Kemana Kita Akan Pulang?

Kemana Kita Akan Pulang?
info gambar utama

Is it true that ‘you can never go home again’? Whether moving across the country or around the world, making a geographical leap changes us and how we relate to the people and places we leave behind. Our panel ponders the effects of relocation and reinvention.

Sebuah ikhtiar singkat yang sangat menarik. Ikhtiar dari salah satu main program Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017. Diadakan pada tanggal 26 Oktober 2017, di Neka Museum, Ubud, Gianyar. Judul kegiatannya sendiri adalah ‘Going Home Again”, seakan membawa kita bertanya dalam diri, “Kemana kita akan pulang?”

Menghadirkan tiga orang pembicara, yaitu: Shokoofeh Azar, Ahmad Fuadi, dan Nusrat Durrani. Sebagai moderator adalah Janet Steele, salah seorang Profesor di bidang jurnalistik dari George Washington University, Amerika Serikat. Janet Steele membuka sesi panel dengan memberi pertanyaan kepada masing-masing pembicara. Pertanyaan yang terkait dengan tema dari UWRF 2017, Sangkan Paraning Dumadi. Pertanyaan tersebut adalah: “Dimana anda lahir?” dan “Kemana anda akan pulang?”

Shokoofeh Azar mengatakan kalau dirinya lahir di Iran. Untuk pertanyaan, kemana dirinya akan pulang? Shokoofeh menjawab, yang pasti bukan ke Iran. Masa lalu membuat dia tidak bisa lagi ke negara kelahirannya. Kondisi perpolitikan Iran kala itu yang memanas, membuat dia terpaksa meninggalkan Iran pada usia yang sangat muda. Hanya karena dia menentang tradisi ‘wanita harus tinggal di rumah’. Dia bahkan sampai masuk penjara tiga kali karena hal tersebut. Dirinya dicap sebagai ‘pemberontak’, tanpa memperoleh hak untuk membela diri. Kalau dia kembali ke Iran, artinya dia akan masuk penjara lagi. Sebuah resiko yang tentu tidak ingin dia tanggung. Akhirnya semenjak itu dirinya hidup berpindah-pindah, dari satu negara ke negara lain. Terakhir memilih untuk menetap di Australia.

Ditanya apakah tidak ada kerinduan untuk pulang? Shokoofeh menjawab, antara iya dan tidak. Dia hanya merindukan taman kecil yang dia rawat dulu, sebagaimana diceritakan dalam bukunya yang berjudul ‘The Enlightenment of the Greengage Tree’. Dan saat meninggal nanti, dimana dia ingin dikubur? Shokoofeh menjawab singkat, terserah saat itu saja. “Anda bisa melakukan apa saja terhadap tubuh saya ketika saya sudah meninggal nanti,” ujar Shokoofeh.

Diajukan pertanyaan yang sama, Ahmad Fuadi bercerita kalau dia lahir di Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Berbeda dengan Shokoofeh, Ahmad meninggalkan desa kelahirannya karena dorongan orang tua. Dia mengutip perkatakan sang ibu, yang meminta dia untuk menambah wawasan dengan merantau ke berbagai daerah. Awal perantauan dirinya dimulai di Pulau Jawa, tempat dia mengenyam jenjang perkuliahan, tepatnya di Universitas Padjadjaran. Dari sinilah perantauan tersebut terus berlanjut ke berbagai negara.

Ahmad mengakui kalau cerita novel ‘Anak Rantau’, merupakan bentuk refleksi dari perjalanan rantau hidupnya. Kegelisahan tersebut dimulai saat dia datang kembali ke desa. Dia menemukan kondisi alam di desanya jauh berubah. Polusi dan pencemaran ada dimana-mana. Menemukan pula kenyataan banyak generasi muda desanya yang memakai narkoba. Keinginan diri untuk mengenang kondisi desa semasa kecil, menggerakkan hatinya untuk menulis sebuah novel. Dalam hati dia juga berharap melalui novel ‘Anak Rantau’, bisa menggerakkan manusia untuk lebih sadar terhadap lingkungan di sekitar mereka. Lanjut lalu Ahmad menjawab pertanyaan, apakah dia akan pulang? Apakah dia ingin dikubur di desa kelahirannya? Dirinya menjawab, suatu saat nanti mungkin saja. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. Saat ini dia hanya fokus melakukan apa yang bisa dia lakukan guna membantu sesama, sebagaimana diamanahkan oleh kedua orang tuanya.

Berlanjut kemudian kepada pembicara ketiga. Nusrat Durrani adalah seorang pemusik yang lahir di Lucknow, India. Meninggalkan ‘kampung halaman’ karena ingin mengejar karier di bidang musik. Dirinya jujur meninggalkan rumah tanpa restu dari kedua orang tua. Jauh di dalam lubuk hatinya, meninggalkan kegundahan saat dia melakukannya. Namun dia sadar hal itu harus dia lakukan untuk mencapai cita-cita yang ingin dia raih. Itu kenapa di lirik-lirik lagunya ada sedikit gambaran kerinduan.

Ditanya apakah dia pernah pulang? Nusrat menjawab, tentu saja, namun sekarang Lucknow sudah bukan lagi sebuah kota kecil. Kota ini sudah berkembang dengan sangat signifikan. Tidak berbeda dengan New York, dan kota-kota lain yang pernah dia tinggali. Makanya kini dimana pun dia berada, tempat itu adalah rumah baginya. Saat ini Amerika adalah rumah untuknya, dan itu adalah konsep pulang bagi dirinya. Termasuk saat dia meninggal nanti.

Pada panel diskusi, konsep pulang ini berkembang seiring sumbangan pendapat yang muncul. Ada yang menganggap ‘pulang’ adalah sebuah nostalgia. Ada yang menganggap ‘pulang’ hanya sebuah bentuk memori masa lalu. Memori masa lalu yang ingin kita kenang kembali, karena disana kita pernah merasakan kedamaian dan kebahagian. Ada keinginan untuk bisa kembali ke masa tersebut. Merasakan lagi sensasi yang pernah dirasakan.

Sampai Nusrat menutup diskusi panel tersebut, dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik. “Sedari tadi kita berbicara tentang pulang, rumah, dan tanah kelahiran. Kita mungkin cukup beruntung untuk bisa berbicara tentang rumah kita. Lalu, bagaimana dengan saudara-saudara kita yang tidak memiliki rumah (homeless)? Kemana mereka akan pulang?” Sebuah pertanyaan yang mungkin perlu untuk kita renungkan bersama.

Gianyar, 26 Oktober 2017.

Liputan ini ditulis untuk Good News From Indonesia.


Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini