukan tahap kegiatan merasi, yaitu mencari-cari tahu apakah jodoh yang telah dipilih itu cocok (serasi) atau tidak. Jika kedua tahapan tersebut dirasa sesuai dengan harapan diri orang yang akan menikah maka kemudian dilakukan tahapan melamar, meminang, dan kemudian bertunangan. Setelah kedua calon tersebut bertunangan, maka upacara perkawinan dapat segera dilangsungkan. Setelah dirasa bahwa pasangan yang akan menikah sudah cocok, langkah kemudian adalah tahapan melamar dan meminang. Sebelum meminang, keluarga pihak laki-laki melamar terlebih dahulu gadis yang akan dinikahi. Ada upacara menggantung-gantung yaitu Upacara yang dilakukan dalam tenggang waktu yang cukup panjang, biasanya 3 hari sebelum hari perkawinan. Bentuk kegiatan dalam upacara ini biasanya disesuaikan dengan adat di masing-masing daerah yang berkisar pada kegiatan menghiasi rumah atau tempat akan dilangsungkannya upacara pernikahan, memasang alat kelengkapan upacara, dan sebagainya. Yang termasuk dalam kegiatan ini adalah: membuat tenda dan dekorasi, menggantung perlengkapan pentas, menghiasi kamar tidur pengantin, serta menghiasi tempat bersanding kedua calon mempelai. Upacara ini menadakan bahwa budaya gotong-royong masih sangat kuat dalam tradisi Melayu. Dalam upacara perkawinan biasanya diawali dengan kedatangan calon pengantin laki-laki yang dipimpin oleh seorang wakilnya ke rumah calon pengantin perempuan. Calon pengantin laki-laki biasanya diapit oleh dua orang pendamping yang disebut dengan gading-gading atau pemuda yang belum menikah. Rombongan pihak pengantin laki-laki datang menuju kediaman pihak calon pengantin perempuan dengan membawa sejumlah perlengkapan atau yang disebut dengan antar belanja. Upacara tepuk tawar maknanya adalah pemberian doa dan restu bagi kesejahteraan kedua pengantin dan seluruh keluarganya, di samping itu juga bermakna sebagai simbol penolakan terhadap segala bala dan gangguan yang mungkin diterimanya kelak. Upacara ini dilakukan oleh unsur keluarga terdekat, unsur pemimpin atau tokoh masyarakat, dan unsur ulama. Yang melakukan tepung tawar terakhir juga bertindak sebagai pembaca doa. Upacara Mengarak Pengantin Lelaki, Upacara ini bentuknya adalah mengarak pengantin laki-laki ke rumah orang tua pengantin perempuan. Tujuan dari upacara ini sebagai media pemberitahuan kepada seluruh masyarakat sekitar tempat dilangsungkannya perkawinan bahwa salah seorang dari warganya telah sah menjadi pasangan suami-istri. Sebelumnya, ketika di pasar saya menemukan pernak pernik tersebut dan bingung untuk apa kegunaannya. Ternyata terjawab sudah pertanyaan saya. Setiap daerah memiliki adatnya sendiri-sendiri dan ritual tertentu yang memiliki makna baik untuk pasangan suami istri tersebut.

-----

Setiap waktu menunjukan sore, dan selepas shalat Ashar, kami bermain sepeda pancal menuju dermaga dengan anak-anak desa bunsur. Ada juga beberapa bocah laki-laki yang main ke rumah karena ingin bermain game online yang ada di laptop atau tab. Bagi mereka, teknologi tersebut baru mereka lihat pertama kali saat kami datang. Selain itu, kami menyempatkan untuk bersilahturahmi dan mengenal warga di desa kami. Ada satu hal yang mengesankan adalah saat berkunjung ke salah seorang warga keturunan cina, saya lupa nama beliau. Beliau wanita paruh baya berusia sekitar 68 tahun, tinggal sendiri dan dikunjungi anaknya setiap 1 minggu sekali. Pantas saja rumahnya tampak sepi. Tapi tampak berbagai ornamen cina berwarna merah, didalam rumah ada tulisan cina dan foto-foto keluarga yang sepertinya sudah lama. Beliau sangat baik menawarkan buah durian yang baru jatuh dari pohon dibelakang rumahnya. Desa bunsur memang terkenal dengan buah durian dan jengkol. Yandi, tentu saja lebih mahir berbahasa cina sebagai prolog dan membuka cerita. Selanjutnya diteruskan oleh winda yang pandai cakap bahasa melayu hehe. Beliau bercerita bahwa beliau keturunan generasi ke-4 yang tinggal di rumah tersebut, penduduk asli Siak ini memang orang kulit putih Cina Melayu dan beliau juga bercerita bahwa Desa Bunsur sempat terkenal dengan racun yang ditaruh didalam makanan. Apabila ada orang yang tidak suka dengan seseorang tersebut, maka ketika bertamu maka akan dicampur dengan racun dalam makanan atau minuman tamu tersebut. Tapi itu cerita lama dan sudah tidak ada lagi di zaman sekarang. Saya sempat takut dan horor mau minum teh yang disediakan oleh cik tersebut hehe. Selain itu sebagai orang Jawa, saya tidak enak atau sungkan kalau memakan habis makanan yang dihidangkan terkesan rakus dan tidak sopan. Tapi kala itu saya diingatkan oleh Winda bahwa orang disini justru merasa tersinggung kalau makanannya tidak dihabiskan karena merasa bahwa tamu tidak suka makanan tersebut. Semenjak itu, setiap berkunjung saya langsung habiskan. Di Lampung dan Bengkulu juga demikian, sepertinya hanya orang Jawa saja yang merasa tidak enakan. Hehehe

-----

----

Kebetulan hari ini adalah jadwal saya dan Rita yang belanja ke Pasar. Waktu yang ditempuh dari desa ke pasar kecamatan sekitar 30 menit dan harus melewati beberapa hutan serta pantai. Jadi belanjanya cukup 1 minggu sekali agar tidak boros bensin untuk transportasi. Saya harus mengajak teman yang bisa berbahasa melayu agar nanti dapat harga yang murah di pasar. Sempat berdialog sedikit dengan penjual pasar, beliau bilang dan menebak saya dari Jawa. Saya sudah biasa pasti logat medhok saya yang menjadi identitas. Ternyata beliau bercerita bahwa beliau orang keturunan jawa yang sudah lama tinggal di Siak. Kakek dan nenek beliau orang Jawa kemudian pindah dan domisili di Jawa. Saya sangat senang bisa bertemu dengan orang sesama jawa di kampung orang lain hehe. Sambil makan es dawet melayu, kami berbincang-bincang. Di sekitar pasar sungai apit, ada perkampungan jawa, disana tinggal orang-orang keturunan jawa dan senangnya ternyata beliau fasih berbahasa Jawa. Dahulu, orang-orang jawa pindah ke siak untuk mengadu nasib dan mencari pekerjaan yang lebih layak, karena di Jawa sudah padat dan lapangan pekerjaan yang sempit. Kebanyakan orang jawa tersebut bekerja di pasar sebagai penjual dan adapula yang bekerja di kabupaten sebagai pegawai/ buruh. Beliau mengatakan belum pernah ke Jawa, hanya pernah mendengar Jawa dari orangtuanya saja, bahkan saudara di Jawa pun juga sudah hilang kontak. Saya bangga dengan beliau-beliau yang masih ingin melestarikan bahasa jawa, bahasa ibu merka walau berdomisili di tanah melayu.

----

Tidak terasa waktu kami di Siak tinggal 5 hari lagi. Satu persatu tetangga kami mengundang makan. Sebenarnya cukup bingung juga, ada acara dan hajatan apa. Ternyata budaya mereka, kami dianggap membantu mereka dan mereka ingin berterimakasih dengan memberi makanan pada kami, serta sebagai acara perpisahan. Selama 5 hari kami tidak masak sama sekali, karena selalu diundang ke rumah warga. Mulai makanan yang khas yaitu miso atau mie soto, lontong sayur, kupat urap, dsb. Makanan yang tidak bisa saya dapatkan di surabaya, bahkan diluar Siak belum tentu ada. Rasa kekeluargaan di kampung ini begitu kuat satu sama lain, saling mengenal dan mendukung antar warga. Seandainya saja hal seperti ini dapat diterapkan juga di rumah saya hehehe. Di perumahan saya, jarang terlihat aktivitas bersama antar warga karena tiap orang memiliki kepentingannya masing-masing. Tidak ada anak-anak yang terlihat bermain di luar karena sibuk les dan bermain game online.

------

Kehangatan dan warna-warni budaya, bahasa, adat membuat saya semakin cinta Indonesia. Banyak hal baru yang saya dapatkan ketika tinggal di Siak. Saya bercita-cita ketika menjadi dokter kelak, akan mengabdi ke pulau-pulau terpencil atau yang pedalaman. Setiap langkah kaki saya akan membawa pengalaman dan cerita baru bagi orang-orang disekitar saya. Menyapa mereka dengan senyuman dan memastikan bahwa setiap penduduk memiliki hak untuk sehat. Saya sudah tidak sabar untuk menikmati warna-warni Indonesia di pulau lainnya, dengan orang-orang dan suku yang berbeda pula :)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini