Negara Australia : Hidup Tak Sepanjang Puntung Rokok

Negara Australia : Hidup Tak Sepanjang Puntung Rokok
info gambar utama

Beberapa tahun belakangan, Australia gencar dalam mengkampanyekan larangan merokok. Target pemerintah negara ini adalah Australia bebas asap rokok 2020. Berbagai macam strategi diluncurkan, mulai dari denda merokok, pajak hingga aturan kemasan bagi produsen rokok. Umumnya, rokok di negara ini tidak memiliki merk di kemasannya, dan memiliki gambar seram efek rokok. Merk hanya sebatas nama, namun gambar seram dan peringatan bahaya rokok lebih dominan di kemasannya.

Peraturan kemasan ini sudah diterapkan sejak 2012, Benn McGrady dari WHO mengatakan tujuan diterapkannya desain tersebut adalah untuk menghilangkan keglamoran dari rokok sehingga orang-orang makin malas mencoba. Data di Australia menunjukkan tingkat rokoknya semakin berkurang sebanyak 0,55 persen atau setara dengan 108 ribu orang di tahun yang sama. Dan pada tahun 2015 peneliti Dewan Kanker Victoria Professor Melanie Wakefield, mengatakan sebelum diberlakukannya aturan paket polos tidak berisi merek rokok tersebut, sekitar 20 persen perokok berusaha untuk berhenti dalam waktu sebulan. "Setelah diberlakukannya aturan paket polos tersebut, angka tersebut naik menjadi sekitar 27 persen perokok berusaha menghentikan kebiasaan mereka," seperti yang diberitakan radio australia.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Menurunnya tingkat perokok di Australia tidak dikarenakan hasil intervensi dari pemerintah dan kebijakannya, namun beberapa pihak lain juga mendukung dalam kegerakan ini. Media misalnya. Jumlah iklan anti rokok sangat tinggi. Pihak berwenang mengetahui pentingnya lingkungan yang bersih, dapat membuat mayoritas wisatawan dan masyarakat setempat lebih betah, sehingga kawasan bebas asap rokok sangat dihormati.

larangan merokok di Melbourne | foto dari BBC Indonesia
info gambar

Merujuk pada salah satu penelitian yang diadakan di Kanada oleh David Hammond dan tim penelitinya, dilansir dari American Journal of Public Health, seperlima dari total 616 partisipan melaporkan pengurangan aktivitas merokok sebagai akibat dari paparan terhadap gambar peringatan di bungkus rokok, dan hanya 1% dari mereka yang melaporkan malah semakin giat merokok. Meskipun keseluruhan peserta melaporkan mengalami respon negatif terhadap peringatan bahaya merokok, termasuk rasa takut (44%) dan jijik (58%), perokok yang melaporkan dampak emosional negatif yang lebih besar lebih mungkin untuk berhenti, mencoba berhenti, atau mengurangi porsi merokok mereka tiga bulan kemudian. Partisipan yang memilih untuk menghindari memperhatikan peringatan bergambar (30%) dilaporkan cenderung kurang menunjukkan kesadaran akan risiko kesehatan atau menunjukkan keinginan terlibat dalam perilaku berhenti merokok.

Seperti artikel dari bbc indonesia, Simone Dennis, seorang profesor di Australian National University, menilai budaya malu turut ambil bagian dalam menurunkan jumlah perokok. Dia mencontohkan kebijakan pembatasan wilayah untuk merokok sehingga para perokok tidak menciptakan gangguan umum."Jika Anda berpikir soal merokok di tempat umum, tempat-tempat itu cenderung merupakan wilayah yang dijauhi orang-orang. Dengan demikian, para perokok merasa terpinggirkan karena mereka tidak bisa menjadi warga di tempat umum dan dibatasi di 'tempat kotor'," kata Dennis. Kesimpulannya, budaya masyarakatnya juga turut andil dalam tingkat keberhasilan penurunan jumlah perokok di Australia.

Kini, tambahnya, merokok dilakukan orang-orang di kalangan strata rendah dalam konteks sosio-ekonomi. Dan sulit melihat bagaimana nasib mereka jika rencana pemerintah Australia menaikkan pajak tembakau sehingga sebungkus rokok dihargai AUD$40 atau Rp400 ribu (ditahun 2017).

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Ringkasnya, negara Australia telah menjalankan strategi yakni dengan larangan merokok di beberapa tempat, penetapan harga dan pajak rokok yang tinggi, maraknya iklan anti rokok, juga peraturan kemasan polos dan gambar seram pada rokok. Semua ini demi alasan yang rasional, yakni demi mengurangi jumlah pasien yang mengidap penyakit dari rokok itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, rokok dapat memicu kanker paru-paru dan kanker jantung, yang menjadi mesin pembunuh nomor satu di dunia. Masih nomer satu, sampai saat ini. Itulah kenapa pemerintah Australia tak ingin mengeluarkan banyak biaya untuk perawatan warganya yang menderita kanker, dimulai dengan melarang dan membasmi 'pemicu'nya.

Jika anda berkesempatan mengunjungi Australia, anda akan sulit menemukan orang dewasanya merokok di sembarang tempat apalagi melihat anak-anak merokok. Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintah Indonesia juga melakukan beberapa upaya dalam menurunkan jumlah perokok, namun saat ini masih menjadi progres. Presiden sejak Juni 2014 menerapkan pula gambar seram pada kemasan rokok. Dan pada 2016 lalu, Presiden serta Direktur Jenderal Bea Cukai, Heru Pambudi, berencana menaikkan tarif cukai rokok demi memenuhi target penerimaan cukai pada RAPBN 2017 sebesar Rp149 triliun. Mungkin kita masih ingat isu tahun lalu, Indonesia berencana menetapkan harga 50.000 rupiah untuk sebungkus rokok. Namun kenyataannya tidak demikian. Kenaikan harga ternyata adalah penelitian studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia yang mengkaji dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok dan cukai untuk mendanai jaminan kesehatan nasional (JKN) – yang biasa dikenal sebagai BPJS. Nah, dari hasil penelitian ini, terbukti bisa mengurangi keinginan untuk membeli rokok.

Keterangan Gambar (© Pemilik Gambar)

Sebenarnya, Indonesia pun bisa menjadi negara dengan udara yang nyaman. Beberapa tempat di Indonesia bahkan ada yang bebas asap rokok. Seperti desa Bone-Bone yang bebas rokok sejak 2005. Ada pula beberapa kampung yang berusaha memberi penyuluhan agar warganya sadar bahaya rokok, seperti Kampung Penas di Jakarta. Ini membuktikan, bahwa diantara banyaknya perokok berat, masih ada warga lain yang peduli dan mau berpartisipasi aktif dalam mengurangi jumlah perokok minimal di daerah tempat tinggalnya.

Indonesia masih ada harapan. Kita hanya perlu lebih tegas dan lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes 2013, menyebut hampir 80% perokok, yang jumlah totalnya sekitar 16 juta, memulai merokok pada usia di bawah 19 tahun. Artinya, rokok kini lebih marak dikalangan anak-anak. Miris, namun perlu tindakan. Dimulai dari kita, terlepas kita adalah perokok aktif atau pasif, anak-anak yang merokok akan merusak masa depannya. Sebab anak-anak adalah generasi sekarang dan masa depan.



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini