"Mari, Topinya Duwaratus Baht"

"Mari, Topinya Duwaratus Baht"
info gambar utama

Ucapan di atas diucapkan dengan fasih oleh seorang penjual topi di depan Grand Palace, sebuah tourist spot paling populer di kota Bangkok, Thailand. Entah bagaimana, sang penjual tahu bahwa saya adalah orang Indonesia. Untuk memastikan hal tersebut, saya mendekat, dan sebelum saya berkata apapun, dia sudah menyapa kembali "Jakata?" (maksudnya memang Jakarta), bertanya apakah saya dari Jakarta. Setelah itupun dia fasih menjawab beberapa pertanyaan saya, terutama terkait denominasi uang rupiah. "Saribou", "Duwaribou" dan seterusnya.

Hal yang sama saya alami di pasar di tepi Chao Praya, sungai besar yang membelah kota Bangkok. "Ketan mangga empapulu baht", dia menawarkan ketan mangga (manggo sticky rice) Thailand yang terkenal itu. Tentu saja dia tahu saya orang Indonesia, karena ketan memang bahasa Indonesia untuk sticky rice. Saya ajak dia bercengkerama sebentar dalam bahasa Indonesia, dan dia tertawa lebar, karena dia hanya tahu beberapa kata saja (kebanyakan memang bahasa-bahasa Indonesia untuk barang dagangannya), dan harganya.

info gambar

Saya sudah beberapa kali ke Thailand, dan saya akui memang rasanya makin banyak orang Indonesia yang berkunjung ke negeri gajah putih ini. Pesawat yang membawa saya dari Jakarta ke Bangkok, hampir seluruhnya adalah turis dari Indonesia. Tentu saja tak hanya ke Thailand, penerbangan ke luar negeri dari Indonesia, selalu saja penuh sesak. Saya masih ingat,betapa ruang tunggu E4 di Bandara Soekarno Hatta silih berganti diisi oleh penumpang pesawat ke luar negeri, dan memang sebagian besar adalah warga Indonesia.

Fakta bahwa para PKL dan penjual di pasar di luar negeri yang kini bisa menawarkan dagangannya dalam bahasa Indonesia, juga menunjukkan bahwa orang Indonesia tak hanya suka berkunjung, namun juga suka berbelanja. Ada perasaan yang campur aduk memang di benak saya. Makin tingginya jumlah orang Indonesia yang berwisata ke luar negeri tentu saja menjadi satu ukuran bahwa kemakmuran orang Indonesia, terutama para mudanya, makin meningkat. Setidaknya, mereka bisa menyimpan uang, mengumpulkannya, kemudian membelanjakannya untuk bepergian ke luar negeri. Di samping itu, melihat dunia luar adalah salah satu cara yang baik untuk mencari pembanding bagi plus minusnya tanah air.

Namun di sisi lain, ada yang membuat saya terpikir juga. Apakah mereka yang ke Bangkok ini juga sebelumnya sudah mengeksplorasi Indonesia? Ternate, Bukittinggi, Ambon, Sumbawa, Derawan, dan banyak lagi? Semoga saja sudah. Namun, seorang kawan pernah bercerita bagaimana dia dan kawan-kawannya pergi ke Singapura di sore hari, dan tengah malam baru pulang ke Indonesia, di hari yang sama. Yang mengejutkan, dia bertemu dengan banyak orang Indonesia yang melakukan hal yang sama.

Turis Asia di Bangkok | scmp
info gambar

Tak ada yang salah memang. Namun tak terbayang jika uang yang dibelanjakan para wisatawan Indonesia ke luar negeri, dibelanjakan di kota-kota atau tempat wisata di Indonesia yang tentu saja punya keindahan tiada dua. Dalam laporan Visa berjudul “Mapping the Future of Global Travel and Tourism in Asia Pacific”, wisatawan Indonesia membelanjakan $5.1 milyar (atau sekitar Rp. 66 trilyun) di luar negeri, dan diperkirakan akan naik menjadi $16 milyar (Rp. 208 trilyun) pada 2025. Dahsyat sekali, mengingat, misalnya, anggaran APBD Sulawesi Barat 'hanya' Rp. 1.6 trilyun pada 2016.

Makin tumbuhnya jumlah kelas menengah di Indonesia makin membuka kesempatan bagi makin bertambahnya orang yang ingin melakukan perjalanan ke luar, baik dalam maupun mancanegara, dan yang paling penting kita lakukan adalah mengoptimalkan kesempatan emas ini untuk distribusi pendapatan, ke pelosok Indonesia.

Dan kita bisa menjadi bagian dari usaha besar ini.

Gambar utama : Bangkok.com

Referensi :

https://www.pata.org/wp-content/uploads/2015/05/PGIC2015-CarolineDempsey.pdf

https://www.etbtravelnews.com/tag/mapping-the-future-of-global-travel-and-tourism-in-asia-pacific/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini