Perang Topat di Lombok, Lemparlah Daku Kau Kusayang

Perang Topat di Lombok, Lemparlah Daku Kau Kusayang
info gambar utama

Perang selalu saja menimbulkan kerugian dan korban. Tapi, Perang Topat di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), justru jauh dari kesan menyeramkan, sebaliknya penuh kegembiraan dan kedamaian.

Tradisi masyarakat agraris ratusan tahun, yang masih lestari hingga kini, menunjukan bagaimana masyarakat di Lombok Barat mempraktikan hidup damai dalam keberagaman.

Tradisi turun temurun yang melibatkan umat Muslim dan umat Hindu, itu juga menjadi simbol kerukunan dan toleransi beragama di Lombok Barat.

Event budaya Perang Topat, yang penuh dengan akulturasi budaya, Minggu sore, 3 Desember 2017 digelar di kompleks Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Belakangan ini orang bicara empat pilar berbangsa, Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Tapi hari ini kita tidak sekadar bicara, kita beri contoh kepada seluruh anak bangsa bahwa di tempat ini kita praktikan empat pilar tersebut. Perang Topat ini dilakukan dengan penuh kegembiraan oleh dua unsur Agama dan Suku, Islam dan Hindu, suku Sasak dan Bali," kata Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid, saat membuka Perang Topat.

Fauzan mengatakan, event budaya Perang Topat sudah dilakukan turun temurun di Pura Lingsar, menjadi pelajaran dari para leluhur tentang bagaimana menjaga toleransi dan silaturahmi di antara dua suku dan agama di Lombok Barat.

Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid melempar ketupat membuka event Perang Topat di Lombok Barat. (Foto: Kataknews.com)
info gambar

Perang biasanya melahirkan kebencian dan kemarahan. Ada banyak korban harta dan jiwa.

Tapi, perang topat di Lingsar ini adalah tradisi leluhur yang membawa makna kedamaian, toleransi, dan kerukunan antar umat Muslim dan Hindu.

"Ini yang harus kita petik hikmahnya, bahwa para leluhur kita sebenarnya sudah mengajarkan nilai-nilai kebhinekaan, bagaimana kita yang berbeda-beda bisa hidup damai berdampingan," kata Fauzan.

Berdasarkan sejarah, Kompleks Pura Lingsar di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, dibangun pada tahun 1759 pada zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke 17 silam.

Kompleks Pura Lingsar bisa dibilang bangunan Pura paling unik se-Nusantara. Sebab, di dalam kompleks itu terdapat dua bangunan besar.

Ada Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq yang disakralkan sebagian umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, event Perang Topat yang masuk dalam kalender Pariwisata Lombok Barat, Minggu sore (3/12), terselenggara meriah dan mengundang perhatian wisatawan domestik dan mancanegara.

Seremoni pembukaan Perang Topat juga dihadiri Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin, dan Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat, Ispan Junaedi.

Tari-tarian khas Lombok meramaikan event Perang Topat di Lombok Barat. (Foto: Kataknews.com)
info gambar

Esensi prosesi Perang Topat sebenarnya merupakan pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas rejeki yang diberikan sepanjang tahun ini.

Hal ini tak lepas dari keberadaan mata air Langser yang kini disebut Lingsar, yang terletak di samping kompleks Pura Lingsar.

Masyarakat Lingsar percaya mata air itu berasal dari bekas tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyiar Islam di Lombok abad ke 15.

Hingga kini mata air itu mampu mengairi pertanian bukan hanya di Lingsar saja tetapi juga hingga ke sebagian wilayah Lombok Tengah.

Perang topat selalu dilaksanakan pada hari ke 15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (Purnama bulan ke tujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasih kenem (Purnama bulan ke enam) yang tahun ini jatuh pada malam Purnama, Minggu 3 Desember 2017 pada penanggalan Masehi.

Pelaksanaan Perang Topat dimulai saat rarak kembang waru atau waktu mulai gugurnya bunga pohon waru, itu sekitar pukul 17.00 Wita.

Setelah perang selesai, malam harinya umat Hindu melakukan upacara Pujawali di Pura Gaduh untuk menghormati Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung, dan Batara Lingsar, yang dipercaya sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan umat Muslim melakukan napak tilas mengenang jasa penyiar Islam, Raden Sumilir yang dipercaya merupakan penyiar Islam dari Demak, pulau Jawa.

"Perang Topat ini merupakan prosesi religi dan budaya setiap tahun yang sudah masuk sebagai kalender of event di Lombok Barat. Ini warisan leluhur yang terus kita lestarikan sebagai even budaya dan pariwisata, di mana dua umat yang berbeda keyakinan berada dalam satu tempat melaksanakan prosesi ini. Ini lah satu-satunya perang di dunia yang justru melahirkan perdamaian," kata Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat, Ispan Junaedi.

Saat event berlangsung, sejak Minggu siang (3/12) masyarakat mulai berdatangan ke kompleks Pura Lingsar, lokasi Perang Topat digelar.

Di Pura Gaduh, umat Hindu dipimpin pemangku Pura menyiapkan banten atau sesaji untuk persembahyangan Pujawali.

Sedangkan di Kemaliq umat Muslim Sasak dipimpin pengelola Kemaliq menyiapkan Kebon Odek (Bumi Kecil) yang juga sesaji berupa buah-buahan dan hasil bumi.

Persiapan yang tak mungkin tertinggal, tentu saja topat atau ketupat, nasi yang ditanak dengan bungkus anyaman janur kelapa sebesar genggaman orang dewasa.

Topat-topat itu disiapkan warga dari masing-masing dusun di Desa Lingsar, baik dusun yang berpenghuni umat Hindu maupun dusun yang dihuni umat Muslim. Sesaji yang sudah siap kemudian diarak mengelilingi bangunan Kemaliq dengan iring-iringan alat musik tradisional.

Wisatawan mancanegara ikut berpartisipasi menggunakan busana adat, dalam Perang Topat di Lombok Barat. (Foto: KATAKNEWS.com)
info gambar

Sementara proses iring-iringan berjalan, ratusan masyarakat setempat dan pengunjung yang datang menunggu di halaman Kemaliq, menunggu topat dibagikan dan siap saling lempar. Topat yang sudah melewati prosesi kemudian dibagikan kepada masyarakat, sekejab perang pun dimulai, penuh kegembiraan.

Suara riuh saling teriak terdengar saat Topat pembuka dilempar oleh Bupati Lombok Barat, Fauzan Khalid dan Wagub NTB, Muhammad Amin.

Ratusan masyarakat, pria dan wanita, tua dan muda, langsung berebutan mendapatkan topat dan saling melempar. Jauh dari kesan kekerasan, Perang Topat di Pura Lingsar justru penuh kegembiraan. Masyarakat berbaur, perbedaan agama dan suku seperti kehilangan batas.

Masyarakat setempat percaya, topat atau ketupat sisa perang akan membawa kerejekian atau kesuburan sawah jika dibawa pulang dan ditanam.

"Turun temurun selalu begini, kalau dapat topat berarti lancar rejeki. Kalau petani ya bisa ditanam topatnya di sawah supaya subur hasil panen, kalau pedagang ya bisa ditaruh di tempat dagangan biar laris,"kata Sri Susanri (34), warga Lingsar yang ikut perang topat.

Semoga tradisi yang penuh toleransi ini tetap terjaga dan lestari di Lombok Barat, dan mewarnai ragam toleransi di Indonesia.


Sumber: KATAKNEWS

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini