Melangkahkan Kaki, Menyembuhkan Diri

Melangkahkan Kaki, Menyembuhkan Diri
info gambar utama

Pada tanggal 27 Oktober 2017, Indus Restaurant, kembali menjadi tempat pelaksanaan salah satu main program Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2017. Acara berbentuk diskusi panel tersebut mengambil judul ‘The Walking Cure’, atau ‘Berjalan Untuk Memulihkan’. Sebuah tema yang menarik, mengingat masing-masing negara punya budaya jalan yang berbeda. Ada negara yang masyarakatnya memiliki budaya jalan aktif, dan ada pula yang pasif.

Sebagai pembicara atau panelis, antara lain: Simon Artitage, Paula Constant, dan Sergio Chejfec. Sedangkan sebagai moderator adalah Sophie Cunningham, seorang penulis dan editor. Ketiga pembicara memiliki pengalaman mereka sendiri-sendiri soal berjalan. Ketiganya mengabadikan pengalaman berjalan mereka itu ke dalam karya mereka, baik itu berupa novel maupun puisi.

Simon Artitage memulai diskusi dengan bercerita tentang pengalaman, yang dia tulis di bukunya yang berjudul ‘Walking Home’ dan ‘Walking Away’. Dua buku ini merupakan kumpulan puisi yang ditulis selama menempuh perjalanan di South West Coast Path. Penyair sekaligus dosen, asal Inggris ini, melakukan perjalanan jauh ini dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan puisi. Sengaja dia tidak membawa uang. Hanya mengandalkan uang yang dia peroleh dari membaca puisi. Dimana puisi-puisi tersebut ditulis sebelum tidur, di malam hari. Simon membiarkan orang yang mendengar menghargai puisinya. Berapa pun orang tersebut bersedia untuk membayar.

Ketika ditanya, apakah dengan berjalan menambah kreatifitas diri? Simon menjawab, tidak juga. Ada kalanya pada suatu malam dia tidak menghasilkan ide apapun. Ada kalanya pula ide itu muncul secara tiba-tiba. Namun, dia mengakui kalau berjalan bisa menenangkan pikirannya. Itu kenapa dia suka berjalan secara rutin setiap hari, atau setiap ada kesempatan.

“Mungkin berjalan tidak selalu memberikan inspirasi kepada saya, namun kalau menyehatkan itu sudah pasti. Berjalan ibarat melakukan yoga. Menyembuhkan diri dari dalam, karena selama berjalan kita seolah-olah menyerap inti sari dari dunia. Kita melihat, mendengar, dan merasakan lebih banyak ketimbang berkendara,” ucap Simon.

Berbeda dengan Simon, Paula Constant lebih mempersiapkan perjalanan jauhnya. Semula dia mempersiapkan diri melakukan perjalanan melewati gurun Australia, namun ternyata perijinan yang sulit membuatnya membatalkan niat. Mengurus perijinan untuk melakukan perjalanan di gurun Sahara ternyata lebih mudah, ungkap dirinya. Paula melakukan perjalanan hanya ditemani oleh beberapa unta. Dirinya juga mengaku kalau selama melakukan perjalanan panjang tersebut pikirannya ikut berkelana. Memikirkan berbagai macam hal. Maka dari itu, dia percaya kalau berjalan memunculkan kreatifitas dalam diri dalam menulis.

“Melalukan perjalanan sambil menulis, atau menulis perjalanan itu lebih mudah. Kita tidak perlu membayangkan awal, proses, dan akhir dari cerita yang akan kita tulis. Cukup menulis secara runut pengalaman kita selama melakukan perjalanan. Meski tetap memerlukan proses editing agar lebih bisa dinikmati dan memiliki nilai komersial,” ujar Paula.

Sergio Chejfec lebih menilai perjalanan sebagai proses perenungan. Dari perenungan itu bisa jadi akan memunculkan ide dan kreatifitas dalam menulis sebuah karya. Dirinya mengaku tidak melakukan perjalanan panjang seperti halnya Simon dan Paula. Dia hanya melakukan perjalanan singkat melewati taman, pedesaan, pantai atau tempat-tempat nyaman lainnya. Namun, semua itu dilakukan secara rutin, setiap kali dirasakan perlu. Misalnya saat mengalami kebuntuan dalam menulis. Kadang ide itu muncul dari melihat apa yang ada di sekeliling, selama melangkah.

“Itu kenapa saya menyarankan setiap orang untuk rutin untuk berjalan. Memang setiap negara memiliki geografis yang berbeda-beda. Ada yang mendukung untuk berjalan setiap hari, ada pula yang tidak. Kalau kita mencarinya, pasti setiap negara memiliki tempat-tempat nyaman untuk menikmati berjalan selama satu atau dua jam sehari,” ucap Sergio.

Perkataan Sergio ini kemudian memancing pendapat dari beberapa peserta diskusi. Terutama terkait berjalan di beberapa kota besar dunia, yang rawan dan berbahaya. Peluang untuk terjadi kecelakaan masih sangatlah besar. Salah satu beserta bernama Santi, mengaku pernah tinggal di Jepang. Di sana dia bisa rutin berjalan setiap hari, dari rumah ke tempatnya bekerja. Sedangkan saat kembali ke Indonesia, hal tersebut tidak bisa dilakukannya. Setiap kali berjalan kaki di jalan protokol di Indonesia, dirinya selalu saja diselimuti rasa was-was. Kondisi lalu lintas sangat tidak mendukung pejalan kaki.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Apakah yang salah ketika Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah pejalan kaki tersedikit di dunia? Apakah karena masyarakatnya yang memang malas untuk berjalan kaki? Atau kondisi lingkungan Indonesia yang memang tidak mendukung pejalan kaki?

Simon mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. “Mohon maaf sekali, namun saya harus mengatakan kalau pembangunan di Indonesia memang tidak mendukung budaya berjalan kaki,” ungkap Simon. Dia mengambil contoh pula di Ubud secara khusus. Sampai di Ubud, sehari sebelum memberikan materi hari ini, dia berjalan-jalan di sekitaran Ubud. Dirinya cukup kaget banyaknya kendaraan yang menghalangi trotoar tempat pejalan kaki. Terpaksa kemudian dia berjalan di badan jalan, yang tentu saja sangat rawan untuk dilakukan, mengingat banyaknya kendaraan bermotor yang berlalu-lalang.

Moderator kemudian menutup diskusi dengan beberapa kesimpulan. Salah satunya, dibutuhkan dukungan (political will) dari Pemerintah untuk melindungi hak-hak pejalan kaki. Pembangunan harus diarahkan pula untuk menciptakan keamanan bagi pejalan kaki.

Usai diskusi panel berlangsung, Tim Good News From Indonesia (GNFI) mencoba untuk berjalan kaki di seputaran lokasi pelaksanaan kegiatan UWRF 2017. Termasuk areal tracking di Campuhan Hill. Dan hasilnya, apa yang didiskusikan tadi ada benarnya. Soal kerawanan hak pejalan kaki di jalan, serta melangkahkan kaki guna menyembuhkan diri.

Gianyar, 27 Oktober 2017.

Liputan ini ditulis untuk Good News From Indonesia.


Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini